Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy Artikel Utama

Bicara Kesehatan dengan Indonesia Harus #kekinian

9 April 2015   20:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:19 462 3
Birokrat mengurus rakyat.

Tapi mampukah birokrat 'berbicara' dengan rakyat?

Lima tahun bekerja sebagai pegawai negeri di institusi kesehatan memberi saya banyak wawasan betapa rumitnya menjalankan negara ini. Negara ini besar dan kompleks. Jangankan membawa perbaikan dan perubahan, menjalankan secara rutin saja - berat usahanya.

Bahkan ketika mendapat kesempatan belajar dan mengikuti program magang pada institusi kesehatan di negara tetangga belahan bumi selatan yang tergolong maju itu, saya berujar dalam hati "Yah, kalo begini sih jelas aja maju."

Indonesia, dihuni oleh penduduk yang tidak hanya terbanyak ke-4 di dunia, tapi juga tersebar tidak merata, beragam karakter-budayanya, dan parah kesenjangan sosialnya. Sementara, kesehatan, yang merupakan investasi bangsa, wajib menghayati itu semua untuk memakmurkan negara ini. Makmur yang sebenarnya, bukan yang semu seperti jaman dulu.

Namun, pengalaman dan observasi selama lima tahun terakhir berbicara lain.

Pemerintahan (dalam konteks ini kesehatan) itu target oriented, tapi (umumnya) kurang market oriented. Strategi komunikasi diperlakukan sebagai sesuatu yang sifatnya pelengkap, kemasan luar, tidak perlu pendidikan khusus, tugas sampingan, dan identik dengan desain grafis semata; Tanpa rangkaian monitoring dan evaluasi yang jelas dan ilmiah, apalagi ketat.

Padahal, dalam dekade terakhir, kesehatan masyarakat Indonesia menitikberatkan pada upaya preventif dan promotif. Erat kaitannya dengan perubahan perilaku manusia ke arah yang positif. Di mana harus diinisiasi dengan tahap menumbuhkan kesadaran akan masalah kesehatan (awareness).

Brand image. Ini adalah hal penting yang diagungkan teman-teman di dunia bisnis.

Tapi sebenarnya, brand image pun sangat krusial dalam dunia kesehatan. Karena banyak 'pesaing' dari upaya peningkatan kesehatan masyarakat di Indonesia yang justru berasal dari sektor bisnis.  Industri makanan dan minuman yang mengancam kesehatan, industri rokok, industri minuman keras, dan sebagainya.

Lantas, bagaimana mau bersaing kalau brand saja tidak punya?

Sebenarnya bukan tidak punya, ada sejumlah kampanye kesehatan terdahulu yang melekat di pikiran: 4 Sehat 5 Sempurna, Suami Siaga, Lingkaran Biru KB, misalnya. Sekedar informasi, seluruhnya sudah tidak berlaku lagi karena menyesuaikan dengan perkembangan ilmu kesehatan masyarakat, tetapi - memang inilah yang masih lekat di pikiran masyarakat.

Dan sebenarnya, ada kampanye terkini yang cukup mudah diingat: Aku Bangga Aku Tahu untuk HIV/AIDS dan tagline Berhentilah Menikmati rokok sebelum rokok menikmati Anda.

Tapi, kebanyakan program kesehatan di era ini justru banyak menggunakan singkatan saja. Sebut saja JKN, PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), PGS (Pedoman Gizi Seimbang). Mohon maaf, tapi ini semua, kurang market oriented.

Kemudian, bagaimana dengan diseminasinya?

Survey Nielsen 2014 menyatakan bahwa 95% masyarakat Indonesia menonton televisi.

Tapi, iklan prime time televisi kan mahal? Oh jelas.

Tapi ingat, Indonesia adalah lima besar pengguna sosial media di dunia. Maka perlu ada pergeseran prioritas saluran media di dunia kesehatan.

Saatnya penggunaan sosial media dianggap serius, khususnya untuk program-program yang target penontonnya anak-anak, remaja, dan masyarakat perkotaan.

Sosial media memang sudah digunakan di instutusi kesehatan, tetapi, sudahkan digunakan dengan benar?

Selama ini, pengemasan data dan informasi penelitian di bidang kesehatan dengan gaya populer belum optimal. Padahal, data, informasi, brand image, dan pesan kesehatan dapat diarusutamakan melalui penggunaan media sosial yang benar.

Salah satu solusinya cukup mudah. Gunakan saja jumlah aparatur sipil negara (ASN) institusi terkait kesehatan yang jumlahnya beribu-ribu itu. Cukup melalui surat pemberitahuan dari pimpinan tertinggi atau kedua tertinggi untuk wajib  men-share atau mem-post materi promosi kesehatan, apapun bentuknya (teks, gambar, video) di akun Facebook, Twitter, atau Path masing-masing.

Jangan menghabiskan terlalu banyak uang untuk pengadaan brosur dan leaflet.

Terakhir, dalam membuat pesan, jingle, dan visualisasi, usahakan agar sifatnya #kekinian. Inilah penyakit lama banyak kementerian dan lembaga di Indonesia. Saran anak muda kadang terabaikan. Padahal, tidak jarang cukup inovatif.

Butuh anak muda yang gaul, untuk mengetahui hal-hal apa yang akan menarik minat target pasar untuk akurasi pesan kesehatan yang akan disampaikan. Panjang-pendeknya, ruwet-tidaknya, keren-enggak-nya, bingung-ngertinya.

Tetapi, bagaimanapun, kembali pada kondisi pemerintahan yang besar dan luas itu tadi, semua perlu proses. Tapi prosesnya harus dipercepat.

Pemerintah yang berkuasa saat ini banyak didukung oleh anak muda pada pemilu lalu. Sampai saat ini pun mereka masih terus mengawal berjalannya kegiatan di negara ini.

Oleh karena itu, gunakanlah mereka-mereka ini. Baik di luar institusi maupun di dalam institusi.

Untuk memberi ide dan inovasi segar di dunia kerja pemerintahan yang runyam, penuh rapat, bahasa dewa, dan menjengahkan ini.

Agar birokrat kesehatan mampu berbicara kesehatan dengan rakyatnya.

Agar birokrat kesehatan mampu bergaul dengan rakyatnya.

Agar tidak ada lagi ucapan, "Ih males banget deh, government banget gini.." dari rakyatnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun