Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Sonata Cinta V - VIII

10 Oktober 2012   12:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:59 101 0
Bagian kelima - Terpujilah Tuhan

Bak renyahnya gemericik kecipak air jernih pesonanya itu
pun umpamanya kau gurih pesonanya dengan berbuih-buih purnama sekalipun
pasti purnama-purnama itu akan jatuh tersungkur kemudian tergelepar
sebab Tuhanlah yang menyusun formula sehingga takaran kasih itu terpancar bening di wajahnya
sungguh indah dan terpujilah Tuhan.

Selayaknya setangkai mawar yang dibesarkan dalam jiwa yang asri
namun tak ubahnya ular beludak yang beranak pinak di ujung urat nadi
begitulah pengandaian dekatnya aku denganmu, tak saling tersentuh walau dalam satu raga sekalipun, Oh akankah kita bersatu?
tak disangka kicau mukjizat itu pun terdengar dari satu nafas ke nafas kita, mengitari jiwa dan urat nadi
dan akhirnya menyatukan kita, begitu indahnya kita berdampingan dan terpujilah Tuhan.

Dan ketika ia mengisahkan kisahnya padaku, kisah ketika  angkara berpapasan dengan kelembutan
kisah dimana anak-anak yatim piatu ditawan raja-raja berparas buncit
ia bertutur padaku "kelembutan gemetar dan menangis lalu angkara melindungi ia dengan sayap apinya"
"lalu runtuhlah berlaksa-laksa murka dari segala ketinggian yang ada. menghujani kota itu" ucapnya berapi-api
"Dan hanya para raja yang mati, Terpujilah Tuhan" ucapnya sambil berkhidmat.

Cakrawala bertamu ke ruang senja, ia dijamu semangkuk nasehat dan secangkir pengalaman
keramahan yang baru dipetik dari kebun Tuhan menjadi menu pendampingnya
di meja juga terhidang berbagai macam perasaan yang telah dibumbui dengan suka dan duka
"Ayo nikmati bersama dengan kemurahan hati yang dituang langsung oleh tangan Tuhan" ucap senja
tak mungkin bisa disangkal berkat ini dan terpujilah Tuhan.

Dan ketika aku terlempar keluar dari kenyataan yang mulai patah
meninggalkan hamparan realita yang merepih dan ringkih
dihantam ikhwal kemunafikan yang meleburkan kekusyukan
meraba-raba di dalam jurang ketiadaan, Tuhan mengulurkan tangannya
aku selamat dan terpujilah Tuhan.

Bagian keenam - Seumpama Malaikat

Tenang dan sunyi, bagai senyap yang terdekap dalam lelap
sehingga langit melipat-lipat garis lintang cakrawala dan bersiap merebahkan diri,
namun perlahan alur sonata meretakkan kesunyian
melayang-layang di ladang subur tempat benih kasmaran tumbuh
ia indah seumpama malaikat dan tenang tiada lagi tak terdiam.

Dimana anyelir dulu tumbuh melambai, dimana akar cemara dulu berpijak sebelum melangkah, tidaklah penting
tapi jika ada yang ingin menembak mati mereka, ia hanya memandang dari nafsunya
layaknya bencana yang selalu menyembunyikan kedatangannya dan bertingkah penuh ketidakdugaan itulah pengandaiannya
kata bukit Sion "Biarlah mereka tumbuh di atas tubuhku agar mereka dapat menggapai kerelaan Tuhan
"dan biarlah mereka menjadi pengharum taman firdaus seumpama malaikat dan janganlah kalian usik mereka lagi!"

"Kau bertanya dimanakah aku dibesarkan? aku dibesarkan di arah yang tiada tempat untuk dituju"
"tempat dimana pedoman kehilangan ambisinya, daerah dimana impian mati tenggelam"
"wilayah dimana doa-doa karam ke dasar palung, negeri dimana tekad meracuni dirinya sendiri hingga mati"
"jadi jangan heran jika perilakuku seperti api dalam periuk, menggeliat dan membakar habis tempat bernaungnya sendiri"
"Aku cacat! seumpama malaikat yang terjatuh, itulah aku!"

ufuk sanubari menyandera puncak singgasana, dengan congkaknya ia berkata dapat mengubur maut
rasa bahagianya sudah kering kerontang sampai ke tulang sumsum, hanya wajah kedengkian yang tampak daripadanya
"Akulah yang dapat mengangkangi sang maha tinggi! yang mampu membuat galaksi-galaksi berbaris rapi dan membuat gentar Ia!" teriaknya
sungguh kedurhakaannya sudah menggagahi garis khatulistiwa dan terbukalah materai Tuhan yang pertama, dua, tiga sampai terakhir.
dan dilemparkanlah ia seumpama malaikat terdahulu yang membangkang kepada jalan yang lurus.

Kau satu-satunya air pasang yang mampu membuatku terkikis ketika aku tidak tahu aku akan menjadi apa nanti
sebab setiap ombak yang mengalir selalu meninggalkanku ketika mereka sampai ke hadapanku
mereka, mereka terlalu gelisah, gelisah tuk membuang kegelisahan busuk dari ladang hati mereka
menatapi asa dari kejauhan namun tak berani mendekat, terlalu takut tuk mengikis, mengikis aku
"Ah seandainya tiada kepengecutan seumpama malaikat terang dalam jiwa kami" harap mereka.

Bagian ketujuh - Ini Perih

Atas nafkah-nafkah yang dibiarkan meregang nyawa, ia berselimut tipis menggigil di pangkuan trotoar
layaknya merpati yang kembali ke sarangnya namun ia tak temukan anak-anaknya disana, tersambarlah hatinya
terik ini seakan menghanguskan mentari sendiri, luka, luka dan luka pun terluka semakin terluka dan terluka
sedang anda menonton dari balkon utama tertawa terpingkal-pingkal sebagaimana anda menikmati dagelan terkonyol yang pernah ada
"ingat tuan penguasa 'ini perih' minta ampunlah sebelum engkau dilaknat kemarahan rakyat"

Semua orang suci hening diam dan tanda bahaya keluar tertatih-tatih dari dasar jurang kenistaan
setiap orang berusaha mencegahnya keluar, sedang komat-kamit tahmid berkumandang di seantero kekhawatiran
bayi-bayi menangis, orang tua bersedu sedan, air mata mereka mengalir melalui hulu-hulu kecemasan dan bermuara ke ketakutan yang dalam
"Ini akhir sejarah kita seperti yang kita tahu dan setiap luka kita menjerit!" pekik mereka tajam
"jangan mengeluh, ini perih namun bumi lebih perih lagi, jeritan lukanya lebih dalam!" pekikku lebih tajam.

Tubuhku terjebak dalam dimensi ketiga, begitu pun akal, budi serta pikiranku, sungguh usang, sungguh
aku tak bisa keluar terpenjara dalam kotak-kotak bernama kefasikan, kemunafikan serta keegoisan
jalan keluarku cuma satu menghapus semua masa lalu dzalim berkedokan kepahitan dan rasa sakit
tapi jalan yang lebih segar tidak mau membukakan pintunya padaku, selalu digrendel dengan bayang-bayang yang mendikte ia
aku sadar jalan yang menutup pintunya itu adalah aku sendiri dan ini perih.

Aku adalah pungguk yang menatap anugerah dan berkat yang berpagut mesra, di senyummu yang indah itu tentunya
rasanya aku ingin menjadi sekepal batu yang menempel di dalam otakmu, agar aku selalu ada dalam pikiranmu
karna engkaulah satu-satunya gadis yang dapat membuat ketidakpercayaan diriku rela menjemput maut
sampai pada akhirnya tatapan matamu menyiratkan rasa mual yang amat sangat
izinkan aku untuk meramu pandanganmu menjadi khayalan pesimisku belaka sebab ini perih.

Sudah tersirat timur iri kepada barat begitupun tersurat barat memendam dengki kepada timur
lalu apakah kita harus berlari ke arah selatan dan utara walaupun arah sudah dibolak-balikan?
kemana kita melangkah disitulah kita akan terhenti lalu mati begitu pun dimana kita terdiam itulah awal segala pahit yang akan mematikan kita
dan jangan biarkan kita tanpa penuntun tapi jika penuntun itu penyesat langkah lebih baik kita meremukannya
pasrahkan saja diri kita terhanyut sampai ke muara tanpa arah walau ini perih.

Bagian kedelapan - Teralunnya Doa

Gelap.... tangis yang tak terputus-putus, bendera partai yang dikebumikan
tua renta menatap reformasi yang cacat berlubang, ia menghela nafas ingin melompat ke dalam lubang itu
lingkaran itu tiada henti berputar di dalam kepala birokrasi, gulingkan kedikdatoran, gulingkan ketidakadilan
gulingkan janji-janji yang menutup matanya, gulingkan segalanya yang tak sehati dengan kami
kami disini menanti teralunnya doa dari ibu, ibu kami, ibu pertiwi. atas dosa-dosa entah siapa kami atau mereka.

Ingin kukatakan padamu kepalsuan adalah dualisme dan si jahat telah mati, Ya gelap dunia telah dieksekusi
dan sistem hirarki adalah palsu jika tinggi dan rendah tidak sesuai dan sejalan, itu klasik
lalu pada masanya nanti bibir kosmos akan sedikit terbuka dan seluruh manusia ingin masuk ke dalamnya
tapi sudah kuingatkan tidak setiap buih menjadi wujud, tidak semua niatan menjadi anak manusia
tidak semua rencana terangkai megah di dalam teralunnya doa.

Aku berdiri di damaskus bersiap menumpahkan cawan yang keempat, aku gugup
kucermati manusia satu persatu mereka meringkik, sebagian sujud dan tertelungkup
mereka semua terbakar hangus, terdengar jerit dan mereka berkata cukup-cukup
tetapi mereka terus melempari namaNYA dengan hujat tanpa henti sehingga cacian mereka menggunung tertangkup-tangkup
seperti telah tertulis tetap saja tak ada pertobatan dalam setiap teralunnya doa mereka, aneh hanya untuk itu mereka terlihat tak sanggup.

Baru sedetik kuterpejam pandanganku sudah terbawa ke relung pahit masammu
aku melihatnya bagai gurun yang tandus dan gersang, debu pasir hampir membutakan mata batin
tiada tawa, suka ataupun ceria, bagimu mereka sudah mati sambil berlutut
seperkian langkah dari kesuramanmu aku bertekuk pohonkan rahmat untukmu
karena di setiap teralunnya doa kau teramat amat sesak.

Sudah satu jam kau mematung di sudut elevator jiwa, hendak ke alam baka atau tetap di dunia kau merasa takut
karena kau merasa resah karena setiap apa yang kau panjatkan tidak dengan segenap hatimu
sebab engkau sadar ribuan orang yang memohon tidak lebih baik daripada satu orang yang meminta dengan khusyuk penuh
maka dari itu berdoalah baik siang ataupun malam dengan seluruh jiwamu dan engkau harus percaya
dan dengan teralunnya doa darimu yang sepenuh-penuhnya engkau akan diberikan jalan.

bersambung......

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun