Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud Pilihan

Meninjau Efektivitas BRI dan Persepsi Global Terhadap Skema Pinjaman Utang Tiongkok

8 Mei 2024   19:56 Diperbarui: 24 Mei 2024   21:28 72 0
Republik Rakyat Tiongkok kerap mengilustrasikan sistem politik-ekonominya sebagai 'sosialisme dengan karakteristik Tiongkok'. Dengan demikian, Tiongkok saat ini dikenal oleh seluruh dunia lebih sebagai sebuah lembaga bisnis pinjam-meminjam beserta sejumlah bisnis konstruksi yang kian hari kian menggambarkan ciri khas Tiongkok abad 21.

Menjadikan program Belt and Road Initiative (BRI) sebagai prioritas telah menjadi bagian inti dari konstitusi Partai Komunis Tiongkok sejak tahun 2017. Skema ini merupakan gagasan ekonomi khas Presiden Xi Jinping sendiri, dimana BRI bertujuan untuk membentuk kembali perekonomian global dan menciptakan tatanan dunia baru yang dipimpin oleh Tiongkok.

BRI sejak awal mengejutkan, bahkan membuat geram negara-negara Barat. Naiknya Tiongkok ke tampuk kekuasaan global tidak dapat disangkal, namun visi dari program ini nampaknya terlalu kompleks untuk secara gamblang dipahami. Sebaliknya, media menyebut BRI sebagai 'Jalur Sutra Baru' (nama yang beredar secara resmi di Tiongkok), memadankannya dengan kebangkitan jalur perdagangan lintas benua yang secara efektif menghubungkan kekaisaran Tiongkok dengan pasar internasional berabad-abad yang lalu.

Berbeda dari jalur sutera kuno yang kental akan  kereta untanya, jalur sutera di era pasca-modern ini lekat akan jalur kereta api besar-besaran di Asia Tengah, harmonisasi peraturan, pelabuhan peti kemas internasional, dan proyek-proyek insidentil dari Eropa ke Tiongkok dan melintasi Afrika dan Timur Tengah. Program-program ini dianggap serius oleh banyak pemerintah dan dieksekusi dengan cergas di banyak negara.

Sebagian besar dari dana yang dipakai untuk proyek ini adalah uang tunai Tiongkok, dan lebih tepatnya lagi hutang Tiongkok. South China Morning Post melaporkan bahwa sekitar $300 miliar uang tunai BRI telah dicairkan untuk pekerjaan di lebih dari lima puluh negara, ratusan miliar di antaranya merupakan hutang yang dijaminkan lewat publik maupun swasta kepada perusahaan-perusahaan Tiongkok dan bank-bank pemerintah. Antara tahun 2013 dan 2018, angka ini meningkat secara signifikan dan terus meningkat hingga detik ini.

Per bulan September 2022, dilaporkan bahwa 'hutang tersembunyi' kolektif negara-negara yang menjadi objek BRI berjumlah lebih dari $385 miliar. Bahkan, lebih dari empat puluh negara miskin terkena hutang Tiongkok sebesar 10% dari total PDB mereka.

Bahaya Laten Skema Investasi dan Hutang Tiongkok

Amerika Serikat telah lama menuduh Tiongkok membangun "perangkap hutang" yang dianggap AS akan digunakan untuk menjerat negara-negara kurang berkembang melalui proyek-proyek Belt and Road yang berbiaya tinggi dan seluruhnya dibiayai dengan pinjaman tersebut. Sepatutnya, Tiongkok membantah klaim tersebut. Sejak pandemi ini dimulai, Tiongkok berpartisipasi dalam acara International Debt Relief Summit untuk pertama kalinya, meskipun dengan cara "case-by-case basis". Keringanan hutang sebesar $12,1 miliar yang kerap dibanggakan oleh forum Tiongkok-Afrika juga pada realitanya hanya porsi kecil dari ratusan miliar dollar pinjaman yang diberikan Tiongkok dalam bentuk pinjaman.

Persyaratan yang melekat pada pinjaman Tiongkok telah banyak dipersepsikan sebagai persyaratan yang 'manipulatif' bahkan 'kejam'. Para politisi populis di sejumlah negara termasuk mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad, gencar menyuarakan perlawanannya terhadap skema BRI dan memperingatkan terhadap pinjaman Tiongkok yang dianggap dapat menghambat kemajuan negara dalam jangka panjang.

Sebuah contoh dari "klausul gila" dalam perjanjian pinjaman ini sempat ditemukan di Uganda, di mana pada akhir bulan November 2022 lalu dilaporkan bahwa Tiongkok akan mengambil alih Bandara Entebbe karena ketidakmampuan Uganda untuk membayar kembali pinjaman yang bernilai sebesar dua ratus juta dolar yang didapatkannya di tahun 2015.

Di Pakistan, saluran investasi modal Tiongkok kerap mengalami sejumlah kesulitan. Dengan nilai investasi sebesar $50 miliar, salah satu proyek bergengsinya adalah pengembangan pelabuhan utama di Gwadar.

Betul bahwa Tiongkok telah menyatakan bahwa mereka bermaksud membangun perekonomian Pakistan dari awal, mulai dari tingkat pertanian. Hal ini termasuk dalam hal pengembangan sistem logistik baru, impor teknologi baru untuk merevolusi produksi, serta menata ulang perekonomian Pakistan secara luas ke jalur modern yang berorientasi Tiongkok.

Skalanya sangat mencengangkan. Dalam 'The Dawn of Eurasia', sebuah buku karya Bruno Maes yang diterbitkan pada awal tahun 2018, disebutkan bahwa penduduk lokal Pakistan, terlepas dari takluknya mereka terhadap rencana Tiongkok, seringkali berniatan untuk membangkitkan kembali industri primer di negara mereka. Namun, hal ini dilakukan dengan cara mengimpor benih dan pestisida untuk varietas tanaman yang hanya disetujui oleh pihak Tiongkok.

Pada Desember 2021, seorang pengusaha Pakistan yang terkait dengan Gwadar mengeluh kepada Financial Times bahwa selama bertahun-tahun setelah pengumuman awal proyek tersebut, mereka masih belum melihat manfaat yang dijanjikan dari harmonisasi ekonomi gagasan Tiongkok itu. Karena proyek tersebut dibiayai oleh pinjaman Tiongkok dan bahkan dikelola oleh pekerja impor Tiongkok, hampir seluruh pihak domestik merasa dirugikan; baik perusahaan-perusahaan maupun SDm lokal.

"Tiongkok hanya membeli pasir dan kerikil secara lokal untuk proyek konstruksi. Semua bahan mentah lainnya diimpor dari Tiongkok," kata Nasir Sohrabi, presiden Dewan Pengembangan Komunitas Pedesaan Gwadar, kepada Financial Times.

Pekerja lokal Pakistan bahkan telah memprotes kehadiran Tiongkok. Di tahun 2019, diskursus mengenai BRI menjadi subjek perdebatan yang memantik atensi masyarakat luas.

Untungnya, investasi Tiongkok ke Pakistan telah sedikit menurun dalam beberapa tahun terakhir. Di era pandemi, posisi Tiongkok di dunia internasional secara sinkron turun, bersamaan dengan proyek Belt and Road juga mengalami penurunan serupa.

Namun mulai dari proyek industri primer hingga pembangunan bergengsi, BRI telah menyediakan kapital untuk proyek-proyek konstruksi di banyak negara berkembang. Hutang Tiongkok ini telah mendanai 'bandara paling kosong di dunia'; Mattala Rajapaksa International Airport di Sri Lanka, yang kini macam dalam keadaan mati suri -- tidak ada penerbangan yang berangkat atau tiba setiap hari -- selama beberapa tahun.

Pinjaman Belt and Road juga telah mengalir ke negara-negara Arab seperti Oman, yang pelabuhan Duqmnya telah menerima peningkatan aliran investasi asing berkat Tiongkok. Ada terminal lain yang serupa; terminal untuk sistem perdagangan berskala tinggi yang tengh dibangun secara konstan.

Pinjaman lainnya juga telah dicairkan untuk membangun Pelabuhan Hambantota, yang sepenuhnya dikerjakan oleh para pekerja migran Tiongkok dan justru kini telah dikelola oleh Pemerintah Tiongkok. Para pendukung proyek ini bersikeras bahwa jumlah pekerja Tiongkok, meskipun terus meningkat, masih merupakan bagian kecil dari total angkatan kerja di Sri Lanka, walau faktanya dapat diperdebatkan.

Di seluruh benua Eurasia, proyek serupa juga sedang berlangsung, atau setidaknya sedang dalam fase prospek.

Dari Kashgar di provinsi Xinjiang hingga Balkan, modelnya tak berbeda jauh. Proyek-proyek infrastruktur seringkali dibuat untuk menunjang prestise pemerintah dan bukan untuk utilitas lokal. Pinjaman diberikan oleh bank-bank Tiongkok yang didukung negara, untuk membayar sebagian atau seluruh biaya---seringkali berakhir membengkak dan mengacaukan ekonomi negara yang terlibat.

Perusahaan-perusahaan yang ditugaskan untuk membangun itu pun umumnya adalah perusahaan Tiongkok. Mereka mengimpor manajer dan pekerja dari Tiongkok lalu pasca selesainya proyek, pemerintah daerah harus menanggung biayanya -- kecuali mereka gagal bayar, sehingga Beijing dapat mengambil alih proyek tersebut.

Kendali Tiongkok atas infrastruktur penting di negara-negara seperti Inggris dan Yunani, dan bahkan proyek-proyek terbengkalai di Uni Emirat Arab, menunjukkan bahwa Tiongkok juga dapat dengan mudah membeli serta menjual kepemilikan industri-industri utama.

Pada periode yang sama, seiring dengan berkembangnya BRI, diplomasi Tiongkok juga menjadi lebih ugal-ugalan. Tiongkok berusaha memakai seuatu tameng dimana negaranya itu kuat secara militer dan tegas secara diplomatis. Strategi ini dipakai untuk menyelubungi kekuatan finansial Tiongkok yang sangat amat besar tersebut.

Persepsi Negatif Berskala Besar: Adakah Masa Depan bagi BRI?

Tiongkok cukup licik untuk memilih peran di balik layar dibandingkan kontrol langsung, terutama di zaman ketika masyarakat global kian memusuhi Tiongkok dan menganggap Tiongkok sebagai suatu bangsa yang tengah berusaha mencapai upaya hegemoni dunia. Di negara-negara asing dimana orang Tionghoa baru saja pindah (baik sebagai pekerja di megaproyek ini, atau kelas menengah yang ingin bermigrasi), sering kali mendapatkan penolakan oleh masyarakat lokal.

Pekerja Tiongkok sering kali harus mendapatkan perlindungan khusus oleh kepolisian, seperti di Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Kamboja, Pakistan, dan Bangladesh. Sementara itu, turis Tiongkok dan ekspatriat dianggap remeh karena dilihat oleh warga lokal sebagai orang-orang yang berperilaku buruk dan tidak bisa menghargai kultur penduduk lokal.

Beberapa di antaranya mungkin tidak lebih dari xenofobia anti-Tiongkok. Namun apa pun asal usulnya, hal ini mungkin akan mempersulit para pembuat kebijakan di Beijing untuk terus memakai pendekatan soft power. Hal ini artinya pendekatan yang Tiongkok ambil bisa jadi akan bertransisi menjadi pendekatan yang koersif atau bersifat memaksa.

Realita buruk perekonomian Tiongkok semakin dipandang dengan skeptisisme oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Industri real estate di Tiongkok misalnya, mengalami fenomena bubbly properti di kota-kota yang padat penduduk; disebabkan oleh surplus pasokan rumah, yang tidak akan pernah dihuni oleh siapa pun, sehingga harus dibongkar. Bank-bank di negara tersebut secara luas dianggap sudah 'aus', sebagaimana terilustrasikan oleh jatuhnya sejumlah konglomerat disana seperti kasus raksasa properti Evergrande yang terus-menerus menjadi berita utama karena gagal membayar pinjaman untuk pertama kalinya pada awal tahun 2022.

Bahkan ketika Tiongkok berupaya untuk membuktikan diri sebagai tempat yang aman bagi hutang luar negeri, beberapa investor internasional sudah mulai menjadi lebih vokal mengenai kenyataan sebaliknya. Bahwasannya, Tiongkok bukanlah tempat yang aman untu aktivitas-aktivitas ekonomi sejenis, mengingat lemahnya hukum disana dikarenakan struktur dan sistem pemerintahannya yang otokratis.

Suap besar-besaran dan kontrak-kontrak yang bersifat kolusif di RRT, contohnya yang dilakukan antara Apple dan Tiongkok, juga telah menarik perhatian berbagai pemangku kepentingan di tingkat regional dan global, serta melemahkan kepercayaan para investor dalam aspek bisnis.

Terdapat suatu skenario bahwa kelancaran Tiongkok menuju dominasi ekonomi, sesuatu yang diantisipasi oleh Partai Komunis Tiongkok (yang seharusnya dapat tercapai paling lambat pada tahun 2049), mungkin akan menghadapi hambatan yang tidak terduga.

Bahkan dengan kenyataan perusahaan komersial besar seperti Tesla, yang 'gigafactory'nya di Shanghai diperkirakan akan meningkatkan produksi dalam waktu dekat, kini telah mengalami anjlokan signifikan pada nilai saham mereka. Selain itu, perusahaan-perusahaan otomotif lain kian menyusul dalam hal produksi mobil listrik. BYD misalnya, diperkirakan dapat mengambil alih dominasi Tesla di pasar kendaraan elektrik.

Selain itu, terdapat kemungkinan besar bahwa banyak negara penerima hutang Tiongkok tidak akan pernah mampu membayar utang BRI mereka. Ini mengingat negara-negara termiskin di dunia berkembang secara jauh lebih lambat dibandingkan negara-negara kaya.

Beberapa orang yang terlibat dalam investasi Tiongkok di Afrika menyatakan bahwa persyaratan hutang Tiongkok mungkin ketat, namun mereka masih dapat memberikan keuntungan bagi Afrika. Bahkan terlepas dari perjanjian yang eksploitatif pun, skema pemberian hutang oleh BRI sebenarnya juga menghasilkan keuntungan bagi sebagian orang. Ingat, sebagian orang.

Namun seperti yang diketahui oleh masyarakat di negara-negara dimana proyek-proyek BRI dilaksanakan, tetap saja terdapat banyak penolakan terhadap proyek-proyek yang dibayar dengan kredit Tiongkok tersebut. Hal ini terutamanya disebabkan oleh kecemburuan sosial di kalangan kelas menengah-bawah lokal, dimana, pekerja negara asal yang dianggap low-skilled tak jarang digantikan posisinya oleh para pekerja migran dari Tiongkok. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun