Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Daging Kurban Kania

10 Juli 2022   19:50 Diperbarui: 10 Juli 2022   20:07 155 6
Daging Kurban Kania

Siang itu sangat terik, peluh mengalir seperti tak terkendali. Aku bergegas bertolak dari sekolah menuju rumah yang tak terlalu jauh, tapi tetap saja sekitar 10 menit lagi aku baru sampai di rumah.

Lelah sekali setelah berjibaku dengan gawe di sekolah tadi, aku ingin segera sampai rumah,  membersihkan diri dan menunaikan sholat dhuhur. Ibu pasti harap-harap cemas menunggu kedatanganku yang tak seperti biasanya. Tapi untunglah aku sudah bilang jika diperbantukan menjadi salah satu panitia untuk acara di sekolah kami saat ini.

Hari ini, hari tasyrikh pertama. Di sekolah kami seperti biasanya menyembelih beberapa kambing hasil iuran siswa dan guru. Alhamdulillah terkumpul sejumlah dana dan bisa membeli 3 ekor kambing. Beberapa warga sekitar zona kami beri dagingnya. Tidak pakai kupon karena bukan berlimpah juga dagingnya. Kami memakai gerobag yang didorong untuk sampai ke rumah-rumah yang telah kami survey sebelumnya, sebenarnya sih bapak Ibu guru yang mensurvey, kami tinggal melaksanakan petunjuknya saja. Bukan bermaksud memilih-milih namun karena keterbatasan yang membuat kami mau tidak mau harus memilih siapa yang lebih membutuhkan daging kurban. Karena Hari Raya Idul Adha bagi sebagian orang bisa jadi menjadi hari yang ditunggu-tunggu untuk bisa makan daging. Itu kata bapak guru kami, Pak Mul.

Selain masyarakat sekitar zona, tak ketinggalan warga sekolah sendiri, dengan cara yang kurang lebih sama mereka dipilih namun datang ke sekolah untuk mengambilnya sendiri. Sedang siswa yang lainnya diliburkan. Jadi yang datang ke sekolah hari ini adalah Bapak/Ibu guru, siswa penerima daging kurban dan beberapa siswa yang ditunjuk sebagai panitia untuk membantu mengeksekusi daging juga hingga tersampaikannya ke tangan penerimanya yang sudah di data. Mereka yang dipilih beberapa siswa putra dan putri dari kelas 5 dan 6. Sebagai hadiah dari kerja kami, kami di beri makan hasil karya Ibu-ibu guru, menyenangkan sekali, bukan?. Bukan hanya karena kami memang sedang kelaparan. Namun sungguh, bisa membantu Bapak Ibu guru, bisa bermanfaat untuk sekolah saja, bagiku sudah amazing sekali. Makanan itu terasa sangat nikmat menyenangkan.

Aku bahagia, tapi aku lelah. Saat lelah tak berbilang itu, dalam perjalananku yang tergesa, pandanganku menangkap seorang bocah lelaki berurai air mata memeluk bibir pintu sebuah rumah. Lelahku telah semakin lelah, namun aku harus berhenti sejenak. Ada yang menarikku untuk datang kepada bocah laki-laki itu. Iba. Ah, siapapun akan iba bila melihat pemandangan ini. Bocah lelaki itu menangis tanpa suara. Dekil dan berlinang air mata. Kukesampingkan lelahku, tidak, tapi mungkin aku melupakannya. Rumah ini sepi. Sedang aku berjongkok untuk bisa berbicara dengan bocah lelaki itu.
"Dek, kamu kenapa?"
Dia terdiam. Bukan terdiam, tapi masih dengan keadaannya yang semula.
"Adakah yang sakit?"
Masih tak bergeming.
"Dimana Bapak dan Ibumu?"
Bahunya mengisyaratkan isakan yang tertahan, ia menyembunyikan wajahnya pada penyangga pintu.
"Ada apa dek?"
Isakannya semakin jelas.
"Baiklah, biar kakak membawamu ke rumah kakak ya... tidak jauh dari sini?"
Dia duduk di lantai bersandarkan tembok dan memeluk lutut.
Aku ikut duduk disampingnya.
"Dek, cerita dong. Apa yang terjadi denganmu."
Dia masih tak berkata apa-apa, isakannya timbul tenggelam. Aku memutuskan untuk diam juga menunggu, mungkin dia sedang berpikir apa yang harus diceritakannya kepadaku. Sampai ....

Keluar dari kamar seorang perempuan kecil, sepertinya itu kakaknya, mungkin 2 tahunan usianya dibawahku.

"Adikku sedang sedih kak"

"Hai, bukankah kamu Kania?"
Dia diam, duduk mensejajarkan diri dengan bocah lelaki itu dan mengelus rambutnya.

"Ibu kami sedang ke rumah Pak Syam untuk menjual daging yang tadi kuperoleh dari sekolah." Katanya sambil menunduk.

"Kenapa dijual?"

Diam beberapa detik, hingga seorang perempuan paruh baya yang adalah Ibu mereka memasuki rumah, dan terkaget melihatku.

"Maaf bu, saya hanya mampir karena melihat adek ini sedang menangis tadi."

Kulihat bocah lelaki itu semakin sedih, ia memandang bungkusan di tangan Ibunya, guncangan dibahunya semakin keras. Entah apa yang membuatnya demikian.
Aku semakin prihatin, lalu kucoba bertanya pada beliau.

"Kalau boleh tahu, kenapa. Maaf saya bertanya dari tadi belum dijawabnya."

Ibu itu hanya menghela nafas panjang, dan matanya mengisyaratkan bahagia yang pura-pura ketika memandangku. Aku tahu karena mata itu berkaca-kaca.

Aku merasa kurang sopan jika memaksa untuk mereka bercerita tentang keadaannya. Namun juga tak bisa begitu saja untuk meninggalkan mereka, juga bukankah terlanjur basah. Jadi kutunggu sejenak, apa kiranya yang hendak dikatakan oleh Ibu itu.

Pandangannya yang lembut, membelai wajah anak-anaknya. Namun kurasakan getir sekali.

"Ah, tidak apa-apa anak pulanglah sudah ditunggu Ibu di rumah."

"Baiklah."

Aku menunduk, mencium punggung tangannya dan bersalam pamit keluar.

Kulirik pada sepasang bocah yang duduk bersandar di dinding rumah itu, tangisan tanpa suara bocah lelaki itu belum mereda. Aku bimbang tapi apa yang bisa kubuat.

Kuceritakan keprihatinanku pada Ibu, setelah sampai di rumah.

"Ibu mengerti. Sekarang mandi dan sholatlah dulu. Ibu mencoba mencari tahu, ada apa dengan mereka."

"Baik, bu."

Setelah selesai mandi dan menunaikan sholat dhuhur, aku duduk di meja makan, sedang Ibu sibuk mempersiapkan entah apa, di dapur.

"Jadi bagaimana bu. Adakah yang Ibu ketahui."

"Sabarlah dulu, minumlah lemon tea nya."

"Tapi bu ..."

Segera kuminum lemon tea buatan Ibu, agar bisa segera mendengar penjekasan Ibu. Segar, wangi. Aku membayangkan mereka juga minum lemon tea ini juga. Ahh, bagaimana ya....

"Ibunya Kania tadi kesini. Menjual daging kurban. Ibu sudah sampaikan tidak usah dijual. Makan saja dengan anak-anak. "

"Ibu sebenarnya tahu, kesulitannya. Mereka saat ini tidak punya beras dan berniat menukarnya dengan daging yang diperoleh Kania dari sekolah kalian. Padahal anak-anaknya pasti sudah lama ingin makan daging. Ibu ingin sekali memberinya beras tanpa harus membeli daging itu. Namun Ibu takut meruntuhkan harga dirinya dengan mengatakan semua itu. "

"Jadi, bagaimana cara kita menolong mereka bu?"

"Bagaimana jika kita ke rumah mereka. Bilang bahwa Ibu membutuhkan tenaganya untuk beres-beres  rumah dan cuci tiap hari di rumah ini. Sambil kita bawa masakan daging Ibu untuk mereka, kita bilang, ini hadiah untuk Qomar anak lelakinya, mumpung Ibu masak banyak hari ini. Begitu ide yang bagus kan?"

"Yeee.... "
"Ibu hebat. Baik bu. Ayo kita berangkaaat."
"Eeh, tunggu dulu. Bawakan mereka nasi dan lemon tea juga ya, barangkali saja nasinya belum matang."

"Baiklah anak Ibu hebat. He...he...."

Mereka berangkat ke rumah Kania, dengan bertos dulu sebelumnya.

****

Hatiku sangat gembira.

Sampai di rumah mereka, aku menunggu diseberang jalan. Sambil berdoa semoga Ibu tidak salah bicara, dan semoga mereka berkenan menerima permintaan Ibu untuk bisa bekerja paruh waktu di rumah kami.

Aku melihat dari kejauhan Ibuku dan ibunya Kania berbincang. Ibu menyerahkan bawaanya dan diterima Ibunya Kania.

Ibu keluar rumah mereka. Lebih cepat dari dugaanku. Memang Ibu lihai dalam berkata-kata. Syukurlah ya Allah.

Aku membayangkan saat ini Qomar sedang lahap makan masakan daging dari Ibu. Semoga ....

****

Bangil, Senin ; 12 Agustus 2019
Al-Istnain, 11 Dzulhijjah 1440 H.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun