Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Lembar Penghakiman

17 November 2019   13:23 Diperbarui: 17 November 2019   13:25 58 8
Telepon itu berdering tepat pukul 14.15. Si empunyai telepon berbicara dengan seseorang di seberang sembari menahan tawa. Dalam keheningan ruangan penuh kedengkian dan kemegahan diri. Apapun itu di kikis serta di poles sedemikian rupa sehingga memudar kenyataan yang sebenarnya. Memanas.

Suhu di ibu kota akhir - akhir ini mencapai 36 derajat celcius sebagai bagian dari pergerakan semu matahari dari belahan bumi utara ke selatan. Sehingga pepohonan yang menghiasi sisi jalan tak mampu menahan luapan panas yang di muntahkan secara membabi buta.

"Saudara Novel, anda di minta untuk segera memasuki ruang persidangan." Ujar Rebecca mantap walau kesulitan meletakan kembali gagang telepon. Rupanya kabel telepon tersangkut di bingkai kaca matanya. Ia kembali tertawa. Menahan tawa atas aksi konyol dirinya sendiri.

Novel berjalan santai dan tetap tersenyium lebar ketika memasuki ruang gelar sidang perdana kasus kelalaian. Masih terbayang dalam benaknya ketika tadi seorang pengedara sepeda motor menerobos untuk tetap membuntuti truk tangki air . Yah belakangan ini, pemerintah kota setempat mengerahkan beberapa truk tangki air untuk menyisir dan menyiram ruas - ruas jalan protokol. Meskipun menggunakan air keruh tapi kucuran air dari truk tangki tersebut mampu memberikan kesejukan jiwa. Daripada kelihatan berpikiran jernih tapi berkelit - kelit ketika terdesak. Sampai tak kuasa menahan tawa geli.

Di ruang persidangan Novel duduk di kursi panas seorang diri tanpa di dampingi pengacara. Sebab Novel sendiri sebenarnya sudah tahu persis akan di kemanakan alur persidangan ini. Contoh paling konkrit kasus Ahok. Walau para ahli bahasa dan ahli hukum di hadirkan, mengerahkan segala argumen namun tetap saja dianggap bersalah. Repot kalau berurusan sama para pemangku jabatan yang suka ngotot dan berkelit - kelit. Disamping itu juga gampang terhasut dan suka ikut arus.

"Sdr. Novel, bagaimana kinerjamu selama ini?" Tanya hakim 1 sembari mengucek kedua bola matanya. Hakim perempuan yang lahir di zaman orde lama ini seharusnya sudah menikmati masa pensiun. Tidak perlu lagi menghabiskan masa tua nya di meja persidangan. Sebab seringkali tertidur pulas disaat sidang sedang berlangsung.

"Sejauh ini baik - baik saja yang mulia. Semua teratasi. Beress!!" Ujar novel mantap. Kedua bola matanya di tengadahkan ke atas dan bahu kanan ikut terangkat.

"Lho orang lain yang menilai kita. Bukan kita yang menilai diri sendiri sdr. Novel." Kata hakim 1 sambil jari telunjuknya di julurkan ke arah hidung. Novel mengira hakim perempuan tua ini mau memgorek kotoran di dalam rongga hidung tapi ternyata jari telunjuk di arahkan untuk memperbaiki letak kaca matanya.

"Sudah tahu orang lain yang menilai diri kita kenapa tanya ya?" Novel membatin seraya tertawa ngakak. Iya wajar dunk kalau Novel menjawab seperti itu. Kan untuk menghargai diri sendiri. "Lha yang menilai kinerja ibu hakim sendiri siapa?"

Tiba - tiba sepasang cicak yang sedari tadi berkejaran di plafon tejatu tepat di sebuah amplop coklat berukuran kertas HVS A4. Ibu hakim 1 terkejut sembari telapak kanannya menempel lekat ke dadanya. Hampir saja beliau serangan jantung. Lalu segera tangan kirinya mengibas amplop coklat tersebut sehingga kedua cicak itu terhempaskan. Namun lucu nya salah satu cicak tersebut malah tersangkut di lubang hidung hakim 2. Ekspresi kaget hakim 2 seperti orang kesurupan mengundang gelak tawa seisi ruang persidangan.

"Baiklah. Sidang di lanjutkan. Sdr. Novel anda di laporkan melakukan kelalaian besar. Ekspedisi yang anda referensikan tidak memenuhi standart sama sekali. Pengiriman barang mengalami keterlambatan. Akibatnya perusahan mengalami kerugian besar. Saya kok ngk tahu ya kalau selama ini kita menggunkan ekspedisi tersebut."

Novel tertawa ngakak mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan ibu hakim. Kemana aja ya selama ini kok bisa ngk tahu. Apa karena efek kebanyakan tidur saat jam kerja? Padahal sudah banyak kali menggunakan jasa ekspedisi tersebut kok diam saja? Ketika ada kendala dan juga baru pertama kalinya terhambat baru dech mencari tahu. Sudah gitu bukannya membantu memberi solusi malah mencuci tangan. Hiksss.... dimana letak urat malu itu ya?

"Lho yang mulia untuk pengiriman barang sudah saya mencari solusi dengan mengalihkan ke ekspedisi lainnya."

"Tidak. Itu hanya sekedar saja." Sambar yang mulia ibu hakim. Kemudian lanjutnya. "Dari semua kasus kelalaianmu, sanksi yang di berikan adalah SP1." Katanya sembari menarik keluar sebuah lembar penghakiman dari dalam amplop coklat.

"Banding yang mulia ibu hakim. Saya keberatan atas sanksi tersebut karena murni kelalaian saya hanya tidak ikut meeting bulanan sebagai agenda rutin. Kalau kelalaian lain seperti masalah ekspedisi itu bukan murni kesalahan saya saja."

"Tidak bisa di banding sdr. Novel. Ini sudah paten. Hasil keputusan dari ibu Rebecca seperti itu. Saya tidak tahu urusan seperti ini. Saya hanya menjalankan saja."

Novel tidak lagi beragumen. Ia tak kuasa menahan tawa geli mendengar ucapan ibu hakim. Sungguh sebuah keputusan sanksi yang tidak jelas. Novel akhirnya memutuskan untuk menanda tangani lembaran tersebut tanpa membaca isi surat tersebut. Ia ingin cepat - cepat keluar dari ruangan persidangan tersebut. Apalagi melihat kedua bola mata ibu hakim seperti menahan beban air mata setiap kali argumennya terbantahkan. Sungguh tak tega

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun