Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Hak Masyarakat Adat di Kaltim

21 Juni 2010   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:23 1015 0
Indonesia memiliki kekayaan hutan dengan luas 120,35 juta hektar dan menjadi negara pemilik hutan terluas di Asia Tenggara. Bahkan menempati urutan ketiga negara pemillikan hutan di dunia setelah Brazilia dan Kongo.

Dalam konteks hutan, masyarakat asli memahami bentuk tradisional pengelolaan sebagai hak adat yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Hutan dianggap sebagai alas kebudayaan dan kehidupannya yang telah lama hidup secara turun menurun, berinteraksi serta tergantung pada sumber daya hutan.

Secara genealogis dari masyarakat (hukum adat) masih perlu menerapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai hukum adapt. Bila disuaikan dengan konteks Kalimantan Timur (Kaltim) yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang tinggi, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Kaltim memiliki 40% masyarakat asli Kalimantan yakni suku Dayak dan 60%-nya adalah Kutai, Paser dan lainnya (ISHA: 2006).

Pengelolaan sumber daya alam berupa hutan, tambang dan perkebunan dieksploitasi yang berlebihan akan menimbulkan pergeseran sosial dan budaya. Juga berdampak pada masalah hak-hak masyarakat adat serta hukum adat di Kaltim.

Meski pun UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan diharapkan dapat memberi jaminan hak-hak masyarakat dan kepastian hukum dalam mengelola hutan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup sekitar hutan. Namun, ternyata hak-hak masyarakat dalam mengelolaan hutan diambil secara sewenang-wenang oleh negara, dan masyarakat terpinggirkan.

Hal ini tidak sesuai lagi dengan tujuan awalnya UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut. UU ini telah memberikan kewenangan kepada masyarakat adat untuk melakukan pengelolaan terhadap kawasan hutan.Tetapi hutan yang dikelola masyarakat adat tetap dalam kerangka pikir "hutan negara". Dengan pengertian hutan adat dalam pengertian hutan negara, maka kekuasaan negara atas hutan tersebut sangat besar.

Dalam banyak kasus di Kaltim, apabila negara memperlukan hutan kemudian diberikan kepada pengusaha HPH. Di bidang pertambangan dan perkebunan, negara dapat mengambil alih atau merampas hutan tersebut dengan dalih "hutan negara" dan dilaksanakan "untuk kepentingan umum". Hal ini merupakan impliaksi dari ditetapkannya hutan adat yang dikuasai dan dikelola masyarakat adat sebagai hutan negara.

Seharusnya masyarkat adat diakui keberadaannya sesuai dengan ratifikasi Konvensi ILO 169 Tahun 1989 tentang Convention Concerning Indigenous and Tribal Peoples In Indenpendent Countries mendifinisikan masyarakat adat sebagai "tribal people in independent countries whose social, cultural and economic conditions distinguish them from other sections of the national community, and whose status in regulated wholly or partially by their own customs or traditions or by special laws or regulatios".

Diberlakukanya UU Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahum 2004 tentang Pemerintahan Daerah, membawa era otonomi daerah yang memberikan peluang di bidang kehutanan dalam mendekatkan sistem pengelolaaan sumber daya hutan itu kepada masyarakat di daerah atau masyarakat adat. Hal ini merupakan implementasi dari konsep Community Based Forest Management (CBFM) yaitu pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat sebagai salah satu konsep pengelolaan hutan global.

Pengakuan eksistensi keberagaman adat di Indonesia pasal 18-B ayat (2) dan (3) Amendemen UUD 1945, Tap Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.

Dalam konteks sumber daya alam, dikenal adanya Hak Menguasai Negara (HMN). Yakni hak negara untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana termaktub dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Bunyinya, bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketentuan itu dijadikan alat untuk melegalisasi kekuasaan pemerintah terhadap sumber daya alam yang berlebihan terutama untuk mendukung kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Di sisi lain pemerintah tidak mengakui pentingnya perlindungan fungsi dan daya dukung ekosistem sumber daya alam.

Disisi lain pasal 8 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria mengatakan bahwa "untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang".

Dalam prakteknya penguasaan hutan oleh negara memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat yang banyak mengabaikan hak-hak masyarakat adat, termasuk di Kaltim sejak 1970. Akibatnya, hak masyarakat adat sekitar hutan banyak tergusur dan menimbulkan konflik sosial pada suku Dayak.

Untuk melindungi keberadaan hak masyarakat atas hutan, ada upaya Pemerintah Daerah di wilayah Kaltim membuat Peraturan Daerah (Perda). Misalnya, Kabupaten Nunukan punya Perda Nomor 03 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Disusul dengan Perda Nomor 04 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Mayarakat Hukum Adat Lundayeh di Kabupaten Nunukan. Di Kabupaten Paser sedang disiapkan Raperda tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Kabupaten Malinau mengatur lembaga adat dengan Perda Nomor 04 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat, dan Raperda tentang Hak Ulayat dan Hukum Adat.

Faktanya ada kesepahaman antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat adat di Kaltim atas penghargaan terhadap hak-hak masing-masing atas hutan. Dengan kata lain hak kelola yang dimiliki masing-masing pihak belum cukup terbangun secara menyeluruh. Ada aspek ketidakadilan terhadap hak masyarakat adat di Kaltim.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun