Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Politik Akomodatif Pemenang Pilpres

10 Mei 2024   14:00 Diperbarui: 10 Mei 2024   14:01 155 2
Politik Akomodatif pemenang pilpres

Oleh : Komarudin Daid

Pasca putusan MK tanggal 22 April 2024 yg menolak gugatan kubu Paslon 01 dan 03,yg keesokan harinya diikuti dengan penetapan pemenang Capres-Cawapres Prabowo-Gibran oleh KPU RI, maka selesailah sudah seluruh rangkaian proses pilpres 2024. Dengan demikian kondisi politik nasional yg beberapa bulan ini memanas,perlahan mulai reda.Gegap gempitanya kian hari kian berkurang,bahkan terasa makin sunyi.

Usulan membuat hak angket oleh sejumlah anggota DPRRI sepertinya mulai mati suri. Para anggota dewan yg awalnya ngotot ingin membentuk hak angket,saat ini suaranya hanya sayup terdengar , dan sebentar lagi benar-benar tidak terdengar sama sekali,terkubur seiring dinamika politik ,yang menghadirkan realitas politik baru, sehingga inisiatif hak angketpun  mati permanen.

KUE POLITIK
Yang ramai akhir-akhir ini adalah isu jatah politik antar Paslon  pemenang pilpres dengan partai Pengusung dan pendukung Prabowo-Gibran. Partai Gerindra, Golkar,PAN, Demokrat sebagai pengusung dan pendukung Paslon Prabowo-Gibran tentu saja meminta jatah politik yang setimpal berupa kursi menteri untuk partainya. Bukan cuma itu,  partai yg tidak lolos ambang batas parlemen semisal  PBB,Gelora, pasti berharap hal  yang sama, karena  merasa  sudah berkeringat memenangkan Prabowo-Gibran.

Problemnya adalah jatah kursi menteri partai pengusung dan pendukung prabowo-Gibran dengan sendirinya akan berkurang dengan merapatnya dua partai yaitu Nasdem dan PKB yang belakangan ini mulai intens menjalin komunikasi dengan Prabowo-Gibran.Mustahil dua parpol tersebut mau mendukung tanpa imbalan yg setimpal , dan "barter politik" yg paling setara adalah kursi menteri.

NASIB PARTAI NON PARLEMEN
Melihat intensitas pertemuan antara Prabowo-Gibran dengan Nasdem dan PKB nampaknya makin mengkhawatirkan posisi partai yang tdk lolos parlemen atau paliamentory Threshold , kalau partai pengusung dan pendukung yang lolos parlemen akan berkurang jatah menterinya, maka jatah partai non parlemen bisa jadi akan hilang sama sekali,sehingga yg semula berharap dapat jatah walau hanya satu kursi menteri,akan pupus alias tidak kebagian kue politik sama sekali.

Hal ini sangat mungkin terjadi,karena parpol non parlemen tidak punya nilai tawar alias bargaining politik,sementara kedua partai yang baru bergabung yaitu Nasdem dan PKB  masing-masing punya kursi 69 dan 68 kursi di DPR-RI, jumlah yg signifikan utk memperkut posisi pemerintah,sekali Gus merepotkan pemerintah seandainya mengambil posisi oposisi.

Jadi jelaslah dua partai diatas punya nilai tawar politik yang sangat strategis,ditengah keinginan Prabowo-Gibran untuk mengamankan kebijakan yang dibuatnya , dan yg bisa memback upnya hanyalah partai yang punya perwakilan diparlemen, termasuk Nasdem dan PKB, walau baru bergabung pasca ketetapan MK tanggal 22 April lalu dan tidak ikut mensukseskan Paslon Pabowo-Gibran yg kini jadi pemenang,malah jadi kompetitor terkuat dengan mengusung Paslon lain yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Itulah politik,pada kondisi tertentu begitu pleksibel dan sangat cair.

URGENSI PENAMBAHAN KEMENTERIAN
Yang tidak kalah ramai adalah soal rencana penambahan kementerian dari 34 menjadi 40 kementerian. Maka yg pertama muncul adalah apa urgensinya,sementara kementerian harus memperhatikan faktor  efektifitas dan efisiensi sesuai perintah Pasal 13 ayat 2 UU no.39/2008 yang mengatur jumlah kementerian maksimal 34 kementerian.

Kalau penambahan kementerian Tidak lagi memperhatikan faktor  efektivitas dan efisiensi, tapi semata karena ingin mengakomodir keinginan partai pendukung pemerintah, maka lahirnya kementerian baru sungguh-sungguh tidak diperlukan,karena hanya  akan terjadi pemborosan terhadap keuangan negara.

Selain itu DPR harus merubah undang-undang  nomor  nomor 39 tahun 2008 yang mengatur jumlah kementerian paling banyak 34 menjadi 40 kementerian.

Memang dengan komposisi dukungan yg mayoritas, merubah UU bukan persoalan sulit, tpi masalahnya kalau  merubah UU hanya untuk menuruti keinginan presiden terpilih Prabowo demi mengakomodasi kepentingan partai pendukung pemerintahannya, atau  bahasa lugasnya cuma untuk bagi- bagi keu politik semata, maka penambahan jumlah kementerian dari semula 34 menjadi 40 kementerian, sama sekali tidak menemukan urgensinya dan hanya akal-akalan saja.


KOALISI VERSUS OPOSISI
Posisi Pemerintahan Prabowo-Gibran sepertinya semakin kuat.kalau sebelum masuk Nasdem dan PKB, kursi parlemen pendukung pemerintah hanya 49 persen,angka yang mengkhawatir dari angka aman minimal 50 persen plus satu, sehingga Prabowo-Gibran masih ketar-ketir karena belum aman dalam membuat kebijakan , bahkan rawan "disabotase" oleh kekuatan parlemen yg mayoritas oposisi, maka dengan bergabungnya PKB dan Nasdem, pemerintahan Prabowo-Gibran berada pada posisi yang benar-benar satle,karena dengan begitu pendukungnya mencapai 70 persen, angka yg melegakan pemerintahan Prabowo Subiyanto - Gibran Rakabuming Raka .

Yang tersisa dan berada diluar koalisi pemerintah hanyalah PDIP, setelah PKS pun memberi tanda-tanda akan bergabung ke koalisi Prabowo-Gibran. Praktis hanya PDIP lah  satu-satunya partai yg sudah memantapkan diri berada diluar pemerintahan alias oposisi. Sayangnya kekuatan oposisi sepertinya tidak berimbang dengan kekuatan Koalisi.

PDIP dengan perolehan kursi DPR RI sebanyak 110 kursi harus berhadapan dengan  koalisi jumbo  Gerindra,Golkar,PAN, Demokrat, PKB dan Nasdem dengan jumlah kursi sebanyak 417 kursi, mengakibatkan timpangnya dua kekuatan politik parlemen, sehingga setiap kebijakan pemerintah melaju dengan mulus ,tanpa koreksi yang maksimal dari kekuatan oposisi yang minimalis,belum lagi kalau PKS betul-betul  ikut nimbrung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran, maka legislatif menjadi mandul dan hanya menjadi alat stempel pemerintah saja.

Dengan komposisi yang ada, maka pemerintahan Prabowo-Gibran leluasa membuat berbagai macam kebijakan, hal ini tidak sehat secara demokrasi bahkan mengkhawatirkan ,karena punya potensi melahirkan pemerintahan yang otoriter.

Sebagai orang yg dibesarkan dikalangan militer, Prabowo punya potensi untuk itu. Apalagi sejarah kelamnya telah menorehkan catatan hitam dalam sejarah bangsa ini,sebagai pelanggar HAM berat dalam kasus penculikan dan penghilangan belasan mahasiswa. Mungkin tidak terjadi ditahun awal pemerintahannya,atau karena kondisi politik yang blm kondusif, tapi perlahan akan terlihat dari model kepemimpinan dan kebijakan yg dibuatnya.

Legislatif yang sudah  dipereteli kekuatannya sejak awal,dengan "barter politik" berupa kursi menteri, adalah kondisi paling memungkinkan untuk lahirnya gaya dan model memerintah otoriter oleh Prabowo,minimal berupa kebijakan yang tidak lagi berpihak kepada rakyat Indonesia.

Lalu apa gunannya pergantian presiden lima tahun sekali, kalau pemerintahnya tidak mampu menghadirkan kondisi kehidupan yang lebih baik,yaitu kepemimpinan yang betul-betul memahami gerak denyut jantung rakyatnya yang menginginkan kehidupan yang lebih baik. Semoga kekhawatiran penulis  tidak jadi kenyataan negara tercinta kita Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun