Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Mengelola Taman Baca Sesulit Main PUBG

27 Mei 2020   08:45 Diperbarui: 27 Mei 2020   08:47 117 2
"Kerjaan lu ngapain deh? Jaga perpus gitu ya? Data buku? Eh ngapain sih?"

Pertanyaan yang selalu saya dapatkan, seusai mendeskripsikan saya bekerja di mana. Tapi, pertanyaan itu tidak salah. Sayapun memiliki pandangan sama--sebelum terjun di dalamnya. Bahkan, saya dulu menganggap ingin bekerja di sini karena ingin jalan-jalan saja.

Saya bekerja di Non Government Organization (NGO) atau mudahnya Yayasan nonprofit, yang fokus dalam dunia literasi dan pendidikan. Spesifiknya dengan membangun Taman Baca. Terhitung ada 35 Taman Baca yang sudah dibangun, tersebar di seluruh Indonesia. Terletak di dalam sekolah ataupun luar sekolah (Posyandu, Balai Desa, Rumah Warga). Mulai dari Bogor, Tangerang, Bekasi, sampai Maluku Tenggara Barat dan Sumba. Menyasar daerah yang memang sulit mendapatkan akses bacaan yang berkualitas.

Persis seperti kalian, saya pikir bekerja di sini hanya sekadar menjaga "perpustakaan" lalu menghitung dan menata buku. Ya, tambahannya paling mengajarkan anak-anak lah. Ternyata, prediksi saya kurang tepat---bahkan, saya tercengang ketika mengetahui ada unit divisinya. Sehingga saya ditempatkan sebagai Junior Program dan Monitoring.

Apa jobdesknya? Wah, luar biasa. Saya akui, ini sesulit bermain game PUBG atau mengcover lagu-lagu milik Seek Six Sick. Satu tim hanya ada tiga orang, dan saya perempuan sendiri--sekarang. Selain fokus membangun Taman Baca, Yayasan ini juga fokus dalam hal pendampingan. Kami mendampingi semua Taman Baca mulai dari setahun sampai maksimal tiga tahun.

Pendampingan dan pasca pendampingan inilah yang menjadi sebuah PR besar dan kami harus merancang program serta pelatihan di dalamnya. Tidak asal, kami harus berangkat dari tiga komponen. Keberlanjutan manfaat Taman Baca untuk Anak, Staff lokal (sebagai pengelola Taman Baca), dan stakeholder (Kepala Sekolah, Kepala Desa, dsb).

Bagaimana sebuah Taman Baca yang sudah dibangun tetap berjalan meskipun kami sudah selesai dampingi?

Bagaimana anak-anak tetap membaca buku meskipun sudah tidak ada monitoring rutin dari kami?

Bagaimana sebuah Taman Baca bisa dipercaya masyarakat sebagai tempat yang positif dan mereka senang mengunjunginya?


***

Masa pagebluk ini, membuat kegiatan kami berubah drastis. Salah satunya, sulitnya kami berkomunikasi dengan mereka yang berada di daerah susah sinyal tanpa mengunjungi. Betapa peningnya, kami harus mengubah rancangan program agar Taman Baca tetap berjalan.

Alhasil, kami juga tidak bisa memaksakan Taman Baca tetap berjalan. Sementara, kami mengalihkan menjadi kegiatan peminjaman buku dan beberapa kegiatan yang bisa dilakukan dari rumah. Seperti membuat poster pencegahan covid-19, membuat pesan positif selama di rumah saja, dan menulis puisi atau kisah inspiratif.

Sisanya, ditambah kegiatan daring seperti membuat webinar dan sharing session melalui live instagram dengan berbagai narasumber: penulis, partnership, tenaga medis, relawan, dan tokoh masyarakat. Juga menggalang dan distribusi donasi paket sembako, masker, hand sanitizer kepada warga yang terdampak covid-19 di daerah Jabotabek dan sekitarnya.

Namun, situasi ini menjadi tantangan bagi kami untuk terus adaptasi dan inovasi dengan memerhatikan protokol kesehatan tentunya. Tidak elok jika hanya pasrah atau sekadar menuruti ide gila pemerintah dengan konsep "new normal-nya" yang membuat kami tambah pening. Padahal kami masih pening, karena ongkos kirim buku yang luar biasa. Ajaib memang Indonesia!

Ini hanya opini. Saya yakin, semua profesi juga sedang berjuang menghadapi kesulitan serupa. Semoga, kita terus bertahan dan tentunya tetap bisa melakukan proses kreatif setiap harinya. Sehat selalu!

Renita Yulistiana

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun