Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

71% Warga Jogja Tolak Penetapan Sultan sebagai Gubernur

5 Oktober 2011   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:19 630 0
Pilkada Jogja yang baru saja berakhir tanggal 25 September 2011 kemarin mengejutkan banyak pihak. Pasangan calon yang didukung Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu Haryadi Suyuti-Imam Priyono (HATI) ternyata "hanya" menang dengan perolehan suara 48% selisih 6% dari pesaing kuat, Hanafi-Tri Harjun (FITRI) dari jumlah suara sah sebesar sekitar 200an ribu suara.

Jika dilihat dari total jumlah pemilih yang terdaftar di pilkada Jogja sebesar 328 ribu jiwa, maka kemenangan HATI hanya terbilang 29%, angka yang sangat kecil untuk membanggakan dukungan total dari Kraton. Bahkan, di kecamatan Kraton sendiri yang terdiri dari tiga kelurahan (Patehan, Panembahan, Kadipaten), suara kandidat yang didukung Kraton hanya menang selisih 1000 suara dibanding pesaing kuatnya.


Rasan-rasan di tengah masyarakat Jogja pun merebak: pilkada Jogja memberi kita sebuah pelajaran yang sangat berharga bahwa ternyata mayoritas masyarakat Jogja sebenarnya telah berani menyatakan sikapnya secara demokratis untuk MENOLAK TUNDUK kepada rajanya sendiri. Terbukti, yang patuh dengan ajakan Kraton untuk mendukung HATI hanya 29% dari total jumlah pemilih. Artinya, selebihnya, yaitu 71% warga masyarakat Jogjakarta sadar secara politik untuk tidak serta merta mengikuti ajakan raja maupun para kerabatnya.


Hal ini jelas sebuah tamparan keras bagi Kraton yang sedang getol memperjuangkan keistimewaan DIY karena ternyata aspirasi pro-penetapan hanya didukung oleh segelintir masyarakat saja. Itu pun karena bisa jadi masyarakat yang memilih jagonya Kraton karena takut diusir dari tanah Kraton yang mereka huni (Magersari). Bahkan, beberapa kasus ditemukan juga bahwa kerabat Kraton di Magersari ternyata melakukan intimidasi dan mengancam warga sekitar agar memilih HATI karena jika tidak maka mereka akan diusir dari tanah tersebut.


Selain cara-cara anti-demokrasi yang dilakukan oleh para kerabat Kraton, masyarakat Jogja juga terlalu banyak dilingkupi oleh pembodohan yang sistematis oleh para pendukung kerabat Kraton karena wacana demokratik dalam pilkada yang seharusnya menyuguhkan program dan visi-misi kandidat harus tenggelam karena isu pro-penetapan yang tidak jelas keberpihakannya terhadap rakyat. Wajar saja jika sebuah harian milik KOMPAS di Jogja, yaitu harian TRIBUN JOGJA, pernah mengangkat headline "Isu Pro-Penetapan MEMBOSANKAN"!


Namun demikian, hasil pemilihan walikota Jogja tetap menjadi hal yang harus kita camkan bersama-sama. Ternyata Kraton tidak lagi berpengaruh di Jogja. Pilkada Jogja membuktikan dengan tegas bahwa (1) Kraton tidak lagi didukung oleh mayoritas warganya, (2) Kraton terbukti justru merusak cara-cara sehat dalam demokrasi karena lebih mengandalkan intimidasi, ancaman, dan kekerasan, (3) Kraton yang menurunkan GBPH Pabukusumo, GKR Pembayun, KPH Indrokusumo, dan termasuk GKR Hemas (istri Sultan) cuma berhasil meraup tidak lebih dari 30% suara pemilih warga Jogja.


Kraton telah gagal menjadi pengayom masyarakat Jogja dan masyarakat Jogja pun sudah cerdas menentukan sikapnya untuk tidak lagi dikelabui oleh wacana pro-penetapan. Kedaulatan rakyat Jogja sejatinya ada di rakyat Jogja itu sendiri, bukan pada "ndoro-ndoro" Kraton tersebut.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun