Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Bagian (4) : "Menunggu Nasib Regulasi Seharga 7 Milyar Lebih"

13 Maret 2012   08:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:08 112 0
Revisi Undang-undang Pemilu, pembahasanya berlangsung alot. Tidak heran memang, karena regulasi itu yang menentukan bukan hanya eksis tidaknya partai di panggung pemilu, tapi juga menentukan nasib politisi yang ingin masuk parlemen di 2014. Maka energi politik pun banyak terkuras untuk memperjuangkan kepentingan politik masing-masing partai dan politisinya.

Faktanya, hingga mendekati tenggat penyelesaian RUU yang dipatok pada Maret 2012, pembahasan masih juga alot. Poin yang paling alot adalah tentang berapa angka parliamentary treshold atau PT yang bakal diterapkan pada pemilu 2014.

Besaran angka PT menjadi penting memang bagi partai. Karena bila gagal melewatinya, alamat tak bisa masuk parlemen. Beberapa partai merasakan pahitnya pil angka PT, seperti Partai Bulan Bintang (PBB), yang sekarang di pimpin MS Kaban, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan PKPI.

Partainya MS Kaban yang paling merasakan pahitnya pil PT. Ada di urutan 10 besar, tapi raupan suara PBB tak mencapai 2,5 persen dari total jumlah pemilih. Maka PBB pun terlempar dari orbit politik Senayan. Padahal pada pemilu sebelumnya, partai yang sempat di nakhodai Yusril Ihza Mahendra itu, masih bisa masuk parlemen.

Begitupun dengan PDS, PKPI dan PBR, harus menelan pil pahit 'terusir' dari Senayan karena tak mampu melewati angka PT 2,5 persen. Kaban tentu tak ingin kembali di luar ring.

Maka mantan Menteri Kehutanan itu, menyebut rencana menaikan angka PT hingga 5 persen, tak lebih sebagai skenario partai besar di Senayan memberangus demokrasi. Kaban pun menuding, partai besar sepertinya ingin membunuh partai-partai kecil. Apalagi bila PT itu diberlakukan secara nasional, menurutnya, potensi chaos akan besar di daerah-daerah.

" Bisa bunuh-bunuhan caleg yang suaranya harus dihanguskan oleh arogansi partai besar," katanya.

Partai kecil non Senayan, gigi politik kini memang ada didaerah. Karena angka PT 2,5 persen hanya berlaku bagi DPR, partai seperti PBB, PDS, PBR atau PKPI dan partai lainnya, masih bisa eksis di daerah, menempatkan wakilnya di parlemen lokal, bahkan bisa ikut dalam Pilkada. Maka, kalau PT dipukul rata, kata Kaban, akan banyak konflik di daerah.

"Perlu ada solusi jalan tengah," kata mantan Sekjen PBB, Sahar L Hassan saat ditemui di kantor DPP PBB, di bilangan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Kata Sahar, angka PT boleh dinaikan, tapi jangan sampai membuat hangus suara rakyat. Sahar menyodorkan metode stambus accord atau penggabungan suara diberlakukan lagi, seperti pada pemilu 1999. Dimana, partai-partai yang tak bisa melewati angka PT, masih bisa masuk Senayan dengan menggabungkan suaranya dengan partai lain yang sepakat bergabung.

" Dengan begitu suara rakyat tidak hangus," ujar dia.

Namun, bila partai di Senayan menolaknya, tak ada jalan lain kata Sahar, selain melakukan perlawanan politik. Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi tumpuan partai non Senayan. Gugatan uji materil terhadap angka PT akan dilayangkan ke MK bila partai di Senayan ngotot memberlakukan angka PT yang terlalu tinggi.

" Ya tidak ada jalan lain selain melawan di MK," tukas Sahar. Seraya Sahar menambahkan, partainya sudah menyiapkan tim pengacara untuk menggugat UU Pemilu di MK.

Perlawanan politik lewat jalur MK juga akan ditempuh PDS. Ketua Umum PDS, Denny Tewu, menegaskan, partainya akan ajukan uji materi, jika nanti ambang batas PT lebih dari 2,5 persen. Ia berdalih, angka
PT yang lebih dari 2,5 persen, akan banyak membuat suara hilang.

" Kita akan gugat itu (UU Pemilu-red)," tegasnya.

Dari Desember 2010, partai-partai mencurahkan energinya membahas RUU Pemilu. Dan Maret 2012, dipatok, revisi bisa kelar. Namun, ternyata hingga mendekati tenggat selesai, pembahasan belum juga rampung. Masih ada poin-poin krusial yang tak kunjung disepakati semua fraksi partai di parlemen. Poin yang paling alot adalah soal berapa angka PT yang akan diterapkan.

Energi politik pun lebih banyak tersedot untuk memastikan berapa angka PT yang bakal di pakai. Rapat demi rapat digelar. Dibahas mulai dari rapat Baleg, Panja hingga Pansus. Namun tak juga ada titik temu.

Pembahasan PT sangat alot, memang wajar. Partai-partai papan tengah, seperti PKB, PKS, PPP, PAN, Gerindra dan Hanura, ngotot agar angka PT tak naik drastis. Alasannya, jika naik terlalu tinggi, suara rakyat bakal banyak hangus. Karena dengan angka PT sebesar 2,5 persen saja, suara pemilih yang hangus sekitar 19 jutaan. Maka bila naik sebesar 5 persen, suara yang hangus bakal melonjak lagi, diperkirakan ada 30 jutaan lebih.

Tapi tiga partai besar juga tetap ngotot, PT harus naik, agar penyederhanaan partai bisa tercapai. Angka dikisaran 4-5 persen di pilih trio partai besar, yakni Partai Demokrat, Golkar dan PDI-P, sebagai angka yang bisa mendorong penyederhanaan sistem kepartaian. Tapi partai papan tengah pun tak mau mengalah. Cerita deadlock rapat seakan jadi menu rutin dalam pembahasan RUU Pemilu.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi), Jeirry Sumampow, memaklumi bila partai papan tengah ngotot angka PT tidak naik drastis. Karena bila naik terlalu tinggi, eksistensi partai di panggung pemilu bisa saja terancam. Tentu, partai-partai papan tengah tak mau nasibnya sama seperti PBB, PDS, PBR dan PKPI yang terpaksa ' terusir' dari parlemen, karena gagal melampaui angka PT sebesar 2,5 persen.

" Ya wajar sajalah ada ketakutan politik seperti itu," kata Jeirry.

Namun kata Jeirry, argumen bahwa akan banyak suara rakyat yang hangus bila angka PT dinaikan terlalu besar, tidak salah juga. Karena memang dengan angka PT sebesar 2,5 persen saja, suara yang hangus cukup signifikan. Apalagi bila dinaikan drastis.

" Harus ada jalan tengah mengurai ini," katanya.

Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, Andi Syafrani juga sependapat dengan Jeirry. Partai papan tengah, kenapa ngotot, karena jika PT naik drastis eksistensi bisa terancam. Ada semacam ketidakpercayaan diri diantara partai papan tengah bisa melewati angka PT, entah itu bila dipatok 4 persen atau 5 persen.

Tapi Politisi PAN, Viva Yoga Mualadi, saat di hubungi lewat telepon, mengatakan, ia menolak bila partainya dinilai tak percaya diri bersaing di pemilu 2014 hanya karena PT naik hingga 4 atau 5 persen. Bukan itu subtansi persaalannya, kata Viva. Menurutnya demokrasi yang baik itu, bila tak banyak suara rakyat yang hilang. Kalau banyak suara rakyat yang hangus, sama saja demokrasi meninggal noda.

Pendapat Viva, juga diamini Sekjen PPP, Romahurmuzy yang di wawancarai via blackberry messenger. Menurutnya, pemilu itu harus menjamin suara rakyat benar-benar terakomodir. Ngototnya PPP agar angka PT tetap dipatok 2,5 persen, katanya, bukan karena PPP takut tak bisa melampuai angka PT sebesar 4 atau 5 persen. " Ini soal suara rakyat yang akan banyak hilang," cetus.

Bukan hanya energi yang terkuras, tapi juga anggaran. Karena biaya untuk merampungkan UU Pemilu cukup besar. Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, Basuki Tjahja Purnama menyebut angka 7 milyar lebih di sediakan negara untuk mengongkosi pembahasan RUU itu.

" Biasanya 7 milyar lebih, setiap UU hampir sama biayanya," kata Basuki.

Energi telah dikuras habis. Dana negara pun telah digelontorkan, sementara tenggat selesai kian dekat. Namun perdebatan tak kunjung usai. Pertanyaan lama pun kembali muncul, akankah pemilu 2014, kualitas penyelenggaraannya sama buruknya dengan pemilu 2009? Kembali amburadul karena molornya UU Pemilu? Silahkan tanya ke Senayan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun