Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Hama Demokrasi Itu Kian Menjangkiti

5 Maret 2012   08:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:29 110 0
Di era orde baru, kebebasan terasa menjadi barang mahal. Ruang publik terasa pengap dan sempit, karena kekuasaan yang begitu angker mengekang. Kini, orde itu telah tumbang. Dan, dimulailah orde kebebasan, sebuah era yang diharapkan dengan penuh semangat bisa mereformasi hal busuk dan pengap dimasa lalu.

Demokrasi pun di pilih. Diretas dengan penuh gegap gempita, sebagai alat untuk membuat Indonesia lebih baik lagi. Puluhan partai lahir. Pemilu demi pemilu dihelat. Namun setelah puluhan tahun itu bergulir penyakit yang dulu dianggap najis demokrasi tetap menjangkiti. Berbenih, dan bahkan mendapat lahan subur. Terutama di panggung kekuasaan.

Penyakit itu, kata Febridiansyah, seorang aktivis penggiat anti korupsi dari Indonesian Corruption Watch (ICW), sudah menjadi semacam hama yang menyerang demokrasi beserta pilar utamanya. Hama demokrasi, demikian Febridiansyah menyebutnya. Istilah itu Febridiansyah lontarkan saat ia menerima Charta Politika Award, sebagai penggiat LSM yang dianggap opininya di media massa mempunyai pengaruh pada publik.

Di hadapan para politisi yang hadir dan juga beberapa diantaranya mendapatkan award yang sama, seperti Akbar Tandjung, Saan Mustofa, dan Akbar Faizal, Febridianyah lantang menyebutkan pilar demokrasi yang paling parah terserang hama itu adalah partai politik dan DPR sebagai lembaga representasi politiknya.

Kata dia, cerita tentang hama demokrasi itu kini sedang dipertontonkan ke hadapan publik. Padahal begitu gerbang reformasi dikuak, harapan membuncah Indonesia bakal masuk ke era perubahan yang lebih baik. Ada perbaikan, tapi juga seiring itu muncul yang busuk dan bau apek.

" Kondisi Indonesia pasca reformasi dalam beberapa hal membaik, tapi tak membaik di beberapa hal lainnya," kata Febri.

Dalam pemberantasan korupsi misalnya, yang menjadi cita-cita reformasi memang ada geliat. Namun kata dia, berantas korupsi tak sekedar menangkap orang. Tapi bagaimana pemberantasan korupsi itu bisa memberi efek bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat. " Dan itu belum tercapai," katanya.

Ia pun bertanya, apakah memang orientasi pemberantasan korupsi tak diarahkan kesana. Atau jangan-jangan itu disebabkan, karena republik ini tak mempunyai pemimpin yang berdiri digaris depan mengawal pemberantasan korupsi.

" Presiden SBY memang selalu mengatakan, saya didepan memberantas korupsi. Tapi kenapa masih seperti ini. Mungkin SBY terlalu jauh kedepan, hingga kondisi riil terlewati," sindirnya.

Demokrasi yang telah ditempuh, hakikatnya adalah alat untuk mensejahterakan rakyat. Namun sepertinya harus ada otokritik dari demokrasi yang sudah dijalankan. Dari sisi indek demokrasi, memang ada peningkatan. Semua orang kini bebas bicara tak lagi berbisik karena dicekam takut. Bahkan kini orang bebas bicara dengan mencaci sekalipun. Parpol pun tumbuh bak cendawan di musim hujan. Indek pemberantasan korupsi juga menggeliat, meski masih kurang signifikan.

" Tapi yang subtansial tidak terlihat. Apa yang sudah ditempuh belum bisa berantas hama demokrasi. Dan hama itu kini menjangkiti pilar demokrasi, yaitu partai, dan DPR sebagai representasinya," cetusnya.

Kebebasan di panggung politik, lewat pendirian parpol, tak dibarengi pengetatan di sektor dana politik. Justru yang terjadi kelonggaran. Dan hama pun masuk lewat pundi politik, merusak secara pasti pilar demokrasi bernama partai.

" Satu kasus besar saat ini salah satunya adalah kasus Nazaruddin. Kita harus kawal itu, agar hama demokrasi tak menggerogoti sampai keakar partai," kata Febridiansyah.

Kasus Nazar, kata dia, harus diurai secermat mungkin. Apa kasus itu semata hanya melibatkan personal di tubub partai, dalam hal ini Demokrat. Atau jangan-jangan juga melibatkan partai secara institusi.

Namun yang pasti, tegasnya, hama itu jangan terus menjangkiti. Harus ada ikhtiar perlawanan tak kenal surut langkah. Siapa pun, baik itu KPK, akademisi, kalangan LSM dan semua pihak harus ikut dalam barisan memerangi hama tersebut. Partai sebagai pilar demokrasi juga harus berbenah dan intropeksi. Karena hama jelas kini telah menyerang tubuh partai.

" Kalau partai, tak independen dalam pendanaannya, itu awal dari kerapuhan demokrasi," katanya.

Yang pasti Kini, kabar politik yang jorok makin merebak. Faktanya, KPK sudah menjerat setidaknya 45 anggota dewan dan itu bukti, betapa 'lantai demokrasi' masih diseraki sampah. Bahkan sebagian sampah-sampah itu datang dari Badan Anggaran, dengan modus terbanyak adalah suap. Wajar jika publik menuding di lembaga terhormat itu, jual beli kewenangan menjadi hal biasa.

" Ini menunjukan kewenangan DPR bisa dibeli," katanya.

Mereka yang menggadaikan kewenangan hanya untuk beberapa gepok rupiah, kata Febri tak berpikir, efek dominonya bagi rakyat. Karena korupsi sanggup memiskinkan rakyat dan membangkrutkan negara. Yunani contohnya, negara yang merasakan pil pahit korupsi.

" Kasus cek pelawat sebesar 24 milyar yang dibagikan untuk memilih satu orang di posisi sentral di Bank Indonesia, tak seberapa bila dibandingkan dengan efeknya," kata dia.

Bisa saja, karena itu lantas ada kebijakan BI yang kembali di jual belikan sebagai balasan budi saat pemilihan. Tentu kebijakan itu hanya mafia yang diuntungkan, bukan rakyat, cetus Febriadiansyah.

" Itu adalah pengkhianatan anggota DPR," tukasnya.

Berapi-api Febridiansyah mengurai pidatonya. Di depannya para politisi anteng menyimak. Entah meresapi atau justru mencibir pidato mirip orasi dari Febri. Tapi yang pasti, ketika Febri menyudahi pidatonya tempik tepuk tangan terdengar ramai membahana. Termasuk para politisi yang duduk di depan panggung.
(Catatan saat menghadiri acara Charta Politika Award 2012, di Gedung Pusat Perfilm-an Usmar Ismail)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun