Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Nestapa Pohon Kelapa karena Ulah Penghuninya

2 September 2019   12:36 Diperbarui: 2 September 2019   13:08 53 2
Keduanya tampak tergesa, ketika saya menyapa mereka. Melintasi jalan setapak samping rumah. Martil terlihat ada di genggaman salah satu diantara mereka.

"Belakang, bikin ulah lagi."

Tanpa dilanjutkan, saya paham dengan maksud jawaban itu. Bukan hanya kali ini, mungkin ini sudah untuk kesekian kalinya.

Penasaran, saya buntuti mereka. Pakan, saya letakkan begitu saja diantara kerumunan  ayam.  Ada yang terkaget-kaget. Mendongak, menatap kearah saya, berkotek. Entah apa yang ada dalam pikirannya.

Beberapa diantaranya mengikuti langkah saya.  Sambil mengeluarkan suara, krek krek. Suara khas ketika ayam mendengar suara dari alam lain. Begitu warga kampung meyakininya.

Gerombolan kecil itu berlari kecil mengikuti di belakang saya. Padahal ember wadah pakan, sudah saya tinggal dekat kandang. Barangkali naluri netizen zaman ini sudah mereka rasakan lebih dulu, ayam-ayam ini tidak ingin ketinggalan moment. Supaya menjadi ayam pertama yang bisa share berita. Bukan hanya monopoli generasi milenial ternyata.

Gerimis semalam, menyisakan tanah becek di beberapa bagian jalan setapak. Matahari, belum sepenuhnya menampakkan wujudnya. Rindangnya pohon di kebun, membuat temaram. Sentuhan daun, membuat kaki dan tangan terasa dingin, adakalanya membuat bergidik.

Semakin dekat tempat yang dituju, aroma wangi mulai menyengat. Kadang terbawa angin, menyisakan bau anyir. Perpaduan komplit bebauan kebun. Meski seharusnya bau WC.  Tepat di ujung kebun, pondok kecil WC keluarga berada. Seperti anjuran mantri puskesmas, WC harus minimal 10 M dari sumur.

Krek-krek ayam tambah keras, dua pemuda tetangga saya mulai melambatkan langkahnya. Tangannya mengarah ke saya. Memberi tanda agar melangkah perlahan.

Seperti paham, ayam-ayam juga berhenti. Hanya kepalanya yang mendongak, dan tengok kanan kiri. Mengeluarkan bunyi, riuh. Kreeeek, kreek, memanjangkan nadanya.

Tepat di bawah pohon kelapa, kedua pemuda yang saya panggil kang itu berhenti. Mengamati dengan seksama. Agak jauh, saya memandangi mereka.

Pohon kelapa itu berada tepat di perbatasan, antara tanah kebun saya dengan kebun tetangga belakang rumah.

Penampilannya ganjil. Meski tumbuh subur, dan diameter batangnya besar, tetapi buahnya hanya beberapa saja. Dahannya menjulang ke atas, tidak melambai seperti layaknya pohon kelapa lain. Kejanggalannya membuat pohon kelapa satu ini jadi objek tuduhan, ada yang menghuni.

Entah sudah berapa banyak paku yang menancap di batangnya. Ada saja orang yang datang untuk menancapkan paku lagi di batangnya. Setelah malamnya mengalami keganjilan di sekitar pohon kelapa ini. Seperti kedua  tetangga pagi ini.

Malam tadi, kelapa ini terbakar. Apinya terlihat dari rumah salah satu dari tetangga saya ini. Karena bukan kejadian yang pertama, keluarga saya dan para tetangga maklum. Pasti berasal dari  pohon kelapa ini,  penghuninya iseng menggoda. Meminta perhatian barangkali, lama tidak disambangi.

Tidak ada bekas terbakar, meski bisa saja sudah padam karena hujan tadi malam. Tetapi tidak mungkin sama sekali tidak meninggalkan bekas. Terlebih, siapa yang tengah malam berada di tempat ini untuk bakar sampah.

Keluarga saya, tidak mungkin. Tetangga saya, sudah lama kebun dan rumah belakang tidak berpenghuni. Di urus oleh saudaranya yang berada di dusun sebelah. Hantu api, itu kesimpulannya. Ada yang meyakini itu Banaspati, ada juga yang bilang itu Kemamang.

Apapun itu, kehadirannya mengusik ketenangan. Apalagi buat kami pemilik kebun.

Konon kabarnya, dia tidak bisa pergi dari tempat itu. Dulu ada tetua kampung yang mengikatnya disitu, biar tidak liar dan mengganggu banyak orang. Membatasi pergerakannya. Paku di pohon, menjadi pengikatnya.

Entah mulai kapan kepercayaan dan kebiasaan memaku pohon ini dilakukan, yang jelas ada banyak deretan paku di pohon kelapa belakang rumah itu. Mereka tidak ingin hantu api itu lepas dari sana dan berkeliaran. Padahal yang melakukannya bukan lagi ahli spiritual. Seperti pemuda tanggung tetangga saya ini.

Tanpa mantra, lagi, beberapa paku lima inci mereka tancapkan. Sesekali mulut mereka berdoa. Celingukan, seperti takut ketahuan. Tidak ada siapa-siapa, hanya kami bertiga. Juga bukan kriminal yang mereka lakukan. Tetapi, saya juga merasakan ada yang sedang mengawasi kami.

Tidak perlu menunggu lama. Setelah paku-paku tertancap, seperti ada yang menghardik, mereka terburu-buru meninggalkan pohon kelapa itu. Saya menunggu, berbalik lebih dulu. Ayam-ayam kaget, sontak mereka bereaksi, berlari tak tentu arah. Berisik sekali.

Kami mengatur nafas, setelah meninggalkan lokasi. Mereka, eksekutor pemaku, tampak lega. Tugas sudah dijalankan. Semoga Banaspati atau Kemamang tetap berada di tempatnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun