Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Madjoe Makmoer

21 November 2022   05:42 Diperbarui: 21 November 2022   07:27 314 3
Alkisah, waktu Damar nginep di rumah, muncul ide untuk bikin film pendek semi dokumenter. Plot, setting, dialog, casting , stunt, soundtrack, properti, dan sebagainya sudah kebayang. Tapi bikin filem kek yang didiskusikan itu jelas mission imposible. Jadi, buat pelampiasan, begini ceritanya:

Hai, hai, hai, beautiful Sunday
This is my, my, my, beautiful day...


Cahaya pagi waktu Nina, yang artinya agak siang dikit, menerobos kaca es jendela kamar. Burung-burung kecil mestinya berkicau, tapi berhubung di Semarang udah jarang burung, Beautiful Sunday-nya Daniel Boone dalam senandung cukuplah sebagai ganti agar Minggu kali ini istimewa.

Kamar kosnya rapi, bersih, dan bau pepermint pengharum ruang. Bajunya, terbungkus jaket almamater, idem dito, beraroma jasmin penghilang bau badan. Ranselnya menggelembung, berisi semua kebutuhan pengobat rindu. Nina melamun bentar, membayangkan mengendus bau lumpur sawah lagi, merapikan rambut yang diberantakin hembusan angim gunung, mendengar nyanyian serangga... Mak, anakmu pulang.

Siapa tak tak bersyukur waktu datang weekend pasti hidupnya susah. Akhir pekan, bus selalu penuh dan sopir ogah tancap gas. Penumpang akhir pekan, orang-orang punya duit dan jarang ketemu Ipunk. Mereka lebih dermawan ketimbang komuter harian. Sabtu, apalagi Minggu, memang pantas dirayakan.

Ipunk check sound, ... ditumpakke kreto jowo, rodane rupa menungso... ditutupi anjang-anjang...  Well, Ipunk berharap lagu itu cukup inspiratif, setidaknya intimidatif, sehingga banyak tangan terulur memindah receh. Jempol kanannya memetik-metik dawai cak mungil, kusam, dan agak sumbang. Tatapnya tak beralih dari ujung jalan. Gelisah.

"Poin!" teriak Iban. Lambaian tangan gadis cantik di pinggir jalan tak mungkin lolos dari mata radar Iban. Koin gopekan diketuk-ketukkan ke kaca pintu depan. Odang yang lagi bicara pakai bahasa isyarat dengan sopir bus Jogja - Semarang yang berpapasan, gesit menepikan busnya ke kiri, injak rem dan memaki dalam hati sopir Pajero sport mengkilat yang membunyikan klakson dengan histeris di belakang bus.

"Kerto, Mbak..." tawar Iban begitu bus berhenti.

"Sobo," jawab Nina pendek. Tangannya meraih pegangan dari besi yang lapisan stainless-nya sudah pada terkelupas. Bau pengap keringat penumpang menyambut, belum lagi sampe Bawen bangku hampir semua terisi.

"Tengah... tengah, ada kosong. Yo!" teriak Iban.

Odang menggerakkan tuas porsneleng, agak macet. Empat detik kemudian monster tua itu kembali bergerak, bergoyang, berkeriut menyusuri jalan raya Semarang - Jogja.

Adegan berdurasi duapuluh satu menit di terminal bus Bawen yang panas, ngap, sesak, dan berisik oleh iklan pedagang asongan tidak perlu diceritakan. Juga keadaan Nina. Ipunk sih udah standby di pintu belakang. Nunggu giliran.

Di pojok bangku deretan belakang, sorang ibu muda duduk terhimpit tumpukan barang dan kakek tua yang pulas di sampingnya. Berkali dia mengusap peluh di wajah, coba menimang bayinya yang tak kunjung diam. "Cup.. cup.., sabar yo le.. iki mangkate kapan to yo?" Dia pengen menyusui bayinya biar diam, tapi takut pada tulisan "Dilarang Mengeluarkan Anggita Badan".

Jam sepuluh lewat sebelas, semoga jam hape kita terkalibrasi di zona waktu yang sama, Madjoe Makmoer akhirnya beringsut. Hufh.. si ibu bernafas lega. Ipunk merangsek ke depan, menyibak beberapa penumpang yang tak kebagian jok. Ia berpapasan dengan Yu Tum, pedagang tahu asin yang heboh mau turun. "Alon mas sopir, tak mudun sik. Laris yo Punk."

"Iyo, Yu. Amin."

Di pintu keluar terminal, bus AKDP Semarang - Purwokerto itu mandeg lagi. Odang berteriak memanggil Iban, membisikkan sesuatu ke kuping kondekturnya. Lalu mereka terlibat diskusi serius yang tak kedengaran.

Ipunk menyandarkan punggung di sandaran jok depan pintu depan. Openingnya ajeg: "Assalamu'alaikum penumpang, salam sejahtera bagi kita semua, hom swastiastu, namo budaya, salam kebajikan. Ketemu lagi dengan saya, penghibur setia perjalanan Anda. Mohon maaf sebelumnya diiringi do'a semoga Anda selamat sampe tujuan. Oke, satu lagu..."

Rekaman CCTV yang kelak viral menayangkan Madjoe Makmoer pelan meninggalkan terminal Bawen. Adegan selanjutnya nampak bus tua itu berijuang menembus kepadatan lalu lintas di pasar Ambarawa. Berhenti. Menurunkan penumpang. Jalan. Berhenti lagi, macet. Jalan lagi. Berhenti lagi, menaikkan penumpang, jalan lagi. Di ujung sesi, pemuda ceking berbaju gombrong, memegang cak mungil, kusam, dan agak sumbang, kelihatan meloncat keluar dari pintu belakang usai menghimpun saweran.

Perjalanan Madjoe Makmoer juga tetangkap kamera di pertigaan Secang. Belok kanan arah Temanggung. Ngetem di sana lima menit, lalu jalan. DVR CCTV pasar Kedu, pertigaan Temanggung - Pring Surat, RSK Ngesti Waluyo Parakan, dan SPBU Kledung Pass, pun jadi saksi, tapi gak penting sehingga enggak dipublis.

Padahal setting lokasi terakhir itu, yang menyajikan pemandangan di punggungan gunung Sumbing - Sindoro selagi langit cerah sungguh mempesona. Soalnya ada view resto di puncak bukit Botorono, Petarangan, dan banyak lagi. Tapi daripada deskripsinya berkepanjangan, coba saja sendiri lewat sana.  Lagipula, Nina tidur memeluk ransel gembungnya.

Diskusi antara Odang dan Iban, plus Roji (kenek) waktu bus itu berhenti di pinggir jalan depan pasar Reco, secara tak sengaja terekam kamera hp salah satu penumpang yang iseng bikin konten travelling. Tapi gak ada suaranya. Apalagi kemudian kru Madjoe Makmoer turun dari bus, berdebat di luar.

Karena kata-kata mereka penting, ditulis aja ya? Gak usah nanya sumbernya dari mana.

Odang: "Piye Ban? Perpal wae po?"
Iban: "Pitu papate adoh ora si Ji?"
Roji: "Agek metu Mbarowo. Rong jam. Parah po Lek?"
Odang: "Kawit metu Mbawen mau wis ora nyanthel, mung nganggo engine break."
Iban: "Nek dioper setorane ora tekan jah. Tur durung nyolar. Prige jal?"
Roji: "Nek aku manut. Paling diungkuri Munah."
Odang: "Mutus cepekan yo ra popo, Ban. Timbang resiko."
Iban: "Modot ngene yo juragane ra gelem nompo, Lek. Pulsa yo durung tak isi, listrik ngomah wis tat tit tat tit ket wingi. Tur penumpange dires rong jam po betah?"
Odang: "Dielokno mikro karo magelangan."
Iban: "Tansoyo ra nutup. Glundungke wae nganggo siji po? Opo piye?"

Keputusan rapat singkat itu bisa dilihat di adegan berikut: Madjoe Makmoer kembali bergerak, membawa penumpang yang mengisi delapanpuluh persen jok. Gerimis mulai rinai membasahi aspal di lintasan menurun sepanjang 14,2 km selepas gapura desa Reco sampai pasar Kertek, Wonosobo.

Bus menggelundung pelan. Odang sesekali menginjak pedal rem. Masih berfungsi walau harus dipompa. Dia membuang puntung rokok yang nyaris kebakar filternya lewat jendela. "Bismilah," lalu melolos sebatang lagi dan dibakar ujungnya.

Kilometer ke lima selepas Reco, Odang kembali menginjak rem. Mesin yang dipaksa menahan laju bus dengan gigi satu sudah terdengar berderak. Blong, tidak ada tekanan balik. Pedal dipompa, tetap terasa hampa. Laju Madjoe Makmoer makin laju.

"Ban!"

Iban melompat ke samping Odang. Dia tau apa yang terjadi. Kampas kopling mulai aus, bunyinya kek jeritan hantu filem Thailand. Tentu bunyi-bunyian dimaksud dan maknanya hanya dipahami Odang cs. yang menghabiskan separoh umurnya di atas roda Masjoe Makmoer. Tapi ketika bus makin kencang dan bau oli kebakar mulai menguar di kabin, penumpang awam pun berhak curiga. Panik juga.

"Pir, alon pir!" teriak emak-emak di samping Nina.

"Enten nopo, Mak?" Nina terbangun jadinya.

Iban (suaranya gemetar): "Lek, piye Lek?"
Odang: "Mlebu jalur."
Iban: "Isih adoh, nek ra kalong bisa bablas."

7,1 km dari Reco, sekira 3 km dari bus sekarang berada, di kiri jalan, ada jalur penyelamat berupa tanjakan curam beralas pasir cukup dalam disangga steuktur cor beton. Jalur penyelamat dibuat karena di trek turunan Reco - Pasar Kertek yang panjang dan curam sering terjadi kecelakaan. Mayoritas rem blong. Data selengkapnya soal kendaraan yang nyelonong ke pasar, intensitas laka, jumlah korban dan sebagainya, silahkan browsing sendiri.

Sekarang beberapa menit lewat tengah hari. Madjoe Makmoer melaju makin kencang, makin susah dikendalikan. Segenap mahluk hidup di dalam bus, termasuk Nina dan ibu muda bersama bayinya, sadar keadaan. Jerit, teriak, kegaduhan...

2km.., 1,5km.., 1km.., 900m.., 700m.., 500m.., empatratus, tigaratus, duaratus, seratus, delapanpuluh, limapuluh empatpuluh tigapuluh duapuluh, 10-9-8-7-6-5, Odang banting setir ke kiri. Moncong bus mencium gundukan pasir, ban depan melesak seprapat.

Odang tersentak ke depan. Perutnya membentur stir. Pingsan. Iban terlempar menabrak kaca depan. Kepalanya bocor. Roji, Nina, si ibu muda dan bayinya.... Bus tak jua berhenti, merayap, makin dekat puncak jalur penyelamat.

Kang Ngalim, yang lagi asyik menggosok acian dengan kertas semen di pondok pesantren yang lagi dibangun tak jauh dari jalur penyelamat, termasuk saksi yang ditanyai polisi.

"Kula kados ngimpi, pak. Nggih wong sek ngaci kalih rada ngalamun. Lha niku ngerti-ngerti ndase bis mecudul saking jalur. Wonge pating jlerit nika. Lha mangkane, teng mripat kula niku kados napa nika jenenge.... slomoten napa nggih? Nika lho, kados pilem sing mlakune alon. Lha niku, jan kula meruhi piyambek niku..." (J)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun