Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Membentang Buku Jogja di Medan

22 September 2015   17:54 Diperbarui: 22 September 2015   17:54 200 0
ENTAH BULAN BERAPA, tahun 2001, hari dan tanggal lupa. Yang kuingat kalau saja ada jam di tanganku bisa kusebutkan jam 3 sore. Tapi ini soal buku, bukan waktu. Berulang kali buku tebal bercover dominan silver itu kutimang-timang, dan diletakkan lagi ke raknya, dalam hati berkata-kata “beli-tidak-beli-tidak-beli...!” Bukan soal apa-apa harganya cukup lumayan untuk kantongku waktu itu: 45ribu. Sebagai perbandingan saja sebulan kerja sebagai tukang bersih-bersih (mungkin semacam opas dalam cerita-cerita Pramoedya) di sebuah kantor yang tak kusebutkan namanya waktu itu dapatnya 150ribu. Akhirnya, entah hasutan dari mana, buku itu kubeli juga, segera kubawa ke kasir sambil menyerahkan hampir 30 persen gajiku waktu itu.

Cover bukunya bergambar kumis + mata thok. Benar. Itu buku Zarathustra magnum opus Nietzsche terjemahan HB. Jassin terbitan Bentang, salah satu penerbit dari Jogja. Konon buku ini salah satu pegangan para pemberontak, nihilis, atheis, dan entah apa lagi yang diasosiasikan dengan pria berkumis tebal “pembunuh tuhan” ini. Bahkan Hassan Tiro dulu terilhami dari bab-bab Sang Pengelana yang ada di buku ini ketika menggagas gerakan aceh merdeka. Yah, sekarang masalahnya bagaimana harus bertahan dengan uang yang ada untuk hidup sebulan ke depan. Semoga bisa kenyang membolak-balik lembaran sabda zarathustra yang berat karena memang mungkin ditulis dengan darah—Nietzsche bilang ”dari semua tulisan, yang aku cintai apa yang ditulis dengan darah. (infomasi: sebungkus di warung nasi ampera padang waktu itu rata-rata Rp.5.000) 

Bukan sekali-dua harus rela mengurangi uang makan dan transport demi sebuah buku, terutama dengan buku-buku Bentang yang covernya selalu membikin jatuh cinta pada pandangan pertama itu. Lain kali ketika datang ke toko buku itu lagi—sebuah toko buku yang sebenarnya lebih banyak memajang buku-buku rohani katolik, aneh juga menemukan buku-buku pembunuh tuhan di antara buku-buku pemuja tuhan—mataku terpana dengan dengan buku bercover orang-orang yang tak jelas, sedang merenung, suana suram tampak jelas dari sana. Judulnya Pemberontak karangan Albert Camus terjemahan (semoga benar karena saya tak memegang bukunya) Max Arifin. Setelah hitung kancing baju, akhirnya buku ini juga kubawa pulang dengan rasa penuh kemenangan di atas rasa setengah kelaparan yang akan didera sebulan ke depan.

Bulan-bulan berikutnya Metamorfosis Kafka, Republik Plato, Bor Putuwijaya, Abangan Priyayi Sapardi Djoko Damono, Psikologi Imajinasi Sartre berturut-turut kubeli menambah koleksi perpustakaan pribadi.

Buku Bentang memang punya keistimewaan tersendiri. Lain dari yang lain. Terutama dalam cover dan layout halaman dalam. Sekali tengok saja, dari pilihan warna, desain cover, layout dalam, kita langsung bisa memastikan kalau itu Bentang bukan yang lain. Saya tak bisa mendiskripsikannya lebih dalam, tapi kalau di sodorkan 2 buku mana Bentang dan mana Gr—tak disebutkan kepanjangannya—maka dengan cepat pasti dapat menentukan: ini! Soal ini konon ada sebuah buku yang membahasnya, judulnya—kalau tak salah—merupa buku karangan koskow dan declare! karangan salah satu bos buku terbitan Jogja, sayang aku belum pernah membaca.

Tak hanya Bentang, buku-buku penerbit asal Jogja yang punya ciri khas yang lain dari yang lain, juga banyak didapatkan di toko buku itu waktu itu; Studen Hijo Marco Kromo dari Aksara, Aku Ingin Jadi Peluru Indonesia Tera, Orang Aneh Albert Camus dari Matahari, dan lain-lain.

***

2 TAHUN YANG LEWAT. Saya sudah menjadi pedagang buku—tepatnya buku-buku bekas langka dan ½ langka. Bersama seorang kawan yang kusebutkan namanya sebagai Eko Manurung, mendirikan kedai bekas online bertitel Jejak Langkah. Tak pelak! Nama itu memang sangat-sangat terpengaruh bahkan menjiplak plek salah satu judul tetralogi buku Pramoedya Ananta Toer, walaupun belakangan kutahu Haji Agus Salim juga mempunyai judul buku yang sama. Sebagai pedagang buku agenda rutin adalah keluar masuk lapak buku mencari-cari kira-kira buku mana yang bisa dibeli dan dijual lagi. Dan lapak yang kerap dikunjungi adalah toko buku yang dulu banyak menjual buku-buku Jogja termasuk Bentang. Tapi nihil. Buku-buku itu sudah tidak ada lagi bekasnya lagi, bahkan ketika ditanyakan ke penjaga toko dibilang “stoknya habis”.

“Mana tahu ada hubungi, ya!” kutingalkan nomer HP ke penjaga toko.

“Ya!” katanya.

Tapi tak ada dihubungi, berarti stoknya memang tak ada. Padahal aku curiga kalau mereka masih menyimpan buku-buku Jogja itu di gudang mereka.

Sekali waktu balik lagi ke toko buku itu. Setelah memutar-mutar di antara buku-buku Rohani, akhirnya sampai ke setumpuk buku bercover silver, dan benar saja itu buku Zarathustra. Andrenalinku naik. Senangnya minta ampun. Tanpa ba-bi-bu, buku-buku itu langsung kupindahkan ke kasir. Dan senang bertambah, ternyata di rak yang lain masih terpajang beberapa kopi buku metamorfosis Kafka. Dengan rasa penuh kemenangan aku pulang membawa setempuk buku Bentang: tentu saja tidak lagi dengan bayang-bayang rasa lapar, hahahaha ...

***

SEBUAH SMS MASUK ke HP Nokia 3310 salah satu “alat produksi” kesayangan wakut itu.

“ZARATHUSTRA BERAPA, bang?”

“150ribu!”

“Wah! Sudah mahal ya!”

Memang jual mahal, bahkan di lapak lain dipasang dengan bandrol yang lebih mahal lagi. 

“Ini dengan siapa?” 

“BK (sengaja inisial dia perSMS mengirimnya lengkap) 
Penerbitnya, dulu!” balasnya.

BK? Penggemar buku Bentang pasti tak asing dengan nama ini karena biasanya tercetak sebagai pendesain cover dan layout buku-buku Bentang disamping tentu saja Ong Hari Wahyu. Dari cerita-cerita sesama pelapak tersiar juga kalau BK adalah pemiliknya, dan konon telah dijual ke salah satu satu penerbit berbasis di Bandung. Tapi kok masak sih BK tidak mempunyai satu kopi dari buku-buku terbitannya. Entahlah!

“Saya sedang mengumpulkan lagi terbitan-terbitan Bentang,” SMS susulannya.

“Boleh didiskon, Bang!” kutawarkan.

“Oke!”

Setelah disepakati harga, akhirnya Sang Penerbit kembali membeli buku Zarathustra yang diterbitkannya dulu, tak ketinggalan sebuah kopi dari Metamorfosis.

Perjalanan Sebuah buku kadang memang absurd—walaupunmungkin tak seabsurd cerita-cerita Kafka dan Camus. Dari Jawa pulang lagi ke Jawa (info lebih dari 80% pelanggan buku Jejak Langkah berasal dari Jawa), bahkan dari penerbitnya kembali ke penerbitnya.

***
SEKARANG 2015. Buku-buku Jogja yang dulu susah di dapat terbit lagi. Beredar lagi. Ini mesti hasil kerja tak kenal lelah dan rugi dari orang-orang yang peduli dengan bacaan bermutu yang ada di Jogja sana. Di Medan, di toko buku Gr yang ada di bilangan Jalan Gajah Mada, kalau saja teliti mau masuk sampai ke setiap lorong yang ada di toko buku itu bisa didapatkan buku Zarathustra, Kitab Lupa dan Gelak Tawa Milan Kundera, Republik Plato, dan lain-lain. Tersuruk-suruk sebagai nasib buku non Gr, walaupun buku baru tidak diletakan di rak “selamat datang!”. Buku-buku itu kini diterbitkan di bawah bendera Pustaka Promothea dan Narasi. Senang, paling tidak bisa melengkapi buku-buku yang belum didapat dari Bentang dulu, walaupun ada rasa kurang puas karena dicetak dengan kertas kuning bookpaper yang gampang berubah kecoklat-coklatan kalau terpapar udara (mungkin karena pertimbangan budget dan isu ramah lingkungan?), dan tidak ada lagi logo huruf B yang saling punggung-memunggung itu.

Tapi tak apalah, paling tidak buku-buku ini bisa mengobati kerinduan terhadap buku-buku lama terbitan Jogja! Selamat datang lagi buku-buku Jogja di Medan. Selamat datang kembali buku-buku berat, sebagai Nietzsche, yang ditulis dengan darah ...

JEMIE SIMATUPANG, pedagang buku bekas asal Medan. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun