Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kyai Turangga Krishna

1 Mei 2013   12:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:18 257 7

[www.prij marij.com]

-oOo-

Angin berhembus kencang. Kibarkan surai di kegelapan yang membutakan.

Dreukk! Dreukk! Tapal besinya berderap-derap, beradu dengan setapak tak beraspal. Kerakal-kerikil melesat berlompatan. Hindari injakan dan sepak terompah logamnya yang mematikan. Hening malam itu terkoyak oleh ringkik yang menjerit-jerit menuntut kelapangan jalan bagi ketergesaannya yang pantang dihalang.

Kalong-kalong penghisap darah segar mempercepat kepak sayapnya. Membran tipisnya telah merekam derap nun di kejauhan. Sambil mencericit tebarkan hawa misteri, mahluk berjejuluk flying foxes itu menyingkir gesit, menelusur galur terpintas bila tak ingin sang mustang tiba lebih dulu. Di belakangnya bergerombol bayang hitam terbang membuntuti. Merekalah sepasukan kokok beluk dan berkoloni mahluk malam lainnya yang tak sudi kalah cepat juga.

Semuanya berpacu. Saling memburu. Saling dulu mendului. Menggeber nafsu menjadi si nomor satu. Bertarung mengejar rase bulat sebesar tampah yang bertengger pongah namun lambat merangkak. Bias kuning dan jingganya yang meradang garang, nampak demikian perkasa menggagahi pekatnya horizon tengah malam.

Waktu bergulir terbirit. Kian mendekati panggilan spirit. Kyai Rangga, sang Mustang hitam melesat secepat kilat. Berlalu tanpa ragu, terus berburu waktu. Empat kaki sekokoh makam fir’aun bergerak seirama merobek pekat malam. Ada titah yang diembannya. Ada upeti yang harus segera diurapi. Ada sosok sekarat di punggungnya yang harus segera dihantar. Dipandu rase yang tengah purnama, bukit gundul itulah tujuannya.

“Cepatlah duh Kyai…,“rintihan serak parau itu sangat menghiba. Dari raga sekarat yang terkulai tiada daya di punggung tegap sang Kyai. Kawung nagasari tak sanggup selubungi lekuk indahnya. Erat melekat membalut tubuh lemah yang tertelungkup menjuntai. Berkibar seirama gelung rambutnya yang terburai. Bergoyang melambai. Mengikuti laju keempat kaki sang Kyai yang bermarathon bersama angin.

”Hyang Kala akan segera tiba. Waktunya takkan lama lagi. Cepatlah duhai Kyai. Cepat ! Sebelum purnama utuh sempurna… Sebelum purna kemegahan jingganya…” pilunya memeluk jiwa yang resah.

Kyai Rangga menjawab dengan ringkikkannya yang melengking tinggi. Dan hanya sekedip mata, tanjakan curam terjal itu dicapainya. Belum pun helaan nafas rehat, Kyai Rangga sigap menekuk lutut dua kaki depannya, bersimpuh selaiknya abdi. Joki tak bertenaga itu pun turun menggelosor. Tergolek pasrah di atas hamparan tanah kering. Kerontang ditinggalkan akar. Gersang ditelantarkan ricik air.

Kyai meringkik lagi. Kali ini dengan ritme mencacah hati. Kepiluan yang bangkitkan suara-suara alam dan para penghuninya yang rapi bersembunyi. Berlindung dibalik gelap malam. Ataukah berkamuflase dan menyamarkan jati diri. Suara mereka saja yang terdengar saling bersahutan. Bertegur sapa. Bertukar salam dan penghormatan. Menyambut kedatangan Kyai dan penumpangnya yang separuh mati…

Dan ketika purnama tepat mengarah kepadanya. Dalam satu garis lurus yang menyilaukan mata. Perlahan tubuh lemah itu mengangkat dirinya sendiri. Pelan. Lambat. Rambut kusut masai. Kawung sari perih melambai. Jentik jemari lemah terkulai. Mata indah terpejam damai. Bibir semungil ana-anai, terkatup rapat tinggalkan baris memikat.

Entah darimana datangnya dua kekuatan besar yang saling sambar. Petir dan kilat yang melebur diri. Bersatu dalam kekuatan yang melambungkannya, sang Raga dalam penggat atma itu. Kyai pun tak henti meringkik. Berkali berdiri dengan hanya dua kaki belakang. Surainya terus pun bergelebar.

Raga yang kehilangan separuh nyawa, melayang tiga depa di atas bukit gundul. Pepohon yang meranggas berderak-derak. Tanah gersang pun kian meretak-retak. Sekumpulan spirit hadir beradu aji. Saling tabrak. Menghentak. Menyeruak. Mendobrak. Melesak. Rakus memperebutkan raga yang menolak bercerai dengan sukma.

Raga berputar-putar. Laksana gasing yang berpusing lalu terpelanting saat dibanting. Gelung rambutnya yang terurai perlahan memutih hingga lenyap semula warnanya. Kelopak matanya yang rapat terpejam, melambat terbuka. Lebar membelalak. Bersinar merah menyala, hingga hilanglah kehitaman bola matanya yang menenung lelanang. Bibirnya yang penuh dan mengundang selera itu merobek. Terbelah dua jalur yang mengerikan. Berubah menjadi semacam moncong bergigi tonggos-mrongos. Dua lengkung gadil mencuat dari sudut-sudut yang tak henti teteskan liur kental sehitam kubangan jelaga. Dari punggungnya tumbuh onak-onak raksasa, disertai erang kesakitan yang menyayat-sayat hati. Dari bokong yang semula membuhul indah, keluar ekor yang terus memanjang. Baru terhenti, di akhir yang meruncing, seperti capit kalajengking.

Di setiap penjuru bukit gundul, lolong anjing dan serigala bergemuruh sahut menyahut, menukik tinggi, membelah angkasa diraya. Paduan suara alam yang fenomenal. Itulah salam takzim bagi wewujud yang tengah berjuang menerima perubahan dirinya yang amat dramatis spektakuler imajiner.

Kyai Rangga duduk bersimpuh, tundukkan kepala, lekukkan empat kakinya. Dalam lelah, lungkrah dan kesedihan, matanya terpejam mengenang kesehariannya bersama perempuan ayu baik budi lembut hati. Malangnya di setiap purnama, Nyonya harus pergi. Diiringi tangis pilu suami. Yang memohon Nyonya harus segera kembali. Usai purnama yang mengharuskannya transformasi. Mengubah wujud entah setan ataukah peri. Untuk kembali sebagai sang garwa padmi

Angin dingin berbisik lirih. Terngiang Kyai oleh rintih pilu yang runtuhkan harga diri lelaki. Memohon kepadanya demi sigaraning nyawa, yang dicinta dan dipuja.

“Duh, kanjeng Kyai. Kyai…, Kyai…, Kyai Turangga Krishna ingkang ndalem tresnani kanthi jroning ati, cepatlah hantar Nyonya ke griya lamanya. Terbanglah dengan sayap hebat di empat kakimu itu. Jagalah Nyonya hingga purnama puas melumatnya. Kembalikan ia kepadaku usai kecantikan hatinya, ketulusan budinya, mengubahnya kembali menjadi dinda bestari, istri pepunden ati yang kucintai dengan sepenuh suci…”

Angin riuh bergemerisik. Kian lama kian berisik. Dan mustang hitam itu, Kyai Turangga Krishna, terus berlari. Berlari. Berlari. Berlari dalam derap tak terlampaui. Purnama bukan lagi pemandunya. Rase jingga bukan lagi dian penunjuk jalan. Namun pesan Tuanlah yang menggiringnya pulang. Kembali ke perkampungan. Rumah bagi sepasang suami-istri. Yang bersatu hiraukan batasan. Antara manusia dan siluman…

-oOo-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun