Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Foto Jimat

26 Februari 2024   09:50 Diperbarui: 26 Februari 2024   09:53 85 2
Seorang gadis terlihat terpekur menghadap laptopnya. Pandang matanya menelusur tiap-tiap kata yang terpampang di layar. Wajahnya berkerut-kerut mewakili lika-liku alur logika di kepalanya. Ia mencoba menyelaraskan isi teori dan isi makalahnya.

Sejenak kemudian, jari-jari gadis itu memijiti papan huruf laptopnya. Jari-jemari yang idak lagi mulus karena terpapar kerasnya hidup. Dan paragraf demi paragraf pun mulai bermunculan. Hingga dirasa cukup, gadis itu mengambil nafas panjang setelah membaca hasil pemikirannya.

Tubuh dan pikiran gadis itu terasa lumayan penat. Rasanya ia ingin segera mematikan laptopnya dan meletakkan kepalanya di atas bantal. Tapi tugasnya tinggal sedikit lagi usai, apakah diselesaikan sekarang atau yang sisa sedikit ini dikerjakan besok?

Pada situasi seperti itu si gadis lalu melirik ke arah buku catatannya. Ia buka sampul buku itu. Di balik sampul buku itu bersemayam selembar foto yang melukiskan seorang wanita paruh baya berkerudung sedang tertawa bersama beberapa wanita lain yang seumuran. Wanita berkerudung itu adalah ibunya. Ibu si gadis adalah seorang porter di sebuah stasiun di kota besar. Sedangkan wanita-wanita yang lainnya di foto itu adalah rekan sesama porter.

Si gadis lalu bercerita pada dirinya sendiri, "Mereka adalah wanita-wanita perkasa. Bekerja keras membantu para pelancong mengangkat beban bawaannya, sekaligus mengangkat beban keluarga mereka."

Sambil fokus memandang foto ibunya, si gadis bergumam sendiri, "Ibu, dirimu kerja keras seperti itu, nyaris nggak pernah mengeluh lelah, demi anak-anakmu, di pagi buta sudah menyiapkan sarapan, lalu berangkat ke stasiun mengangkat beban. Masakan anakmu sekarang ini hanya segini aja udah mau rebahan?"

"Lho, Yuni? Belum tidur? Lembur?" suara seorang kakek membuyarkan angan si gadis yang ternyata bernama Yuni teresebut.

Di sela daun pintu ruang tata usaha yang sedikit terbuka, sebuah kepala melongok. Kepala milik seorang kakek yang membina yayasan tempat Yuni bekerja. Wajahnya yang dihiasi keriput kerasnya hidup menyiratkan keteduhan.

"Iya abah. Tapi sebentar lagi sudah mau selesai," jawab Yuni ramah.

"Oh kalau begitu jangan lupa matikan lampu bila sudah selesai, yah," sahut Abah kemudian. Sedangkan Yuni hanya tersenyum mengiyakan sebelum Abah menghilang di balik daun pintu.

Yuni adalah seorang mahasiswi ilmu pendidikan yang saat ini sedang menumpang di sebuah yayasan. Ia direkrut oleh ibu pimpinan lembaga yang merupakan anak Abah. Sebagai perantau, Yuni tentu tidak bisa menolak tawaran ibu pimpinan lembaga agar menumpang saja di yayasan daripada harus keluar biaya kos. Karena latar pendidikannya, Yuni direkrut menjadi guru di TK yang dikelola yayasan. Sebelumnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup di perantauan, Yuni bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan.

Di keesokan harinya, Yuni ingin mengajak ngobrol Livi, seorang pengasuh daycare yang masih dalam satu manajemen yayasan. Selain dengan sesama guru, karena Yuni tinggal di dalam bangunan yayasan, ia menjadi akrab juga dengan para pengasuh daycare. Terkait urusan Livi, dalam tiga hari terakhir ia terkesan lebih murung dari biasanya. Yuni merasakan seolah ada persoalan berat yang menggelapkan rona wajah temannya itu.

Di waktu sore, setelah semua anak daycare dijemput orang tuanya masing-masing, dua gadis berkerudung duduk berhadapan di dekat taman kecil di salah satu sudut bangunan yayasan. Suasana redup diiringi bunyi gemericik air menyajikan suasana yang menenangkan. Gemericik air itu berasal dari hiasan taman yang berbentuk miniatur air terjun. Di pinggir air terjun itu terdapat patung dua anak yang salah satunya seolah menunjuk ke arah dua gadis yang sedang bercakap-cakap tersebut.

"Kamu tahu kan, sebulan lalu ibuku sempat dirawat di rumah sakit?" Livi memulai ceritanya setelah Yuni membujuknya agar bercerita. Yuni hanya menganggukkan kepala dan Livi pun melanjutkan kisahnya, "Memang sekarang ibu sudah baikan, tapi aku dan ibu masih ada pinjaman yang harus segera dikembalikan. Kami meminjam uang paman, uang itu adalah simpanannya buat suatu keperluan penting. Pamanku merelakan menunda keperluan itu demi membantu ibu. Dan saat ini keperluan itu sudah nggak bisa ditunda lagi, jadinya pamanku itu memohon pelunasan segera. Uang yang kami kumpulkan masih belum cukup. Aku dan ibu jadi bingung mau cari pinjaman ke mana lagi. Sudah banyak saudara dan teman aku mintai tolong. Aku kepikiran pengen ngutang ke pinjol aja..."

"Wah, jangan berurusan sama pinjol, bisa-bisa ibumu sakit lagi dan kamu ikutan sakit juga," kata Yuni memotong setelah ia mendengar kata pinjol dari mulut temannya.

"Habis ke mana lagi aku harus cari tambahan duit? Teman-teman di sini sudah banyak membantu di masa ibu dirawat di rumah sakit. Kalo aku harus minta tolong ke mereka, aku sangat sungkan."

Dua gadis ini pun terdiam. Keduanya menyelami pikiran masing-masing. Hanya terdengar gemericik suara air dan sesekali suara motor yang melintasi jalan di depan gedung.

"Bagaimana kalau kamu minta bantuan pinjaman ke ibu pimpinan lembaga? Mungkin ibu pimpinan bisa meminjamkan sedikit uang yayasan? Atau mungkin dari uang pribadi beliau?" Yuni mengajukan saran.

"Aduh, aku malu banget. Sebelumnya sudah dibantu, ini malah minta lagi," Livi meragu.

"Ini bukan minta bantuan kan? Ini meminjam duit."

"Bagaimana yah..."

"Nggak papa lah. Ini kan masih belum dicoba. Ibu pimpinan orangnya sangat baik. Bila kamu terus terang menceritakan kondisi ini, aku berkeyakinan ibu pimpinan akan membantu kamu," Yuni mencoba meyakinkan temannya. Lalu ia menambahkan, "Kalo kamu sungkan biar aku temani dan bantu bilang ke beliau."

Livi masih terdiam memikirkan ide dari temannya itu. Yuni hanya memperhatikan ekspresi temannya, mata Yuni menyiratkan permohonan agar Livi menerima sarannya.

"Oke lah, sepertinya saranmu nggak ada salahnya dicoba... dan... terima kasih buatg kesediaanmu membantu persoalan aku," Livi lalu berucap sembari menyunggingkan senyuman yang kali ini lebih cerah dari yang ia perlihatkan dalam tiga hari terakhir.

Yuni hanya menganggukkan kepala sambil ikut tersenyum senang. Dua gadis ini menarik dan membuang napas panjang, seolah ingin mengeluarkan semua keresahan. Setitik harapan mulai terlihat.

"Ngomong-ngomong aku pengen tahu sesuatu," Livi sepertinya ingin membuka tema percakapan lain setelah beban perasaannya sedikit lega. "Aku heran bagaimana kamu bisa nggak pernah kelihatan susah atau lelah? Kayaknya kamu nggak pernah patah semangat. Padahal kamu hingga sore kerja, lalu malam kuliah, belum lagi kalo ngerjakan tugas dari kampus. Aku nggak bisa membayangkan kalo aku di posisimu. Aku bakal uring-uringan tiap hari karena stress. Aku yang cuma jadi pengasuh daycare saja gampang berubah-ubah, gampang marah lalu ketawa, gampang suntuk tapi lalu merasa lebih baikan. Pokoknya labil, deh. Kita seumuran, tapi aku kok masih kekanak-kanakan, yah."

"Hahaha. Wah, ceritanya ngerasa nih kalo sebagai cewek labil," Yuni menggoda.

"Ya iya lah. setidaknya aku ngerasa kalo punya kekurangan," Livi menjawab dengan agak sewot.

"Gimana ya," Yuni berhenti sejenak, "sejak aku merantau kuliah aku ada kebiasaan memandang foto ibuku di buku catatanku. Saat memandangi aku kebayang betapa ibuku seorang pekerja keras dan tabah dalam mengasuh anak-anaknya. Setelah itu aku jadi bersemangat. Semacam terinspirasi, gitu lah."

"Hmm, begitu ya... Kalo gitu apa aku juga harus sering-sering liatin ibuku kah? Biar dapat inspirasi juga?"

"Nggak gitu juga kali. Kamu bisa menemukan caramu sendiri. Dosenku dulu pernah bilang kalau motivasi bisa kita bikin sendiri, lalu bisa kita munculkan kapan saja."

Livi memandang kebingungan setelah mendengar penjelasan Yuni. Kemudian Yuni menjelaskan lebih lanjut.

"Ketika dosenku ngasih penjelasan, barusan aku sadari kalau yang aku lakukan ternyata mirip dengan penjelasan beliau. Jadi begini, Kata dosenku, tiap orang punya sesuatu yang bisa membuat termotivasi. Dan sesuatu itu nggak sama buat tiap-tiap individu. Ada orang yang merasa lebih semangat setelah mendengar lagu. Ada yang dikarenakan setelah membaca buku. Dan kalau aku, aku jadi lebih termotivasi setelah memandangi foto ibuku."

Yuni berhenti sejenak memberi kesempatan kepada Livi untuk mencerna perkataannya.

"Nah, kamu harus cari dulu apakah yang bisa bikin kamu termotivasi. Misal, kamu jadi semangat setelah mendengar musik koplo, maka kamu perlu sering-sering memutar musik koplo. Caranya terserah kamu, mungkin pakai ponsel, atau mungkin pakai radio. Bila kamu sering menghadirkan sesuatu yang bisa bikin kamu semangat, insyaAllah semangatmu jadi lebih stabil. Jadi, itulah yang dimaksud dengan memunculkan motivasi kapan saja."

"Oh begitu toh... Jadi selanjutnya aku perlu mencari sesuatu yang bisa bikin aku bersemangat, yah? " kata Livi dengan mata yang berbinar-binar.

"Wah, udah langsung mulai, nih. Bagus tuh. Tapi kamu juga harus istiqomah dan sabar dalam menjalaninya," Yuni menambahkan. Ia ikut senang mendengar ucapan temannya. Apalagi wajah muram yang tiga hari terakhir ditampakkan Livi sudah terhapus bersih. Senang sekali hati Yuni karena sedikit dapat membantu kesusahan temannya.

Bersamaan dengan itu, suara penanda menjelang maghrib pun sayup-sayup telah terdengar. Dua gadis ini lalu bangkit dari duduknya. Setelah membuat kesepakatan esok hari akan menghadap ibu pemimpin lembaga, mereka bersiap-siap akan menuju masjid kampung. Sementara itu, salah satu dari dua patung kecil penghias taman kehilangan sosok yang ia tunjuk.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun