Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma Pilihan

Cerita Mudik Yu Narsih

15 April 2023   21:22 Diperbarui: 15 April 2023   21:24 471 9
Sejak bapak tidak lagi berdinas di kesatuan Armed rumah ini kami tempati. Bapak tak tahan mendengar selentingan orang di tempatnya bekerja. Selentingan yang menyoroti kami, yang masih menempati rumah dinas.

Pada kenyataannya banyak rumah di seputar asrama yang kami tinggali masih dihuni orang orang lama. Para keluarga tentara yang tidak lagi berdinas di kesatuan Armed sebagaimana seharusnya.

Bapak orang yang tak enakan hati. Bapak berperasaan angin, kata peribahasa. Hatinya mudah sekali tersentuh. Apalagi bila berkaitan dengan pelanggaran aturan. Sekecil apa pun, bapak tak ingin melibatkan diri terlibat di dalamnya.

Kami datang terlalu cepat di sini. Rumah yang kami tempati  baru setengah jadi. Bapak mempersiapkan rumah ini sejak lama. Ia menyisihkan penghasilannya sebagai prajurit berpangkat sersan untuk mewujudkan cita-cita memiliki rumah ini.

Rumah yang baru ini cukup luas. Di dalamnya ada dua kamar. Kamar mandi di tempatkan paling belakang. Bersebelahan dengan ruang dapur. Dari jendela dapur kami dapat melihat bangunan panjang yang berupa rumah kontrakan.

Di kontrakan ini tinggal para pendatang. Kebanyakan mereka berasal dari propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,Yogya, dan Madura. Entah bagaimana ceritanya. Dalam satu bangunan bisa rerdapat wakil-wakil dari propinsi yang berbeda. Mungkin pemilik kontrakan ingin mewujudkan slogan dari iklan apparel dari luar sana, "united color of benetton".

Di rumah kami tinggal seorang keponakan bapak. Kami memanggilnya Mang Aan. Ia anak dari sepupu bapak dari Garut. Ia mencoba peruntungan mencari pekerjaan di Bogor, tempat kami bermukim. Mang Aan berbagi tempat tidur bersama A Dadang di ruang tamu. Aku dan Dik Leni menempati kamar depan. Sedang bapak menemani mamah di kamar belakang.

Rumah kontrakan yang bersebelahan dengan rumah kami itu ditempati Yu Narsih yang berasal dari Gringsing, Jawa Tengah. Ia seorang wanita muda yang cukup ayu. Badannya sintal dan berkulit putih. Kami memanggilnya Yu Nar. Ia berjualan jamu gendong keliling kampung.

Yu Nar setiap hari menyambangi rumah kami dan rumah-rumah yang lain. Mamah biasa menenggak jamu racikannya. Jamu yang dituang dalam gelas kecil. Diberi telor ayam mentah dan madu. Warnanya kecoklatan dan rasanya pahit. Mamah selalu memejamkan mata saat menenggaknya. Setelah jamu habis, gelasnya dituangi air gula berwarna coklat. Mamah suka menyisakan setengahnya untuk aku minum. Rasanya manis dan beraroma kencur.

Di kontrakan itu juga ada beberapa pemuda yang mencari nafkah dengan jualan baso. Satu diantaranya kami panggil Mas Narto. Ia pemuda baik hati dan agak pendiam. Tiap hari berkeliling mendorong gerobak. Basonya lezat, harum dan kenyal. Di pagi hari aroma rempah dan daging bercampur masuk ke jendela dapur kami. Wangi yang mengundang selera.

Ada juga Mas Sudaryanto di sana. Ia berasal dari Yogya. Berusaha dengan berjualan kain batik. Ia sudah berkeluarga. Istri dan dua anaknya tinggal di kampung. Ia lelaki yang penuh kasih sayang. Perkataannya lembut, suaranya pelan. Saat mengobrol terkadang perkataannya tidak terdengar.

Mang Aan kerap bermain ke tempat kontrakan. Ia gemar membercandai Yu Nar. Bukan hal yang aneh. Di kampung yang terbilang baru ini, Yu Nar jadi idola. Setiap pemuda dan orang tua jatuh hati padanya. Penjual jamu yang ayu, seperti tokoh Juminten dalam sinetron di televisi.

Kadang kulihat Mang Aan mengintip di kisi-kisi jendela dapur. Pandangannya ia arahkan ke rumah bedeng kontrakan. Ia mengamati Yu Nar yang sedang menjemur baju. Ia berbusana setengah telanjang dengan berkain handuk. Sepertinya ia baru keluar dari kamar mandi yang pintunya mengarah ke dapur rumah kami. Mang Aan kerap mewanti-wantiku, agar kelakuannya itu tidak dilaporkan kepada bapak.

Pernah satu kali kulihat bapak juga mengendap endap seperti Mang Aan. Ia tak tahan melewatkan kesempatan menyaksikan ritual Yu Nar menjemur baju. Namun malang nasib bapak. Mamah memergoki aksinya dan meletuslah perang dunia ke tiga di rumah kami. Sejak itu, bapak tak kulihat mengulangi aksinya.

Rumah kontrakan itu perlahan ditinggal para penghuninya. Hal ini berlangsung setiap bulan Ramadan. Mereka pada pulang kampung untuk berlebaran di kampung halamannya. Mereka pergi bersama-sama. Seperti telah dijadwalkan sebelumnya.

Biasanya Yu Nar pamit ke rumah kami ketika hendak pulang. Ia mengucapkan terima kasih kepada keluarga kami yang jadi pelanggan setianya. Ia meminta maaf dan memohon doa restu agar selamat di perjalanan. Kepadaku, Yu Nar menmberikan selembar uang.

"Ini buat Dek Ira jajan", katanya. Ia mengusap dan mencium kepalaku.

Kepada Mamah yang melepasnya pergi, Yu Nar bercerita dengan riang. Bila ia selama ini tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk ongkos mudiknya. Ia hanya mengeluarkan uang sekedarnya untuk bekal selama perjalanan. Untuk membeli air minum dan makan di perjalanan. Selain itu, semua ditanggung panitia.

Sebagai penjaja jamu,Yu Nar mendapat fasilitas mudik gratis dari perusahaan jamu ternama. Setiap tahun ia menjalani rutinitas ini. Perusahaan yang produk jamunya dijajakan Yu Nar keliling kampung ini boleh disebut pelopor kegiatan mudik cuma-cuma ini. Setiap pemberangkatan, berhimpun ribuan penjual jamu seperti Yu Nar.

Tidak tanggung-tanggung, kendaraan yang dipakai mudik berjemaah ini adalah bis-bis paling bagus. Kendaraan yang dilengkapi fasilitas kelas non ekonomi. Yu Nar menikmati perjalanannya dalam kesejukan ruang berpendingin udara. Duduk di kursi empuk yang dilengkapi bantal. Di hadapan mereka terpasang layar tv dan microphon. Kapan saja fasilitas ini dapat mereka pakai.

Mudik dengan kenyamanan seperti ini adalah kemewahan yang dinikmati kaum pendatang. Mereka yang pergi merantau guna meraih penghidupan yang layak. Setiap hari bersimbah peluh. Berusaha menjalankan kewajiban mencari nafkah. Sepeser demi sepeser rupiah mereka tabung. Mereka simpan untuk dibawa saat mudik Lebaran.

Di kampung halaman Yu Nar dan kaumnya berbahagia bersama. Bersenda gurau dengan keluarga dekat. Berbagi suka duka mengumbar cerita. Segenggam perolehan berupa materi mereka tebar. Agar kebahagiaan semakin berlipat, mereka nikmati. Yu Nar, selamat mudik.



KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun