"Â Karatok madang diulu
Bababuah babungu balun
Marantau lah bujang dahulu
Dirumah paguno balun "
Yang kira-2 artinya semasa muda merantau dahulu , karena dirumah belum diperlukan.
Mungkin ungkapan ini bisa sedikit diplesetkan menjadi bait terakhir;
"Â Maratau urang gaek dahulu
Karena dirumah sudah kosong ".
Ini adalah salah dilema masyarakat Sumbar. Walau menurut catatan statistik angka kelahiran di Sumbar cukup tinggi, namun jumlah penduduknya tidak bertambah.
Suatu typical dari keluarga asalnya  adalah petani. Waktu anak kecil disekolahkan dengan berbagai cara, yang penting sekolah ke Jawa. Mungkin ada yang gagal, tapi kita lihat dulu yang berhasil. Semua anak disekolahkan , lelaki dan perempuan. Setelah mereka berhasil sekolah , kemudian mereka  berkerja dan berkeluarga . Hampir 90% dari mereka tidak ada yang pulang kampung untuk mencari nafkah. Orang tuapun cukup berbahagia karena semua anaknya jadi orang. Menantupun baik, walau bukan orang Minang. Setiap bulan setoran dari anak-2 lebih dari cukup.
Karena kondisi badan sudah mulai tua, dan saatnya menikmati hasil dari anak, maka sawah dan ladangpun sudah dikerjakan orang lain dengan bagi hasil dan sebagainya.
Umur tua akan bertambah tua dan macam 2 penyakit mulai datang , anak yang berbakti pada orang tuanya tidak akan membiarkan orang tuanya berdua saja dirumah. Juga karena susah mendapatkan PRT. Orang tua harus ikut mereka merantau ke Jawa ( ?). Disini kalau perlu bisa pakai perawat dirumah. Dengan segala usaha anak-2 memantu mereka meyakinkan akan lebih baik bapak atau ibu ikut mereka.
Banyak sekali orang tua yang menhembuskan nafas penghabisan dirantau , termasuk ibu dan kedua mertua saya. Persoalan baru timbul bagaimana dengan rumah , sawah dan ladang yang tertinggal ?.
Persoalan menjadi rumit karena adat Minang tidak mengizinkan mereka mejual harta tersebut. Maka anda akan melihat banyak rumah yang bagus-2 (setelah direnovasi ) ditinggalkan begitu saja , paling -2 sewa orang untuk menjaga, hasil sawah ladang kalau tidak direlakan pada keluarga jauh direlakan saja pada penggarap.
Banyak juga rumah yang disunglap jadi Mushola, atau mesjid.Tapi akhir akan kebanyak Musholanya dari pada jemaahnya. Ada yang merenovasi rumah lengkap dengan toilet duduk dan kamar layak hotel berbintang, hanya untuk ditempati sekali setahun. Ada pula keluarga yang saya tahu mewakafkan tanah ladangnya untuk jadi sekolah, ada pula yang membangun sendiri gedung diatas tanah ladangnya untuk selanjut diserah ke Pemda untuk dipakai hanya sebagai Puskesmas.
Bagaimana generasi berikutnya, karena yang disebut itu rantau bukan lagi Jawa , tapi LN, Malaysia , Singapore , Eropa, Austraila, Amerika. Apakah ortunya kan diboyong kesan ?
Mungkin saja, karena dunia tetap berubah