Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Artikel Utama

Kelas Menengah & WTM

1 Mei 2015   11:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:29 172 2


Ada suatu fenomena titik balik yang beberapa tahun belakangan ini muncul di kalangan sebagian kecil kelas menengah (C3000): weekend tanpa ke mall. Kelas menengah yang biasa gandrung banyak menghabiskan waktu akhir pekan pergi ke mall (mallism), kini sadar tentang dampak negatif terlalu sering menghabiskan waktu keluarga di mall dan mulai berkampanye tentang pentingnya weekend tanpa ke mall.

Kita bisa melihat bentuk kesadaran gerakan kampanye mereka ini dalam bentuk WTM (weekend tanpa ke mall) yang sudah marak di media sosial dan aktivitas liburan yang mereka gelar sendiri. WTM telah menjadi gerakan dan komunitas masyarakat untuk mencari alternatif liburan saat akhir pekan.

Mengapa muncul gerakan dan kampanye WTM ini? Saya menduga hal ini disebabkan oleh sudah saking mendarah-dagingnya jalan-jalan ke mall di setiap akhir pekan pada mayoritas kalangan warga kelas menengah ibu kota ataupun second cities lainnya. Lihatlah mall-mall di berbagai kota hampir tidak pernah sepi dikunjungi oleh kelas menengah.

Ketika hari-hari biasa banyak waktu dihabiskan untuk bekerja (orang tua) dan sekolah (anak), maka waktu akhir pekan mereka tumpahkan semua waktunya di mall. Di Jakarta, hampir sehari penuh orang menghabiskan waktu di mall saat akhir pekan, baik dalam satu mall ataupun pindah-pindah ke berbagai mall. Di mall, mereka bisa memilih tempat untuk menghabiskan waktu bersama keluarga seperti makan di restoran, belanja kebutuhan sehari-hari, nonton film di bioskop, bermain di arena permainan atau taman, karokean, dll.

Namun, justru terlalu sering menghabiskan waktu di mall, maka sebagian kecil kelas menengah mengambil inisiatif untuk kampanye WTM ini. Adanya WTM, bukan berarti mereka anti terhadap keberadaan mall. WTM ini sebagai upaya meminimalisir waktu akhir pekan yang banyak disibukkan di mall. Selain dinilai terlalu mainstream, liburan ke mall dinilai kurang memberikan dampak positif bagi keluarga, sehingga diperlukan alternatif baru untuk menghabiskan waktu keluarga di akhir pekan. Mall dinilai sudah cukup basi, dan kini pilihannya mereka pergi ke taman rekreasi, pasar becek, perkebunan, area bermain ruang terbuka hijau, dll. Mereka mulai mencari-cari tempat-tempat baru yang mengesankan.

Mallism

Sekitar dua tahun yang lalu, pakar pemasaran Yuswohady pernah menulis tentang fenomena “Mallism”. Mallism adalah sebuah cerminan para “pemuja” mall. Ini merefleksikan bahwa pergi ke mall telah menjadi bagian gaya hidup kelas menengah. Tiada hari tanpa pergi ke mall. Belanja, nongkrong, menjamu tamunya, kopdar dengan kerabat, meeting pekerjaan, mengasuh anak, dll., yang semuanya dilakukan di mall. Praktis, hampir semua kegiatan yang dilakukan oleh kelas menengah adalah di mall. Maka, tak heran apabila pergi ke mall sudah mendarah daging dalam aktivitas kelas menengah Indonesia. Karena itu, managing partner dari Inventure itu menyebut era saat ini adalah Maleolitikum.

Oleh karena pergi ke mall telah menjadi bagian gaya hidup, hal ini telah menyebabkan permintaan pembangunan mall tak pernah berhenti dari para pengembang. Kabarnya, Jakarta adalah kota dengan jumlah mall terbanyak di dunia. Kini, pertumbuhan jumlah mall di ibu kota mulai dibatasi oleh Pemerintah Daerah. Tetapi, tak kalah siasat, kini para pengembang pun mulai mengincar area-area pinggiran ibu kota atau second cities untuk membangun mall. Mereka sangat agresif tumbuh di daerah-daerah pinggiran seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, dan Depok.

Saat ini justru di daerah pinggiranlah, sebenarnya para pengembang mendapatkan momentum “euforia konsumsi” pada kelas menengah. Dalam hasil penelitiannya berjudul The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential, McKinsey menyebutkan angka pertumbuhan ekonomi wilayah second cities akan jauh lebih atraktif dibandingkan Jakarta. Second cities itu antara lain Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, Semarang, dll.

Sebagian besar orang menganggap bahwa Jakarta adalah potret daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi besar dan cepat. Tetapi, melihat data yang diungkapkan McKinsey bahwa pertumbuhan ekonomi Jakarta tahun 2010 hanya mencapai 5,8%, sementara second cities rata-rata mencapai 6,7%. Prediksi di tahun 2030, second cities akan tumbuh lebih besar dari Jakarta yakni sekitar 9,1%, sementara ibu kota mencapai 5,1%.

Mengapa second cities bisa tumbuh eksplosif? Mengapa pengembang properti sangat bergerak dinamis membangun mall di second cities? Ini tidak lepas dari euforia konsumsi yang terjadi pada kelas menengah pada daerah second cities. Secara evolutif, kebutuhan mereka terhadap konsumsi barang atau layanan kian advance. Untuk itu, para pengembang mall pun sudah ekspansi ke daerah-daerah. Contohnya, dalam beberapa tahun ke depan, di Jogja akan didirikan mall-mall besar dan kelas atas untuk menangkap peluang tingginya gairah konsumsi masyarakat lokal. Rupanya, warga yang tinggal di Jogja kini punya hobi baru euy: jalan-jalan ke mall.

Komplet

Mengapa mall bisa sangat digandrungi oleh kelas menengah Indonesia? Hal ini tidak lepas dari proses evolusi mall yang kian komplet dalam menyediakan kebutuhan kelas menengah. Apa yang dibutuhkan konsumen, hampir semuanya ada di mall. Dalam satu tempat, konsumen bisa mendapatkan semua hal yang diinginkan: berbelanja dengan diskon menarik, produk yang lengkap (sembako, fesyen, elektronik, buku, dll), fasilitas lengkap nan nyaman (parkir, tempat makan keluarga, mushola, arena bermain anak, konser musik, dll), dan akses lokasi terjangkau. Bisa Anda bayangkan, semua kemudahan ini terletak dalam satu tempat bernama mall, sehingga tak jarang kelas menengah merasa betah menghabiskan waktu akhir pekan di mall daripada tempat lain.

Kini, muncul tren bahwa hampir setiap mall berlomba-lomba menciptakan great customer experience dengan menyediakan berbagai fasilitas yang menunjang sehingga kelas menengah akan merasa bebas dan nyaman. Mushola adalah salah satunya. Seperti hasil survei kami tentang kelas menengah muslim bahwa mereka adalah jenis konsumen yang konsumtif sekaligus religius. Melihat karakteristik ini, para pengelola mall berkompetisi membangun mushola yang modern dan nyaman bagi pengunjung, seperti di Mall Kelapa Gading, Senayan City, Pondok Indah Mall, Kota Kasablanca, dll..

Adanya mushola di mall memberikan kenyamanan dan kebebasan para pengunjung untuk bisa bertahan seharian di dalam mall. Mereka bisa menunaikan gaya hidup konsumtif sekaligus tetap melakukan kegiatan berdoa di mushola. Komplet, hehehe…

Namun, seiring dengan kenyamanan menghabiskan waktu berlibur di mall, justru di kalangan sebagian kecil kelas menengah mulai muncul kekhawatiran tentang dampak negatif liburan ke mall. Apa saja dampak negatifnya? Apa yang saya amati dari keluhan mereka adalah anak kian menjadi konsumtif, potensi obesitas pada anak karena sering jajan junk food, pengeluaran keluarga membengkak (besar pasar daripada tiang), anak menjadi kurang kreatif karena main di mal lebih sering virtual, dll. Banyaknya dampak negatif inilah yang mendorong mereka untuk mencari liburan alternatif daripada pergi ke mall.

Titik Balik

Dalam setahun terakhir ini, muncul fenomena ramainya Pasar Santa Jakarta. Pasar Santa adalah pasar rakyat yang kini menjadi tempat nongkrong idola anak-anak muda gaul dan keluarga di daerah Jakarta yang sedang ngetren. Awalnya, pasar ini adalah pasar biasa yang cenderung diisi oleh lapisan masyarakat bawah di daerah Jakarta Selatan, sehingga bentuk desain tidak begitu modern. Pasar ini pun kemudian berubah menjadi tempat nongkrongnya anak-anak gaul.

Outlet-outlet didesain dengan modern dan artistik, sehingga terkesan cool dan berkelas. Pasar ini pun kini menjadi alternatif tempat nongkrong dan makan para anak muda ataupun keluarga di akhir pekan. Mereka adalah kelas menengah yang sudah jenuh dan bosan pergi mall, karena mall sudah terlalu mainstream, maka pasar becek yang diubah lebih cool menjadi alternatif tempat nongkrong.

Selain pergi ke Pasar Santa, kini juga mulai muncul tren adanya wisata edukasi alam atau outbound untuk kaum dewasa maupun anak-anak di daerah Bogor ataupun Bandung. Wisata edukasi ini bertujuan memperkenalkan keanekaragaman hayati alam pada anak, baik di sawah, sungai, hutan, kebun, dll. Apabila anak bermain di mall dinilai lebih pasif dan konsumtif, maka dengan wisata edukasi ini, anak-anak diharapkan menjadi lebih aktif, bergaul, tahu alam, lebih sehat, dan senang.

Ini adalah fenomena titik balik, di mana kelas menengah telah mengalami kejenuhan untuk pergi menghabiskan waktu di mall saat weekend. Ketika mereka memilih untuk tidak pergi ke mall, maka mereka akan memilih untuk pergi ke tempat yang dinilainya alternatif. Tempat-tempat itu antara lain: taman, car free day, tempat wisata kuliner, gunung, dll.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun