Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Kenaikan BPJS: Defisit Logika, Etika, dan Kearifan Pemerintah

14 Juli 2020   03:57 Diperbarui: 14 Juli 2020   04:18 61 1

Ditengah wabah yang masih belum beres ini, akhir- akhir ini kita dihadapkan kembali dengan beragam permasalahan yang nampaknya menjadikan benak masyarakat semakin  tak kondusif, merinding,  bahkan tak sedikit  menambah kadar apatisme dan skeptisme , sekaligus efektif merusak cara pandang kita  terhadap gelagat pemerintah.

Hal itu tidak terlepas dari munculnya  beragam isu- isu kontroversial dari mulai Perppu No 1 tahun 2020, Kelambanan pemerintah dalam menangani penyebaran virus covid-19,  RUU HIP yang memiliki indikasi penihilan pancasila , Keganjilan hukum dalam dakwaan kasus novel baswedan , dan berbagai masalah lain yang apabila disebutkan satu persatu semakin menambah ruwet dan pusing pikiran.

Banyak respon yang hadir memenuhi ruang- ruang diskusi, dari mulai kaum sinisme sampai kaum naifme. Dari mulai mereka yang membabi buta mengkritik tanpa memberikan solusi alternatif, sampai mereka yang membabi buta optimis tapi tidak membumi dan mengindahkan realitas yang terjadi.

Terlepas dari beragam permasalahan tersebut, yang justru paling dikhawatirkan adalah fluktuasi dari respon masyarakat.  Apabila nuansa permasalahan ini terus mendominasi, mau tidak mau masyarakat akan terus terasuki rasa ketidak percayaan, sinis, bahkah ragu . Sehingga apabila terus dibiarkan tanpa respon yang efektif dan proporsional, akan memberikan implikasi negatif terhadap kualitas legitimasi pemerintah sendiri.

Sialnya lagi , ditengah- tengah berbagai kalut permasalahan yang membuat pikiran kita pusing tak karuan , Pemerintah, pada tanggal 1 Juli 2020 dengan polosnya resmi menaikan uiran BPJS Kesehatan secara bertahap  dengan diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020. Dari tiga klaster BPJS , semua iurannya naik kurang lebih seratus persen. klaster  I  menjadi Rp. 150.000/ bulan, Klaster II menjadi Rp.100.000/bulan, dan klaster III menjadi Rp.42.000/bulan.

Entah apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pemerintah , yang jelas  combo kebijakan ini benar- benar membuat masyarakat benar- benar seolah dipukul pemerintah menuju ke “K.O an”. Bagaimana tidak, dalam pendekatan Psikologi maslow, kenaikan ini memiliki kontribusi efek permasalahan yang signifikan karena mempengaruhi secara langsung kebutuhan materi dasar sehari – hari masyarakat.

Secara formil Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 sendiri berisikan revisi kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan mempertimbangkan putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020, dan Undang- Undang terkait lainnya. Tak ada masalah dalam muatan formil, semuanya bisa disesuai- sesuaikan. Sebelumnya kenaikan iuran BPJS sendiri pernah diusulkan oleh pemerintah, namun dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap menyalahi beberapa kaidah baik itu formil maupun materil.

Namun demikian, secara materil, pemerintah seharusnya tak menutup mata, ditengah alur situasi permasalahan yang ada, tekhusus situasi pandemi. langkah yang di ambil pemerintah tampak tidak mengedepankan etika dan kearifan bernegara pada masyarakat. Bagaimana bisa pemerintah melimpahkan beban lebih pada masyarakat di tengah daya beli ekonomi turun, PHK dimana- mana, kebanyakan UMKM melemah, dan permasalahan krusial lain.

Alih – alih demi kesejah teraan , tidak sedikit masyarakat yang malah bingung bahkan protes, sebab disamping upaya penanganan pemerintah atas pandemi biasa- biasa saja bahkan lemot, justru mereka malah di bebankan kewajiban membayar iuran Jaminan Sosial yang meninggi, disamping hak- hak kesejahretaan yang seharusnya mereka dapat dari negara ketika situasi pandemi, justru mereka malah disuruh membayar lebih.

Oleh karena itu, terlepas dari berbagai macam permasalahan, penjaminan terhadap hak- hak dasar rakyat merupakan amanat Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sekaligus pesan konstitusi yang harus menjadi tujuan utama pemerintah yang harus dijaga dan diperhatikan dalam kondisi apapun, solus polupi suprema Lex Exto “ Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi”. Pemerintah seharusnya lebih membuka mata terhadap realitas yang ada, menginventasisasi masalah secara komprehensif dan transparan, menolong dengan memperbaiki mekanisme pengaturan internal BPJS sendiri, bukan  malah menodong dengan hanya bisa  menaikan premi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun