Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Berdamai dengan Luka

8 Juni 2022   14:52 Diperbarui: 9 Juni 2022   19:39 353 1
Tubuh Rini tiba-tiba lemas mendengar berita yang sungguh mengagetkan sekaligus membuat remuk hatinya. Nafasnya tersengal, sesak hingga kemudian dia gak sadarkan diri.

Baru sebulan yang lalu dia bersama keluarga kecilnya berlibur bersama di sebuah pantai yang indah di desanya. Tidak ada keanehan yang tampak dari sikap suami yang telah 7 tahun membersamai hari-harinya. Lelaki yang telah memberinya 3 buah hati yang lucu dan sekarang  masih kecil-kecil.

Air mata yang terus mengalir menjadi bukti remuknya hatinya saat ini. Seketika membuncah rasa benci terhadap ayah dari anak-anaknya itu. Lelaki berumur 27 tahun yang sangat dicintainya. Dia rela meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan swasta ternama demi menuruti perintah suaminya. Yah suaminya memintanya untuk tinggal di rumah mengurus anak-anaknya.

"Ada apa dek. Kamu kenapa?" Kejar suaminya yang bergegas pulang setelah mendapat telpon dari pembantu rumah tangga mereka. Mengabari jika istrinya pingsan.

Rini yang baru sadar menatap kosong. Hanya air mata yang terus mengalir deras. Refleks Arya membopong tubuh istrinya yang tergeletak lemas di lantai, membawanya ke kamar dan membaringkan di tempat tidur.

Ditatapnya wajah istrinya dengan penuh keheranan. Tidak biasanya Rini bersikap seperti itu. Dia adalah perempuan yang tegar dan periang. Setiap kali suaminya pulang, maka akan disambutnya dengan hangat sambil terus bercerita tentang aktifitasnya seharian ketika suami dan anak-anaknya tidak di rumah.

Di ambilnya tangan istrinya tapi dengan kasar Rini menepisnya. Tatapannya berubah nanar. Dengan kemarahan yang memuncak di tendangnya tubuh suaminya hingga terpental ke lantai. Arya tentu saja sangat kaget dan marah. Dia bangkit dan memegang kasar kedua bahu istrinya.
"Kamu kenapa Rin. Ada apa sebenarnya.?"

"Tidak usah pura-pura gak tahu. Kamu tega bang. Apa salahku. Kurang apa aku melayani kamu?" serang Rini bertubi.

"Maksudmu apa Rin?"

"Kamu bohong," teriak Rini.
"Kamu bilang hanya ada aku. Kamu bilang kamu sayang keluargamu, anak-anakmu."
"Hhh munafik,"  kata Rini dengan nada kasar dan sinis.

"Kamu bicara apa Rin. Kalau bukan kamu lantas siapa lagi perempuan di hatiku. Kamu, anak-anak kita adalah segalanya bagiku," kata Arya meyakinkan.

"Dasar laki-laki pembohong. Lantas siapa perempuan yang bersamamu di restauran kemarin malam. Siapa perempuan yang menggandeng tanganmu di mall sepekan yang lalu?" serang Rini.

"Eh k kmu salah faham Rin. Dia bukan siapa-siapa. Dia rekan kerjaku. Kami kebetulan ada acara kantor malam itu," jawab Arya tergagap.

"Acara kantor katamu. Gak usah mengelak. Aku sudah tahu semuanya. Tidak ada acara kantor malam itu. Yang ada acara kamu dengan istri simpanan mu itu."  

"Rin! Kk kamu tahu dari mana. A aku ...," Arya tercekat. Dia tahu betul siapa istrinya. Meskipun tinggal di rumah, Rini punya banyak teman. Dia wanita yang supel sehingga sangat mudah akrab dengan orang lain. Maka sudah pasti dia punya banyak teman yang akan yang memberi tahu dia tentang kelakuan suaminya.

"Maafkan aku Rin," Kamu benar, a a aku bohong. Aku telah membohongimu selama ini. Aku laki-laki tidak tahu diri." Dia benar istriku dan kami akan segera punya anak."

"Apa?" kembali Rini berteriak.

Pengakuan suaminya bukannya membuat Rini bersimpati. Justru kejujuran suaminya kali ini bagaikan godam yang menghantam kepalanya. Dia mengamuk melemparkan semua apa yang bisa diraihnya. Dihempasnya pintu dengan kasar ketika dilihatnya Arya beranjak pergi.

Bi Ratih berlari dari dapur dengan terengah. "Ada apa pak, ibu kenapa?" cecar bi Ratih dengan nada gusar.
"Jaga ibu bi. Aku keluar dulu!" kata Arya sambil berlalu.

Kepalanya mumet. Dia tidak pernah membayangkan istrinya akan semarah itu. Dia tidak pernah berpikir sesakit apa istrinya ketika mengetahui dia telah beristri lagi. Yang dia tahu, dia bahagia bersama istri dan anak-anaknya yang tidak pernah menuntut banyak.

Di lain sisi dia juga bahagia bersama Alina yang lembut dan manja. Bersama Alina dia merasakan hal yang lain. Bersama Alina dia merasa menjadi lelaki sejati yang bisa melindungi, membantu dan mengayomi.

Hal yang tidak didapatkannya pada Rini yang setiap saat bercerita tentang banyak hal kepadanya. Yang senantiasa mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Yang tak pernah mengeluh apalagi menuntut.

"Ibu kemana bi?" tanya anak-anak Rini ketika pulang sekolah.
"Di kamar, ibu lagi kurang sehat makanya dia istirahat," jawab Bi Ratih yang mulai resah karena sudah beberapa jam majikannya belum juga keluar kamar.

Perlahan diketuknya pintu kamar majikannya sambil mengucapkan salam. Tapi hingga tiga kali dia mengucapkan salam tidak ada jawaban dari dalam kamar.

Segera diraihnya handphone butut miliknya dan menghubungi nomor pak Arya. Berharap bisa segera melaporkan kondisi di rumah majikannya saat itu. Namun hingga tiga kali dia menekan nomor itu, jawaban yang didengar selalu saja nomor sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.

Kembali anak-anak Rini mengejar bi Ratih dengan rentetan pertanyaan. "Ibu kenapa belum keluar. Ayah kok belum pulang?"
Bi Ratih semakin bingung bercampur cemas. Syifa, si bungsu berumur 2 tahun mulai menangis memanggil-manggil ibunya.

Dia berlari menuju pintu kamar orang tuanya sambil menggedor-gedor pintu. Tangisnya pecah. Dia memanggil ibunya sambil menangis. Tidak lama kemudian kedua kakaknya pun bergabung, ikut mendekat ke pintu, memanggil ibu mereka sambil menangis.

Bi Ratih semakin bingung. Dia pun ikut memanggil sambil menangis. Di dalam kamar, Rini yang mulai bisa mengendalikan diri tergerak. Tidak tega mendengar tangisan anak-anaknya, dia kemudian beranjak ke pintu dan membukanya.

Ketiga anak Rini menghambur memeluk kaki ibu mereka. Rini berjongkok sambil merangkul ketiga anaknya. Tangisnya kembali pecah. Luka hatinya menganga lebar. Bi Ratih yang menyaksikan ikut larut dalam suasana kesedihan. Dia pun menangis sesenggukan. Meskipun belum tahu jelas apa penyebab kemelut di rumah tangga majikannya, namun nalurinya yang juga sebagai seorang istri membawanya pada sebuah kesimpulan. Ada badai dalam rumah tangga majikannya.

Sudah tiga malam Arya tidak pulang. Tak sekalipun juga dia menelpon. Kejengkelan dan kemarahan Rini semakin membuncah. Hatinya menuntunnya pada satu kesimpulan  bahwa Arya pasti bersama istri barunya. Hal yang membawanya pada kemarahan yang memuncak.

Sementara di luar sana para tetangga dan orang-orang komplek perumahan tempat tinggalnya mulai ramai menyebar gossip.
Hampir di setiap pertemuan ibu-ibu,  prahara keluarganya menjadi topik hangat. Hal ini membuatnya semakin panas dan tidak berani keluar rumah. Anak-anaknya pun mulai mendengar berita tentang ayahnya dari teman sekolah mereka.

"Hi Mil, ayah kamu gak pulang-pulang ya. Kata mamaku dia sedang di rumah istri barunya," kata Tohar tanpa memikirkan bagaimana perasaan Syamil.
"Ayahku sedang bekerja di kantornya. Dia banyak kerjaan makanya tidak pulang," jawab Syamil mencoba membela diri.
"Heh, mana mungkin lembur sampai berhari hari," serang Tohar.

Syamil berlari masuk rumah sambil menangis. "Ayah jahat, Ayah jahat,"  teriaknya histeris. Ibunya yang sedang mengaji berdiri menghampiri. "Ada apa nak?"

"Syamil benci ayah. Syamil benci ayah. Ayah gak sayang Syamil."

Tidak lama Atikah dah Aisyah pun datang sambil menangis. "Bu, teman-teman ngolok Aisyah. Katanya ayah Aisyah menikah lagi karena ibu suka ngomel."
"Astaghfirullah!" Rini kaget mendengar pengaduan anaknya.

Dia bertekad untuk bertahan. Anak-anaknya tidak boleh ikut terluka karena prahara rumah tangganya. Dia harus berusaha tegar meskipun luka di hatinya masih menganga lebar.

"Eh Bu Rini, mau ke mana?" tanya Bu Aini salah seorang tetangga terdekatnya  berbasa-basi.

 "Oh iya Bu saya mau ke warung depan, bi Ratih sedang kurang sehat," jawab Rini mencoba untuk tegar.
 
"Bagaimana kabar pak Arya, katanya sudah beberapa hari gak pulang. Dengar-dengar dia punya pendamping baru ya," pancing bu Aini berharap bu Rini mau bercerita banyak.

"Oh iya, mungkin juga Bu. Maaf ya Bu saya harus segera ke warung," potong bu Rini  sambil berlalu. Dipercepatnya langkahnya agar ibu-ibu yang lain tidak mencegatnya.

Hampir dua bulan Arya tidak pulang. Orang di kantornya pun tidak tahu dia ke mana. Sendirian Rini berjuang merenda kembali puing-puing hatinya yang hancur. Tidak ada gunanya meratapi nasib. Dia harus tegar. Badai rumah tangganya tidak akan mereda jika dia sendiri tidak berusaha menenangkan ombaknya.

Satu yang membuatnya tambah hancur karena keluarga suaminya pun menuduhnya perempuan gak becus, cerewet sehingga dianggap wajar suaminya mencari perempuan lain. Di sisi lain keluarganya sendiri mendesaknya untuk melepaskan Arya, lelaki yang telah mengkhianatinya.

"Rin, kamu masih muda, buat apa kamu bertahan dengan Arya yang telah mengkhianatimu. Apa yang kamu harapkan dari dia," cecar bibinya dengan kesal.
"Iya Bi, saya akan berusaha menyelesaikan dengan cara saya sendiri."

Mendengar jawaban itu, bibinya jengkel dan berbalik ikut mencibirnya.

Tanpa terasa Rini yang memang sedang hamil 5 bulan ketika berita tentang suaminya itu terungkap, sekarang sudah memasuki bulan ke-7 kehamilannya. Meski berat namun dia ternyata mampu melewati masa tersulit dalam perjalanan rumah tangganya. Dia berhasil mengajarkan kepada anak-anaknya untuk bersabar dalam menerima takdir.

Ketegaran mereka membuahkan hasil. Meskipun kadangkala masih ada rumor-rumor terkait suaminya dan istri barunya namun itu tidak lagi mampu mengusik pertahanan Rini. Dia mampu kembali tertawa dan mengambil peran dalam komunitasnya. Sungguh Rini telah berhasil berdamai dengan lukanya.

"Pak Arya!" seru bi Ratih yang mendengar suara majikannya lewat sambungan telpon. Bapak di mana, saya sekarang di kampung, tidak bersama ibu lagi. Istri dan anak-anak bapak sehat, Alhamdulillah. Saya pulang karena bapak saya mulai sakit-sakitan," urai bi Ratih panjang lebar.

"Assalamu 'alaikum, Rin!" sambil takut-takut Arya melangkah masuk dan mendekati wanita yang sudah lama dirindukannya.
"Abang Arya!" seru Rini kaget seolah gak percaya melihat siapa yang berdiri di depannya.

Tanpa sabar Arya bergegas meraih tubuh istrinya. Dipeluknya tubuh istrinya yang sudah beberapa bulan ditinggalkannya. Berjuta sesal menghimpit dadanya. Belum  sepatah katapun terucap dari bibirnya. Dikecup kening istrinya berulang kali seolah ingin menumpahkan segala kerinduannya selama ini.

Rini yang berdiri mematung luluh. Perlahan tangannya pun terangkat dan balas  memeluk suaminya. Tangisnya pecah. Pertahanannya runtuh. Lelaki yang dibencinya tapi sekaligus yang sangat dirindukannya kini hadir membawa sejuta rindu dan penyesalan.

"Maafkan aku Rin. Aku sungguh khilaf, mengkhianatimu yang demikian tulus mencintaiku. Aku menyesal. Aku janji tidak akan meninggalkanmu lagi.  Aku telah melepaskannya dan hanya akan bersamamu."

"Mendengar kata maaf yang nampaknya  benar-benar tulus dari suaminya membuat Rini luluh. Kebenciannya perlahan sirna berganti menjadi kerinduan bertabur benih cinta yang kembali mekar setelah sekian lama berusaha dikuburnya.

Apakah kata maaf benar tulus dari dalam hati Arya atau hanya rayuan yang akan kembali membuka luka Rini?

Bersambung ... in syaa Allah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun