Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Pilihan

Sarjana Konspirasi, Spongebob, dan Tawanan Kebaikan

28 Februari 2014   20:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22 183 1
Ada masa ketika saya menghabiskan 10-15 menit tiap pagi untuk menonton film Spongebob.

Tujuannya sederhana: meriset. Membuktikan bahwa film ini memang benar-benar memiliki banyak kampanye terselubung—semacam konspirasi, yah kau tahu lah. Dan temuan pertama berkaitan dengan simbol-slogan Freemasonry. Silakan tengok episode “Good Neighbour” dimana Spongebob dan Patrick mengenakan topi berlogo “mata-satu” dan meminta Squidward Si Pengeluh untuk menjadi Presiden “Kelompok Persaudaraan Tetangga yang Baik”. Atau coba perhatikan anatomi tubuh Plankton di mana ia hanya memiliki satu mata.

Tapi sebagai seorang Sarjana Ekonomi—dan bukan Sarjana Konspirasi—temuan yang lebih mengejutkan—dan membikin miris—justru datang dari kampanye terselubung yang sialnya, luar biasa jenius. Seperti pembunuhan-tanpa-jejak oleh seorang komedian di atas panggung.

Lihat ini.

Pertama, nama “Bikini Bottom” sebagai nama set lokasi cerita. Kata “bikini” pada mulanya merujuk pada batu karang, sedangkan “bottom” berarti “di bawah”, sehingga secara harfiah, kedua kata itu berarti: di bawah batu karang. Ini bisa dimengerti karena kehidupan Spongebob dan teman-temannya memang berada di bawah laut. Namun begitu, kata “bikini” hari-hari ini bukankah lebih identik dengan celana dalam? Dan apa sebetulnya yang ada di bawah celana dalam?

Padahal ini film anak-anak.

Kedua, menyoal penyandigan Spongebob—sang koki yang tulus, baik, polos, dan naif—dengan kratty patty—menu andalan Krusty Krabb—yang membuat kita secara a-sadar menyifati kratty patty sebagaimana sifat Spongebob yang baik. Pada akhirnya membuat kita merasa kratty patty sebagai makanan yang aman dan sehat—padahal ilmu kedokteran membuktikan hal yang sebaliknya.

Apalagi status kratty patty sebagai “makanan favorit” warga Bikini Bottom, pada akhirnya akan semakin mendorong anak-anak—wabil khusus penggemar Spongebob—untuk mengkonsumsi makanan cepat saji sesering dan sebanyak mungkin. Karena bukankah anak-anak gemar meniru apa yang ia tonton?

Jamie King, dalam 101 Konspirasi Dunia, mengatakan: film Donald Bebek yang berkisah tentang ketaatan sang Donald membayar pajak—yang ditayangkan gratis di bioskop seluruh Amerika dan ditonton tak kurang dari 60 juta orang—berhasil, menurut polling Gallup, meningkatkan pemasukan pajak penghasilan sebesar 26%![1]

Atau jangan jauh-jauh deh, berapa juta orang kiranya di seluruh dunia yang gara-gara “menonton” Gangam Style terdorong untuk berdandan ala Psy atau berkumpul bersama teman demi joget-kuda-kudaan? Atau bagaimana masyarakat Indonesia tiba-tiba jatuh hati pada Buka Sikit Joss dan Kereta Malam dan Simalakama dan Oplosan dan Pokoke Joget dan menghabiskan semalaman bermakmum kepada Ceasar?

Jadi, ketika pada suatu pagi—sembari sarapan—saya menyempatkan diri, seperti biasa, menonton Spongebob, keponakan saya mampir ke kamar demi minta dirapikan dasi, dan ketika mendapati saya menonton Spongebob, salah seorang di antara mereka mengerutkan kening, berkata, “Amang udah gede nonton Spongebob!”

Mendeham seperti seorang dosen, saya menerangkan, “Riset.” Dan melanjutkan petuah seperti seorang ustad, tapi kedua keponakan saya hanya terkekeh, dan yang seorang menjawab, “Ah, alasan.” Lalu melengos pergi bekejar-kejaran. Saya merenungkan ulang kejadian itu dan mendapati bahwa keponakan saya benar.

Saya tidak sedang meriset. Saya kecanduan. Dan semakin dipikir, semakin 2 kesimpulan susul-menyusul. Pertama, tentang kita yang kadang jatuh hati pada perkara yang kita benci—yang kita tahu itu keliru. Bukankah kita semua sepakat bahwa gosip adalah perkara yang buruk? Bahwa ghibah hanyalah “memakan daging-mentah orang yang di-ghibahi”? Bahwa fitnah lebih kejam daripada pembunuhan? Bahwa hasud adalah seburuk-buruk sifat? Bahwa bohong adalah satu dari 3 tanda kemunafikan? Tapi kita masih menemukan diri kita mengeset TV di acara gosip, pergi ke warung demi membicarakan tetangga sebelah, mengisi waktu luang di pengajian dengan saling mempergunjingkan, menambah-nambahi cerita demi terdengar dramatis, merasa kesal ketika tetangga membeli kulkas 7 pintu.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 216)

Membenci sesuatu yang baik atau menyukai sesuatu yang buruk, setidaknya bisa disebabkan dua kondisi. Pertama, ketidaktahuan kita pada kebaikan/keburukan hal yang kita benci/sukai. Untuk yang begini, Allah memberi janji, “…Sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya)….” (QS an-Nahl: 119)

Dan yang kedua, ketidakmampuan kita untuk mengontrol hawa nafsu. Padahal kita tahu sesuatu itu baik—seperti bangun subuh—tapi kita malah benci. Padahal kita tahu sesuatu itu buruk—seperti begadang yang tiada artinya—tapi kita malah membiasakannya.

Tapi, seperti Khaled Hosseini menulis dalam And The Mountain Echoes, manusia tetaplah seorang tawanan kebaikan. Tak satupun dari kita nyaman merasa (atau dicap) jahat dan buruk. Oleh karena itu, sampailah kita pada kesimpulan kedua, bahwa kita acapkali melakukan pembenaran setiap kali melakukan kesalahan.

Bahwa kita tidak sedang bergosip melainkan menyampaikan fakta seputar selebriti. Bahwa kita tidak sedang hasud hanya sedang terkejut. Bahwa kita tidak sedang berbohong hanya sedang merangkai cerita. Bahwa kita tidak sedang memfitnah hanya sedang menegakkan keadilan. Bahwa kita tidak sedang berhura-hura berjoget semalaman melainkan sedang menyebarkan energi positif.

Tapi coba bayangkan jika kita punya teman yang setiap hari selalu saja menutupi kesalahannya dengan berbagai alasan dan pembenaran. Sekali dua kali kita mungkin memaklumi—memaafkan. Tapi semakin sering, kita mungkin akan justru merasa ilfeel—dan memilih menjauhi. Nah, jika begitu, bagaimana Allah menyikapi kita, jika setiap hari yang kita lakukan hanya melakukan berbagai pembenaran?

Sayangnya, semakin dipikirkan, semakin dua kesimpulan ini terasa sebagai (hanya sebatas) pembenaran. Ya ampun!



[1] King, Jamie (2010: 129)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun