Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Resolusi Bangsa Indonesia 2013: Berani Jujur Hebat!

30 Desember 2012   22:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:46 1517 5

Minggu pagi kemarin, saya belanja ke pasar tradisional. Niatnya cari kakap merah. Abang tukang sayur langganan tak pernah bawa ikan jenis begini, sebab dia takmau spekulasi kalau tak laku dibeli. Saya sedang berjalan menuju los ikan segar yang letaknya persis setelah los daging ayam, ketika terdengar celotehan bersemangat seorang ibu penjual : “Yang ini rasa ayam, yang ini rasa sapi” katanya. Saya langsung menoleh ke kiri, memastikan saya tak salah dengar dan tak salah lihat. Los daging ayam posisinya di sebelah kanan saya dan saya tepat di depan ujung los daging ayam yang dipisahkan lorong selebar 1 meter dengan los ikan segar. Si ibu yang saya dengar tadi ada di sisi kiri saya. Lapaknya berisi aneka macam sayuran, cabe dan tomat.

Tangan si ibu menunjuk 2 kotak kayu berisi jamur putih yang lebar-lebar. Saya tahu jamur itu sama dengan yang biasa dibawa tukang sayur langganan. Sejak tadi di beberapa lapak penjual sayur pun saya lihat jamur yang sama. Harganya murah banget, kalau tak salah seplastik Rp. 2.500,00. Kata Bang Amin, tukang sayur langganan Ibu saya, digoreng dengan tepung bumbu enak, kriuk-kriuk. Ibu saya pernah beli untuk dimasak jadi campuran sop. Yang saya heran, si ibu penjual sayuran tadi mempromosikan jamur jualannya berasa ayam dan sapi. Ahaaii! Bukankah jamur itu tetumbuhan? Bagaimana sesuatu yang nabati bisa berasa hewani sedangkan itu masih mentah?

Saya tersenyum sendiri. Hoax juga neh si ibu. Apa jamurnya dipupuk pakai bubuk Roy** atau Sa**ku rasa ayam dan sapi, jadi saat dipanen jamurnya berasa sesuai pupuknya? Saya lihat seorang ibu muda yang mendengar celoteh ibu penjual sayur, kemudian membeli jamur itu. Saya lanjutkan berjalan menuju los ikan segar, mencari penjual ikan kakap merah. Sekilo kakap sudah di tangan, saya pun keluar dari los dan melewati lapak ibu penjual sayur tadi. Seorang lelaki muda tampak memborong jamur se-tas kresek penuh. Rupanya dia pembeli terakhir. Sebab 2 kotak kayu isi jamur itu sudah ludes. Wah, hebat juga strategi promosi si ibu ini, dalam tempo beberapa menit jamur dagangannya laris manis terjual.

Itulah fenomena taktik berjualan kebanyakan pedagang kita. Asal “ngecap” meski tak masuk akal, tapi toh pembeli tanpa pikir panjang percaya saja dan rela membeli. Bertemulah yang suka membohongi dengan yang mau dibohongi. Tentu tak salah kalau pembeli memang membeli karena niatnya akan memasak jamur, bukan karena tergiur rasa ayam atau sapi. Tapi kalau kemudian dia berharap mendapatkan rasa ayam atau sapi dari jamur murah itu, akankah si ibu penjual menjamin pembelinya akan benar-benar mendapatkan rasa ayam dan sapi dari jamur jualannya?

“Berani Jujur Hebat”, tag kampanye yang sudah 2 tahun ini dipakai KPK. Kata Bambang Widjojanto kata-kata itu dipilih karena nilai kejujuran itulah yang kini hilang dari peradaban bangsa kita. Kalau sering nonton tayangan Reportase Investigasi di Trans TV setiap Sabtu dan Minggu sore – saya sendiri sudah lama tak menontonnya – sejak beberapa tahun lalu, banyak sekali ditayangkan trik-trik curang para pedagang. Ada beras yang diberi pemutih Bay***n agar pembeli mengira itu beras kualitas bagus, ada penjual tempe yang dibuat dengan aneka campuran kimiawi berbahaya agar kedelai kualitas buruk yang jadi bahan bakunya bisa terlihat kuning rata dan cepat matang dalam semalam saja.

Belum lagi fenomena kecurangan yang dilakukan para penjual makanan matang. Ada donat seribu perak yang digoreng dalam minyak yang sudah dicelupi lilin agar permukaan donat tertutup, udara tak bisa masuk, sehingga donat tetap terkihat menggelembung dan empuk sampai sore. Atau lumpia seribu perak yang kulitnya bercampur borax sehingga kenyal. Ada juga penjual gorengan yang menggoreng tas-tas kresek bekas dalam minyak yang akan dipakai menggoreng dagangannya, agar gorengan terasa renyah kriuk-kriuk. Atau penjual gorengan yang membeli minyak goreng bekas buangan dari restoran besar dan hotel-hotel berbintang, yang harganya jelas jauh lebih murah. Ada pula penjual kue yang membeli telur ayam pecah dari agen telur, padahal telur-telur pecah itu tak disimpan di lemari pendingin, sehingga berbagai bakteri dan serangga masuk. Tampak jelas lalat dan belatung bercampur dalam telur yang kemudian dibuat jadi campuran kue jualannya. Ada nugget yang biasa dijual sebagai jajanan anak SD berbahan baku ayam tiren alias ayam mati kemaren. Atau pewarna berbahaya bagi tubuh manusia yang dipakai sebagai pembuat rainbow cake, bahkan bukan hanya rainbow cake yang dijual di pasar saja, tapi juga yang dijual di toko kue. Bahkan ayam bumbu kuning yang banyak dijual ternyata bumbunya bukan kunyit melainkan obat kompres luka luar semacam Ri**nol. Kaskus pernah membahasnya. Menjijikkan bukan?

Itulah fenomena sebagian perilaku pedagang di negeri ini, tidak semuanya memang. Demi mengejar untung besar dan menghemat modal, apapun dilakukan meski membahayakan pembeli. Perilaku mencurangi timbangan, menyembunyikan kecacatan barang, dll seolah sudah menjadi trik yang berlaku umum. Saya teringat ketika di Jepang dulu saya kerap membeli pisang harga diskon 50%. Biasanya pisang itu dikemas dalam kantong plastik, karena sudah tak utuh 1 sisir. Saya pilih yang hanya isi 3 buah saja. Saat sudah di depan kasir, selalau kasirnya akan menanyakan : “Anda yakin akan membeli ini?”. Lalu dia menunjukkan seluruh sisi pisang, dimana ada bagian yang menandakan pisang itu sudah terlalu matang dan akan busuk 1-2 hari ke depan. Penjualnya meyakinkan bahwa saya tak tertipu membeli buah hampir busuk meski harganya diskon. Setelah saya jelaskan bahwa saya akan memakannya malam ini juga untuk makan malam, barulah ia masukkan harganya ke mesin hitung. Jadi penjual meyakinkan dulu pada pembeli bahwa ia membeli “barang setengah rusak” karena itu harganya didiskon.

Lalu kenapa di masyarakat kita yang terjadi justru sebaliknya?! Bukan hanya kecacatan barang yang disembunyikan, bahkan kalau bisa barang kualitas buruk dijual dengan harga barang kualitas baik. Kasus beras berpemutih atau tempe berpewarna adalah contohnya. Boro-boro meyakinkan pembeli agar tak tertipu, disini pembeli justru sering ditipu. Jamur biasa dikatakan berasa ayam dan sapi atau kue donat digoreng bersama lilin atau cemilan yang digoreng dalam minyak yang diberi plastik kresek, adalah sebagian contoh penipuan konsumen.

Entah apa yang sudah terjadi pada bangsa ini, sampai-sampai kejujuran jadi barang langka. Sejak dari masyarakat kelas bawah – penjual eceran di pasar tradisional – sampai pejabat negara, seolah berlomba untuk tidak berlaku jujur. Mulai dari dunia perdagangan sampai pendidikan diwarnai ketidakjujuran. Kita mungkin belum lupa bagaimana guru dan Kepsek merencanakan, melatih dan mengindoktrinasikan contek massal di sebuah sekolah di Surabaya tahun 2011 lalu. Ternyata fenomena contek massal itu terjadi di beberapa kota dengan modus beragam. Ada guru yang memberikan bocoran soal atau guru yang memandu siswa mengerjakan soal ujian. Semua hanya demi “prestasi” dan predikat sekolah. Kalau baik predikat kelulusan siswa, maka naiklah nilai tawar sekolah dalam penerimaan siswa baru. Naik pula pemasukan sekolah dari calon siswa. Uang! Ya, sebagian besar tujuan akhirnya memang uang.

Para orang tua jaman dulu mendidik anak-anak mereka dengan banyak larangan karena alasan pamali, ora elok. Termasuk larangan dalam perilaku sehari-hari. Banyak larangan itu cukup efektif dan tertanam kuat dalam benak anak-anak jaman dulu, terbawa hingga mereka dewasa. Lalu kenapa tidak dihidupkan kembali dalam keluarga jaman modern ini : larangan untuk berperilaku tidak jujur? Pamali berbohong, tipu-tipu, mencontek, dll. Kalau doktrin “jangan makan daging babi karena itu haram” bisa begitu efektif diajarkan sejak kecil, kenapa tidak dipraktekkan juga menjadi “jangan sekali-kali melakukan korupsi karena itu haram, sama dengan mencuri” atau bisa juga “jangan makan dari uang hasil korupsi, hasil mencuri, karena itu akan jadi daging busuk yang merusak badan dan pikiranmu”.

Mungkin saja sebagian keluarga jaman sekarang tidak lagi mencoba menerapkan itu, karena kedua orang tua justru sudah melupakan kehati-hatian soal halal dan haram dalam mencari rejeki yang katanya “demi anak-anak”. Pedagang yang tidak jujur dan pejabat yang korup sama-sama mencari nafkah dengan cara tidak jujur. Mereka sama-sama menghidupi keluarganya dari sesuatu yang tidak halal, maka tak perlu heran kalau anak-anak jaman sekarang susah diatur, sering melawan dan membohongi orang tua dan gurunya, suka tawuran dan perilaku kekerasan lainnya.

Jangan pernah menyepelekan soal makanan haram. Makanan haram bukan sebatas yang mengandung lemak babi saja, pisang rebus pun kalau dibeli dari uang hasil curian/penipuan sama haramnya. Makanan masuk ke mulut, ke lambung, dicerna dan diolah, menjadi darah dan daging, berubah jadi energi, merangsang otak berpikir dan hati berkehendak. Itu sebabnya kalau sumber asupannya haram, tak perlu heran jika energi yang keluar tersalur menjadi tawuran, malas berpikir dan belajar, maunya instan saja : nyontek, serta kehendak hatinya pada hal-hal negatif.

Jadi, seperti kata Bambang Widjojanto, kalau kita ingin menghidupkan lagi nilai kejujuran dalam peradaban bangsa Indonesia, mulailah dari keluarga. Suami jujur pada istri, tak ada rekening/ uang “laki-laki” yang disembunyikan tanpa sepengetahuan istri. Orang tua mencontohkan pada anak-anak tentang bagaimana jujur dan amanah, anak tidak boleh ikut menikmati fasilitas jabatan bapaknya. Hati-hati dalam mencari rejeki, lebih baik sedikit tapi halal ketimbang banyak tapi haram. Lebih baik naik sepeda onthel hasil keringat sendiri ketimbang naik mercy hasil korupsi.

Ini bukan tidak mungkin, tapi memang butuh tekad kuat. Agus Chaerudin, pria 35 tahun, seorang office boy di Bank Syariah Mandiri Bekasi, menemukan uang Rp. 100 juta dibalik tempat sampah kantornya tanpa seorangpun mengetahuinya. Agus bisa saja mengambilnya, gajinya sebagai OB kecil, ia masih tinggal menumpang di rumah mertua, apalagi saat itu bulan Ramadhan, tentu uang Rp. 100 juta sangat berarti baginya. Tapi Agus tak berani menyentuhnya, ia memilih mengembalikan uang itu ke kantornya. Ia merasa sudah cukup bersyukur diterima bekerja di sana. “Allah Maha Mengetahui, uang itu bukan hak saya”, kata Agus saat diwawancara sebuah stasiun TV. Bapaknya yang juga pegawai rendahan di sebuah bank, sejak kecil mendidik Agus untuk jujur.

Kalau saja semua orang tua menanamkan hal yang sama seperti orang tua Agus Chaerudin, insya Allah tak akan lagi kita lihat pemandangan memprihatinkan seorang Hakim Agung usia lanjut (70-an tahun) dengan tertatih-tatih dipapah mendengarkan vonis dipecat tidak dengan hormat karena mengubah putusan seorang bandar narkoba. Bagaimana perasaan anak cucunya, usia tua seharusnya tinggal dinikmati dalam kedamaian bersama keluarga. Bagaimana pula perasaan anak-anak yang melihat tayangan sidang ibunya yang duduk sebagai pesakitan kasus korupsi dan si ibu berbohong dalam kesaksiannya.

Alangkah indahnya kalau seluruh elemen bangsa Indonesia menjadikan “BERANI JUJUR HEBAT” sebagai resolusi bersama tahun 2013. Para pedagang mulai yang kaki lima sampai hypermarket jujur pada konsumen. Para pendidik menanamkan dan mencontohkan nilai kejujuran pada anak didiknya. Para Ketua Parpol menindak kader-kadernya yang korup dan menolak semua sumbangan bagi partainya yang tidak jelas asal-usulnya. Tak ada lagi “uang mahar” dalam Pilkada. Para anggota parlemen jujur dan amanah dalam membahas dan menyetujui anggaran negara.

Kalau 14 abad yang lalu Rasulullah Muhammad SAW pernah berkata : “Seandainya Fatimah Putri Rasulullah mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya”, maka alangkah luar biasanya jika Presiden RI berani memecat anggota kabinetnya yang diindikasi korup, memecat anggota partainya yang terlibat korupsi atau yang tak amanah ketika menjadi anggota KPU. Alangkah hebatnya jika Presiden sendiri yang memerintahkan aparat penegak hukum menangkap, mengusut dan mengadili anak buahnya yang diindikasikan tidak jujur. Tentu ini akan mengguncangkan negeri kita, seperti Presiden China yang memerintahkan disiapkan peti mati sejumlah anggota kabinet +1, karena yang 1 disiapkan untuk dirinya sendiri bila terlibat korupsi. Kalau demikian yang terjadi, mungkin kita masih bisa menyongsong tahun politik 2014 dengan optimisme. Semoga saja, ke depan bangsa ini akan lebih baik dan beradab dengan kembalinya kejujuran. Amiiin...

Cilegon, 31 Desember 2012.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun