Mohon tunggu...
KOMENTAR
Foodie

Kuliner Yang Menggugah Seleraku Usai Jogging [WPC-5]

24 Mei 2012   09:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:52 783 4

Boleh dibilang tiap hari saya menyempatkan diri ber-jogging ria,meski tak semua rute saya lalui dengan berlari-lari kecil. Lebih banyak jalan kaki malah, asal dengan langkah yang cepat dan ritme yang tetap. Kalau hari kerja, saya batasi hanya 30 – 45 menit saja durasinya. Tapi kalau weekend, bisa sampai 1,5 – 2 jam total acara jalan sehat saya. Biasanya kalau weekend rutenya saya perpanjang sampai ke stadion milik PT. Krakatau Steel, lalu berputar-putar di area jogging track di Krakatau Junction.

Biasanya setelah sejam jogging, saya lanjut dengan berjalan perlahan di area khusus refleksi kaki dan diakhiri dengan istirahat di saung besar di bagian tengah jogging track, sambil memanfaatkan fasilitas check kesehatan dan konsultasi gratis yang jadi program CSR Rumah Sakit Krakatau Medika. Jadi tiap Sabtu saya bisa memantau berat badan dan tekanan darah saya. Ini salah satu upaya menjalankan gaya hidup sehat tanpa mengkonsumsi vitamin dan suplemen, yang sudah saya jalani selama hampir 1,5 tahun.

Saat berangkat jogging jam 5.30 – 6.00 pagi, saya belum makan, sebab aturannya memang tidak boleh makan sebelum berolahraga. Paling hanya setengah gelas white coffee yang saya minum untuk menghangatkan tubuh. Karena itu, usai jogging dan senam saat weekend, perut saya pasti lapar berat. Padahal, di sekeliling jogging track bertebaran aneka warung, lapak dan rombong dadakan yang hanya bisa ditemui saat akhir pekan atau libur nasional. Maklumlah, di akhir pekan atau ada libur nasional, area jogging track Krakatau Junction berubah jadi sarana rekreasi keluarga. Di situ juga ada play ground dengan berbagai jenis sarana permainan fisik yang melatih syaraf motorik anak-anak usia 3 – 9 tahun. Komplit lah pokoknya!

Nah, bicara soal makanan, disitu makanan apa saja tinggal pilih. Mulai dari cemilan berharga mahal semisal froozen pancake dengan isi durian, blueberry, coklat, dsb atau klappertaart, brownies dan aneka bakery, sampai makanan tradisional yang harganya gopek pun ada. Kudapan seperti batagor, siomay, bakso aneka bentuk dan rasa, sampai makanan kelas berat. Saya pernah mencoba beli tahu campur di lapakmakanan khas Jawa Timuran, tapi sayangnya rasa dan tampilannya sangat mengecewakan. Akhirnya saya kapok makan di situ.

Akhir-akhir ini, saya sudah menemukan lapak favorit yang selalu saya singgahi usai jogging. Semula saya tertarik dengan tulisan “Pecel Pincuk Asli Madiun Rp. 5.000,-“. Saya coba mampir dan pesan, ternyata porsinya sedikit, nasinya hanya sekepalan kecil tangan – mungkin mirip porsi “nasi kucing”. Tapi jangan ditanya rasanya! Nasinya putih dan punel, disajikan hangat,bumbu pecelnya kental dan memang enak, khas Madiun. Sayurannya cuma 3 macam : kacang panjang, taoge dan kangkung. Ditambah lalapan mentah berupa daun kemangi dan biji lamtoro. Sebagai pelengkap ditambahkan sesendok sambal goreng kering tempe dan serundeng. Tahu serundeng kan? Itu lho kelapa yang diparut kasar lalu disangrai sampai kecoklatan, dicampur dengan bumbu-bumbu yang rasanya manis, asem, pedas.

Kalau mau, bisa minta tambahan peyek teri atau kacang, tapi biasanya peyek ini sudah ludes saat saya mampir, tinggal sisanya yang sudah remuk di dasar stoples. Tambahan lainnya ada perkedel kentang, tahu dan tempe goreng, daging empal atau telor asin. Tapi biasanya saya enggan nambah, sebab pernah nambah perkedel, rasanya kelewat asin. Nasi putih plus sayuran dan bumbu pecel, serundeng, lalapan, peyek, itu saja sudah nyamleng (nyaman, lezat, enak, gurih) kok! Porsinya yang kecil membuat pembeli pria biasanya tak cukup hanya seporsi. Saya tak mau nambah porsinya, sebab ingin menyisakan ruang di perut saya untuk “menyelipkan” jajanan kue-kue tradisional.

Sabtu pagi kemarin, saya lihat lapak pecel pincuk Madiun seperti biasa ramai sekali yang antri. Saya pesan, lalu ditinggal sebentar untuk cari “ganjel” perut di rombong sebelah. Ada penjual kue Ape yang biasanya harganya gopek sebiji. Tapi kali ini harganya naik jadi Rp. 2.000,- untuk 3 biji kue Ape. Disitu juga antri, tapi hanya 3 orang. Membuat kue Ape hanya butuh waktu 1-2 menit dan sekali menuang adonan, si Abang membuat 4 kue sekaligus dalam 4 wajan besi kecil yang warnanya sudah sangat menghitam. Saya perhatikan si Abang mulai dari menuang adonan, menutupnya, membukanya kembali semenit kemudian, lalu mengangkatnya dari wajan. Alhasil, tak sampai 5 menit saya sudah kembali ke lapak pecel pincuk Madiun sambil menenteng 3 biji kue Ape. Sambil menunggu pecel pesanan saya tersaji, 3 biji kue Ape fresh from the wajan itu sudah berpindah seluruhnya ke perut saya.

Lapak penjual pecel pincuk ini bisa dibilang unik. Penjualnya adalah satu keluarga ibu –bapak – 3 putri dan seorang putra, yang masing-masing punya tugas. Ibunya – yang orang Madiun asli – meracik bumbu pecel, 3 putrinya meladeni pesanan pecel pincuk dan soto, putranya mencuci sendok kotor dan si bapak menjual wayang. Lho, wayang?! Ya, betul : wayang kulit! Keluarga itu berjualan di atas Suzuki Carry warna hitam yang bak belakangnya terbuka alalu ditutup dengan papan kayu. Bak mobil itu sekaligus berfungsi sebagai meja makan dan tempat lemari pajangan makanan.

Di bagian ujung dekat “kepala” mobil, berderet tergantung aneka tokoh wayang yang diselipkan pada sepotong bambu bulat, seperti pada pagelaran wayang kulit. Ada juga dijual kemeja batik sederhana, tapi jumlahnya hanya 2-3 lembar saja. Sambil makan, pembeli dihibur dengan musik “klenengan” langgam Jawa, yang mengingatkan saya pada acara pernikahan adat Jawa yang sering saya hadiri waktu diajak ortu saat masih kecil dulu. Alunan langgam Jawa yang lembut itu jadi bikin makan makin nikmat! Tak terasa sepincuk sudah habis.

Sesekali, ada peminat yang menawar wayangnya. Harganya yang selangit – maklum asli wayang kulit – membuat tak semua penawar berakhir dengan transaksi jual beli. Kalau saya perhatikan, keluarga itu tampaknya keluarga kelas menengah yang cukup berada. Mungkin saja berjualan nasi pecel pincuk bukanlah profesi utama. Dilihat dari dandanan salah satu putrinya dan putranya, sepertinya berjualan di hari libur itu untuk enjoy saja. Si Bapak bahkan kadang kelayapan ke lapak-lapak lainnya, malahan saya lihat dia berbelanja baju-baju di lapak penjual baju di sebelahnya. Mungkin pasutri ini pensiunan yang cari kesibukan. (ah, sok tau saya, hehehe...).

3 biji kue Ape dan sepincuk pecel sudah ayen menghuni perut saya. Kini saatnya pulang. Tapi sebelum meninggalkan area, saya keliling sebentar mencari jajanan untuk oleh-oleh Ibu di rumah. Cemilan tradisional tentu. Ada kue talam, pastel isi ragout, kue bugis isi enten (orang Jawa menyebutnya kue “mendut”), sedangkan enten adalah kelapa parut yang diberi gula lalu dikukus. Tambah 1 kue lagi biar pas : pie isi fla buah. Meski bukan makanan tradisional, tapi pie berdiameter 5 cm ini enak, adonannya kering tapi flanya lembut. Semua cemilan itu dibandrol harga Rp. 2.500,- perbiji. Ada juga yang harganya Rp. 1.500,-an, tapi tentu rasanya tak seenak yang seperti dalam foto. Ada harga ada rasa.

Nah, sekarang saatnya pulang. Badan sudah berkeringat, perut sudah kenyang, telinga sudah terhibur langgam Jawa, oleh-oleh pun sudah di tangan. Asyiknya kalau tiap hari week end! Dan kalau event WPC-5 dengan thema Food Photography masih diperpanjang sampai 2 minggu, bisa-bisa rubrik kuliner di Kompasiana jadi rubrik yang paling sering dikunjungi. Maklum, para anggota Grup Kampret berlomba-lomba memamerkan makanan kesukaan mereka. Silakan mampir di link-link tersebut untuk melihat parade foto kuliner lainnya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun