Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Toko Emas Tutup di Hari Jumat, Anting Siti Urung Dibeli

13 April 2012   15:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:39 3547 3

Hari ini benar-benar jadi hari yang padat buatku. Sampai-sampai seharian tak sempat buka Kompasiana. Jogging dan jalan pagi yang kulakoni tiap usai sholat Subuh dan mengaji, pagi ini terpaksa kutinggalkan. Pagi ini selesai mengaji aku langsung “ngebut” masak untuk 2 hari, sebab besok rencananya akan ke kampungCipenduy, rumah Siti. Masih ingat Siti kan? Bocah yatim umur 7 tahun yang sehari-hari berjualan bakso keliling kampung dengan upah Rp. 2.000,- untuk diberikan pada emaknya sebagai pembeli beras. Setelah kutulis kisahnya di Kompasiana pada 7 Maret lalu, sumbangan mengalir untuk Siti dari pembaca Kompasiana.

Dulu, sempat aku buat tulisan mewacanakan pemanfaatan dana sumbangan donatur jika seandainya yang berjalan “Plan A” – kalau Siti diambil anak asuh oleh dermawan – relakah donatur jika uang itu dimanfaatkan untuk warga lain di kampung Siti. Ternyata semua donatur yang memberikan jawaban via komentar di tulisan itu atau berkirim inbox message, semuanya menyilakan uang itu dimanfaatkan untuk yang membutuhkan.

Takdinyana, Minggu pagi tanggal 25 Maret lalu, Siti dan ibunya diundang TV One dan saat itu hadir pula seorang pengusaha besar nasional, Bapak Yusuf Hamka, yang langsung memberikan komitmentnya untuk menanggung seluruh biaya sekolah Siti hingga selesai kuliah bahkan menyediakan lapangan kerja untuk Siti. Begitupun ibunya, jika ingin berusaha, Pak Yusuf Hamka akan membantu. Jadi, boleh dikata persoalan ekonomi keluarga Siti dan kepastian jaminan masa depan pendidikan Siti sudah tertanggulangi. Karenanya aku dan Rumah Zakat langsung bertemu pada 31 Maret, untuk membicarakan rencana pemanfaatan dana dari donatur.

Akhirnya, kami sepakat dana yang masuk s/d tanggal 18 Maret akan kami manfaatkan untuk program Siaga Sehat. Ini menjawab curhat Pak Lurah kampung Siti, tentang perilaku hidup sehat dan kesadaran kebersihan yang masih sangat rendah dikalangan warga kampungnya. Kami akan adakan penyuluhan kesehatan dan budaya hidup bersih dan sehat, juga bakti sosial pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis bagi warga kampung di sekitar kampung Siti. Kalau dana masih tersisa akan dipakai untuk PMT (Pemberian Makanan Tambahan) untuk anak-anak kampung.

Sedangkan dana yang masuk setelah itu, kebanyakan dalam jumlah besar, kami akan tetap alokasikan untuk Siti, tapi dengan penyaluran yang “smart” agar tak salah sasaran atau “dimangsa” pihak lain seperti pernah saya ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya. Umumnya donasi yang masuk belakangan dari pembaca tak langsung Kompasiana. Karena tulisan itu di-share ke lebih dari 2100 akun FB dan 170-an akun Twitter, beberapa warga negara Indonesia yang tinggal di luar negeri baru membacanya melalui Facebook 2 – 3 minggu setelah tulisan itu diposting.

Yurina Martin, misalnya, WNI yang tinggal di Belanda ini mendadak membikin akun Kompasiana hanya supaya bisa mengirim inbox padaku. Selain mengirimkan dana pribadi, Yurina juga menggalang dana dari rekan-rekannya di Belanda. Saat pulang ke Indonesia di penghujung bulan Maret, dana yang cukup besar itu ditransfer Yurina. Kebetulan selama ini karena ia tinggal di Belanda, Yurina memang mempercayakan pengelolaan zakatnya via Rumah Zakat Pusat. Nah, dana dari Yurina ini yang kucoba cari jalan keluarnya agar “aman”.

Diskusi dengan Pak Iwan, Manajer RZ Cilegon, beliau terinspirasi ucapan Siti di acara Orang-Orang Pinggiran di Trans7, yang mengatakan ingin jadi anak sholih. Jadi, meski seluruh biaya pendidikan formal Siti sudah dijamin oleh Pak Yusuf Hamka, pihak RZ akan menyalurkan dana dari donatur untuk membiayai pendidikan agama untuk Siti. RZ akan mencarikan guru agama yang intensif mendidik Siti di luar sekolah, secara privat.

Begitu pun pembaca Kompasiana yang tinggal di Singapura, baru membaca tulisan saya akhir Maret, dan langsung menelpon RZ Cilegon dan membuat akun Kompasiana untuk berkirim inbox padaku. Meski sudah kujelaskan bahwa Siti sudah ditanggung oleh seorang pengusaha, Ibu Dewi Hapsari dan suaminya tetap ingin menjadi orang tua asuh bagi Siti dan mengirimkan dananya secara rutin sekaligus 3 bulan sekali. Akhirnya, dana yang dikumpulkan Yurina dan donasi paket beasiswa ceria dari Ibu Dewi ini akan kami simpan dalam bentuk tabungan rencana pendidikan di Bank Mandiri, dengan perwalian pada Rumah Zakat Cilegon. Pihak Bank Mandiri yang ku-loby bersedia membantu, setelah kujelaskan kenapa kami tak bisa memperwalikan tabungan rencana pendidikan itu pada ibu atau kakak Siti. Jadi, Insya Allah dana itu akan aman meski untuk jangka panjang.

----------------------------------------------------------------

Besok pagi, kami akan berangkat ke kampung Siti. Rencana semula jam 10 pagi sudah meninggalkan kota Cilegon agar sore hari sudah sampai di sana. Malamnya kami akan bikin acara mpotivation training untuk ABG dan remaja di kampung Siti. Minggu pagi barulah penyuluhan kesehatan dan pengobatan massal. 3 hari lalu, aku tiba-tiba teringat dengan “anting-anting” yang menggantung di telinga Siti. Bentuknya melingkar seperti umumnya anting anak kecil yang biasanya dipakaikan tak lama setelah mereka lahir. Bedanya : anting-anting yang dipakai Siti hanyalah seutas kawat yang dililitkan ke lubang di cuping telinga Siti.

Kutelepon Pak Iwan, agar dana yang masih tersisa bisa dialokasikan untuk membeli anting-anting emas buat Siti. Kurasa ukuran 2 gram cukuplah. Pak Iwan setuju saja dan menyilakanku untuk membeli sendiri anting yang dirasa cocok untuk Siti. Sementara beliau dan tim-nya menyiapkan seluruh teknis pelaksanaan acara lainnya.

Pagi tadi, disela kesibukanku di kantor, kutelepon Kompasianer Mira Aqila yang kebetulan kantornya tepat di samping area perkantoran grup perusahaanku. Mbak Mira langsung menyambut hangat ajakanku, kami janjian jam 11.45 sudah bertemu di kantornya. Tapi dasar pekerjaanku menumpuk, jam 12-an aku baru sampai di sana. Berboncengan kami menuju mall. Ternyata, sampai di sana toko emas TUTUP! Mbak Mira langsung tepuk jidat, ia lupa kalau hari Jumat semua toko emas tutup. Wah, ini aneh buatku, baru kali ini kudengar toko emas tutup tak berjualan di hari Jumat. Biasanya menjelang weekend, pedagang justru meningkat omzetnya.

Semula Mbak Mira mengira yang tutup hanya toko-toko emas yang buka secara mandiri, tapi toko emas yang berlokasi di dalam mall tetap buka, karena mall tetap beroperasi. Ternyata sama saja : toko emas di mall pun tutup. Entah kepercayaan apa yang dipunyai pedagang emas di kota ini, sampai ada “konsensus” tak tertulis untuk tak membuka outletnya di hari Jumat. Waduh, padahal besok aku harus berangkat sebelum jam 10, gimana neh? Mbak menenangkanku, katanya toko emas di dekat Masjid Agung buka jam 9 pagi, jadi masih keburu untuk membelinya besok.

Urung membeli emas, akhirnya kami mencari baju untuk Siti. Kalau pada kunjungan yang lalu kami melengkapi semua pakaian seragam sekolah Siti, kali ini kami ingin memberinya oleh-oleh pakaian santai. Tak salah aku mengajak Mbak Mira, sebagai “emak-emak” yang punya putri kecil, ia menguasai betul dimana tempat beli baju bagus yang dijual dengan harga diskon gede. Maka berlombalah kami mengubek-ubek box tempat baju-baju itu dijual. Entah karena mataku yang kurang cepat “beredar” atau Mbak Mira yang lihai, selalu saja Mbak Mira yang menemukan baju yang pas ukurannya, bagus model dan warnanya, dan diskonnya pun gede. Mbak Mira memilih 2 stel baju untuk Siti. Giliran mencari jaket anak, aku yang menemukan ukuran yang pas.

Selesai urusan belanja, kami mampir mengisi perut. 2 piring gado-gado dan 2 botol teh dingin menemani kami ngobrol banyak hal termasuk soal Kompasiana. Begitu makanan habis, kami langsung ngebut pulang, sebab jam  2 aku harus ke tempat customer yang lokasinya cukup jauh. Jelang maghrib aku baru tiba kembali di kantor. Lepas maghrib barulah aku pulang ke rumah.

Baru melepas kepenatan di kasur, HP-ku berdering. Ternyata dari Rumah Zakat. Rupanya jadwal keberangkatan diundur karena sebagian relawan dan tenaga medis ada yang baru bisa datang menjelang Dhuhur. Baguslah kalau begitu, aku tak perlu buru-buru beli anting-anting untuk Siti. Rencananya kami akan berangkat jam 1 siang, dengan 3 mobil termasuk ambulance. Rombongan sekitar 15 orang, termasuk dokter, tenaga medis, relawan dan sopir. Diperirakan jam 6 saat maghrib kami sudah tiba di kampung Siti.

Malamnya jam 7-an kami mengumpulkan ABG dan remaja untuk diajak berdiskusi, diberi motivasi dan diputarkan film-film dokumenter yang menggugah dan menginspirasi mereka. Esok paginya, Minggu jam 8 pagi penyuluhan kesehatan sudah akan dimulai dan dilanjut dengan pelayanan kesehatan dan pengobatan, Semula target kami mampu melayani 100 pasien. Tapi karena kami ingin menjangkan 3 kampung yang memang lokasinya berdekatan, maka kami tingkatkan jadi 150 pasien. Diperkirakan Dhuhur seluruh acara selesai.

Semua kegiatan itu akan didedikasikan bagi donatur dan pembaca Kompasiana. Pihak Rumah Zakat Cilegon selaku event organizer sudah menyiapkan spanduk yang bertuliskan “sponsor” acara adalah donatur/ pembaca Kompasiana. Doakan seluruh acara kami sukses ya, Pembaca. Senyum Siti dan warga kampungnya adalah kebahagiaan kita. Kesembuhan warga kampung adalah kelegaan kita. Setidaknya, ber-Kompasiana tak melulu menghasilkan tulisan dan ber-hahahihi semata. Ada manfaat yang bisa kita berikan untuk saudara kita nun di kampung terpencil yang tak pernah kita kenal. Terima kasih untuk keikhlasan dan ketulusan pembaca dan Kompasianer yang telah mempercayakan menitipkan dananya padaku untuk kuteruskan kepada yang membutuhkan bersama Rumah Zakat. Semoga kita masih punya lebih banyak kesempatan untuk terus berbagi dan1. memberi, amiin...

SILAKAN DISIMAK REALISASI BANTUAN DI SINI :

1.  http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/17/donasi-pembaca-kompasiana-satu-siti-dua-ratus-manfaat-bagian-1/

2.  http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/17/donasi-pembaca-kompasiana-satu-siti-dua-ratus-manfaat-bagian-2/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun