Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kunjungan ke Rumah Siti (bag. 3) : Euphoria Kunjungan, Kebahagiaan Siti dan "Kegembiraan" Tetangga

12 Maret 2012   09:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:10 6937 5

PERJALANAN KE KAMPUNG CIPENDEUY

Berangkat jam 9 dengan naik Xenia, perjalanan cukup lancar. Mas Ahmad duduk di depan samping sopir. Saya, Marnie dan Bryan duduk di jok tengah. Sedang Mas Otong bersama barang bawaan di jok belakang. Kami sempat melewati jembatan gantung ala Indiana Jones, yang sempat membuat Bryan langsung berseru baru kali itu dia melihat jembatan macam itu bukan di film. Seisi mobil tertawa mendengarnya.

Jam 12.15, kami memutuskan istirahat sejenak setelah menemukan sebuah masjid di pertigaan jalan yang cukup ramai. Mobil kami parkir di halaman Indomart di seberang jalannya, lalu kami menumpang makan bekal kami di sebuah warung. Hanya membeli kopi dan gorengan, kami bisa duduk dan makan di situ. Sayangnya, saat sebagian dari kami masih sholat, hujan turun sangat deras, sepatu saya basah kuyup di teras masjid. Karena kami mempredikasi hujan bakal lama dan kami masih harus menggotong barang bawaan sebanyak itu menuju kampung Siti, maka Mas Ahmad memutuskan membeli jas hujan ponco untuk kami berenam di Indomart. Jas hujan sekali pakai. Sekitar jam 13.25 kami melanjutkan perjalanan.

Sepanjang jalan yang kami temui hanya hutan kelapa sawit berkilo-kilo meter. Lepas dari hutan sawit, ganti hutan tanaman karet. Lewat hutan karet, kembali deretan hutan kelapa sawit. Akhirnya kami sampai di lokasi kampung Siti dan 2 kampung lainnya sekitar jam 15.20-an. Mobil terpaksa diparkir di halaman sebuah rumah, sebab menuju ke kampung Siti harus melewati jembatan dari kayu gelondongan dilanjutkan jalan kaki sekitar 2,5 km dengan kondisi jalan naik turun yang berbatu-batu tajam dan berlumpur tebal pasca hujan.

Kami berbagi barang bawaan. Mas Ahmad memikul bakul dan sayuran serta aneka dagangan yang beratnya minta ampun deh. Mas Otong menggendong sekarung beras 20 kg di pundaknya. Saya menggendong ransel isi macam-macam hadiah dan oleh-oleh untuk Siti, di tangan kiri membawa tas dan baju seragam Siti. Bryan dan Marnie membawa tas sekolah, alat tulis, 2 kardus kornet dan sembako lainnya. Sopir kami tinggal di lokasi parkiran agar dia bisa beristirahat.

Seperti sudah saya duga, Bryan jadi tontonan sepanjang jalan dan diteriaki anak-anak kampung sambil tertawa-tawa. Kami harus ekstra hati-hati melangkah agar tak tergelincir dan jatuh. Sepatu saya sempat terbenam 2-3 kali di lumpur dan sulit diangkat. Tak terbayang betapa beratnya Mas Ahmad dan Mas Otong dengan bawaannya. Tapi mereka tetap melangkah dengan cepat meski keringat berleleran. Semoga Allah mengganti segala kepenatan mereka.

JURU BICARA DAN PARA PENONTON DI RUMAH SITI

Setelah 30 menit jalan kaki penuh perjuangan, kami tiba di rumah Siti dan di sana sudah ada banyak tamu dari rombongan Facebook dan Kaskus. Kebetulan mereka sudah berpamitan pulang. Gantian kami yang masuk. Di dalam selain Ibu Armiah, Ibunda Siti, sudah ada banyak sekali orang duduk mengitari ruang tamu rumah Siti yang tak bisa dibilang luas. Belum lagi para ibu dan remaja putri yang berdiri berdesakan di depan pintu yang menghubungkan antara ruang tamu dan dapur.

Kami disambut oleh seorang lelaki muda – saya taksir umurnya pertengahan 30-an – yang selama pembicaraan tampak mendominasi forum. Ada juga Pak Heri, lelaki paruh baya yang memang sudah dikenal baik oleh Mas Ahmad saat dia datang untuk survey. Pak Heri ini tetangga yang tinggal persis di sebelah rumah Siti dan sering menjenguk keluarga Siti. Beliau pengrajin anyaman bambu yang tekun dengan profesinya, meski kreatifitas hasil karyanya dihargai sangat murah. Istri Pak Heri sudah 4 tahun lumpuh. Saya akan angkat kisah Pak Heri ini di tulisan lain.

Hanya sebentar Pak Heri menemui kami, lalu ia undur diri. Kini pria muda itulah yang lebih banyak jadi “juru bicara” Ibu Armiah. Saya sebut juru bicara, sebab ia bukannya jadi penterjemah, tapi ia menjawab semua pertanyaan saya yang saya tujukan pada Ibu Armiah, sebelum Ibu Armiah sempat membuka mulut. Ini membuat kami kecewa.

Saya sengaja memperlambat tempo bicara saya tapi mengeraskan volume untuk mengatasi suara gaduh yang mengelilingi rumah Siti. Maksud saya, supaya Bu Armiah punya cukup waktu untuk mencerna ucapan saya. Sebab ia sebenarnya paham bahasa Indonesia, hanya saja sulit untuk menjawab dalam bahasa Indonesia. Marnie yang duduk di samping saya dan Mas Otong yang posisinya di samping Mas Ahmad, sesungguhnya sudah siap jadi penterjemah. Tapi itulah, apapun yang saya tanyakan, tetangganya itulah yang menjawab. Juga seorang remaja putri – yang menurut Mas Ahmad dia sudah pernah kerja di Jakarta – yang duduk di sebelah Bu Armiah, diapun selalu mendahului Bu Armiah menjawab pertanyaan saya.

Ketika saya tanya berapa jumlah bantuan yang sudah diterima Ibu Armiah yang di transfer melalui rekening Pak Tono, lelaki muda dan remaja putri inilah yang dengan lantang menjawab “lima juta!”. Begitupun ketika saya tanya apa saja bantuan dari pihak stasiun TV. Ketika pertanyaan penting saya ajukan : apakh Bu Armiah punya beban hutang? Dengan malu ia menjawab “punya”. Lalu saya jelaskan bahwa kami ingin ke depan Bu Armiah melangkah dengan tenang tanpa terbebani hutang, sehingga hasil berjualan sayuran sepenuhnya bisa untuk biaya hidup. Saya terus terang berapa hutangnya.

Semula Bu Armian menjawab “tiga ratus” (Rp. 300.000,-). Tapi ketika saya minta sekali lagi ia mengingat-ingat jumlah hutangnya, kedua orang itu berbicara dalam bahasa setempat dan Bu Armiah menjawab “tiga ratus enam puluh”. Saya minta Mas Ahmad memberikan Rp. 400.000,- dalam pecahan 50 ribuan. Sebab saya pikir hutangnya terpecah-pecah di banyak pihak. Ternyata, begitu uang Rp. 400.000,- saya berikan padanya, sebagian besar uang itu langsung diberikan pada lelaki muda yang dihadapannya yang sejak tadi menjadi juru bicaranya. Rupanya dia “kreditor” terbesar Bu Armiah.

Sayang sekali, ketika saya tanya apa Bu Armiah bisa naik sepeda onthel, ternyata ia tidak bisa sama sekali. Aduh, kami jadi tepok jidat deh! Mana mungkin kulakan ke pasar jalan kaki? Padahal kami sudah mendesain sepeda onthel yang dilengkapi kerangjang di depan dan kiri-kanan belakang, untuk ransportasinya ke pasar. Kalau naik ojek berap ongkosnya? Sekali lagi yang menjawab adalah si “jubir”. Katanya Rp. 20.000,- sekali jalan, jadi Rp. 40.000,- PP. Walah, mana mungkin bisa untung? Dagang sayuran di kampung kan untungnya tipis, bisa-bisa malah tombok untuk bayar ojek.

Saya sampaikan ke Bu Armiah, sebenarnya rencana kami membinanya berjualan sayuran. Jika dalam 1-3 bulan berjualan sayuran ternyata bisa berjalan baik, akan kami tambah modalnya agar ia bisa nambah berjualan ikan. Kalau terus bergulir, 3 bulan kemudian mungkin akan kami bukakan warung kelontong di depan rumahnya. Memang kami sengaja tidak menyalurkan seluruh bantuan donatur dalam bentuk tunai sekaligus. Kemarin kami hanya memberikan Rp. 500.000,- untuk modal berjualan sayuran sebulan ke depan. Sebab semua kebutuhan hidup sudah kami penuhi untuk 2 bulan ke depan. Pun juga sudah banyak bantuan tunai yang diberikan langsung oleh pihak lain. Kami takut pemanfaatannya kurang maksimal. Apalagi setelah melihat kepolosan, keluguan dan – maaf – “kebodohan” Bu Armiah, yang sangat rawan dimanfaatkan pihak lain yang jeli membidik peluang Bu Armiah yang kaya mendadak.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun