Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

(PARADOKS) Jembatan Ular

24 April 2011   08:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:27 160 5

“Hey!!! Tengok…tengok ini…!” Si Kurabang tampak berlari-lari sambil mengacung-acungkan kertas yang dibawanya ke arah teman-temannya yang sedang berenang di sungai Aek Marancar.

Tampak hampir sepuluh anak seusia Kurabang yang masih SD berenang ke arah batu di pinggir sungai itu. Mereka tampak antusias mendengar teriakan dan kertas yang di bawa Kurabang.

“Huft…huft…” Kurabang terengah-engah.

“Abangku baru datang dari Sidempuan. Kelian tau? Anak uwakku yang aku ceritakan punya televisi yang bisa lihat macam-macam, tak seperti televisi kita.”

“Lihat…lihat ini yang dibawakan abangku. Ada banyak cerita yang dia tulis di sini pakai televisinya itu.”

“Macam-macam. Abang bilang cerita-cerita ini dongeng dari internet si Ana katanya. Untuk anak Indonesia katanya.”

“Kita ini, anak Indonesia kan?” panjang lebar Kurabang menjelaskan.

Hotdi yang duduk di batu menimpali, “Pintar kali Si Ana, banyak ceritanya ya?!”

“Ada cerita kita, Kurabang?” Si Payung kali ini yang bertanya.

Kurabang duduk lesu di pinggir sungai, “Tak ada…”

“Ahhh…” desah yang lain kecewa.

“Apa Si Ana tak tau jembatan yang menuju Tanjung itu?” Tanya Maso

“Belum didengarnya mungkin. Mungkin rumah Si Ana lebih jauh dari Sidempuan. Jadi, tak sampai cerita jembatan itu.” Kata Kurabang.

“Kalau begitu, kau ceritakan sama abangmu. Bilang, ceritakan ini ke Si Ana, supaya Si Ana tau dan diceritakannyalah jembatan itu. Tulis juga nama kita. Kau bilang itu ya ke abangmu.” Ujar Hotdi berapi-api.

“Pulanglah kau sekarang. Bilang ke abangmu!” Si Torang angkat bicara.

Disambut sahutan teman-temannya yang kemudian kembali menceburkan diri ke Aek Marancar, “Ya…pulanglah…”

===

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun