Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

AIDS di Papua Ketika Pemakaian Kondom Melorot Sunat Digenjot

1 Juli 2012   01:58 Diperbarui: 29 Januari 2024   13:29 532 1

Kepanikan mulai melanda beberapa daerah di Tanah Air terkait dengan penemuan kasus HIV/AIDS yang terus bertambah. Ini terjadi karena selama ini kasus yang terdeteksi sangat kecil sehingga pemerintan dan pemerintah daerah menepuk dada. 

Tapi, belakangan itu yang terjadi adalah mengurut dada sambil menarik napas karena satu demi satu kasus terdeteksi. Bahkan, kasus-kasus baru terdeteksi pada ibu rumah tangga dan bayi.

Padahal, sejak awal epidemi kalangan ahli sudah mengingatkan agar semua negara kerja keras menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Bahkan, pada Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik di Melbourne, Australia (2001) Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (badan khusus PBB urusan HIV/AIDS) secara khusus mengingatkan Indonesia pada pidato pembukaan.

Tapi, begitulah. Petinggi negeri ini yang mengikuti kongres itu dengan uang rakyat justru menganggapnya sebagai anjing menggonggong kafilah berlalu. Buktinya, sepuluh tahun kemudian penyebaran HIV, terutama melaului penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) merebak. Indonesia pun menjadi negara ketiga di Asia setelah Cina dan India sebagai negara dengan percepatan kasus HIV/AIDS yang tinggi.

Ketika kalangan ahli mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan, mereka juga sudah mengingatkan bahwa kondom merupakan alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual pada heteroseksual di dalam dan di luar nikah, serta homoseksual (seks anal dan seks oral). 

Celakanya, di banyak negara yang terjadi bukan meningkatkan sosialisasi kondom, tapi menetang kondom. Seperti yang terjadi di Indonesia ’debat kusir’ tentang kondom terus terjadi. Tanpa disadari oleh yang kontra pada rentang waktu ’debat kusir’ penyebaran HIV terus terjadi.

Ketika keberhasilan kondom menjadi alat untuk mencegah HIV pada hubungan seksual di banyak negara, eh di Prov Papua malah diabaikan. Pemerintah di sana justru mendorong penduduk disunat. Ini merupakan tanggapan kepanikan karena tingkat pemakaian kondom yang rendah di Prov Papua (Penggunaan Kondom Di Papua Masih Rendah, www.berita8.com, 30/6-2012).

Dikabarkan, Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Papua, Constan Karma, mengakui, penggunaan kondom di Papua masih rendah karena berbagai alasan sehingga kaum lelaki enggan menggunakannya.

Keengganan laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom, maka kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua pun terus merangkak naik. Angka terakhir menunjukka  12.187,  yang terdiri atas 5.090 HIV dan 7.980 AIDS.

Agaknya, karena laki-laki ‘hidung belang’ tidak mau memakai kondom ketika sanggama dengan PSK, pemerintah di sana pun kemudian mendorong laki-laki disunat.

Padahal, sunat bukan untuk mencegah penularan HIV pada saat terjadi hubungan seksual tapi hanya untuk menurunkan risiko tertular. Ini karena bagian kepala penis mengeras pada laki-laki yang disunat. Namun, celah HIV masuk ke tubuh bukan hanya pada kepala penis, tapi juga pada batang penis. Justru luas permukaan batang penis jauh lebih besar daripada kepala penis.

Maka, tidaklah mengerankan kelak kalau epdemi HIV/AIDS akan meledak di Papua karena laki-laki yang disunat tidak lagi memakai kondom. Mereka mengangap sudah memakai ‘kondom alam’ yatu penis yang disunat.

Masih menurut Karma: "Perlu kerja keras dan peran serta semua pihak agar kondom menjadi kebutuhan khususnya bagi mereka yang berperilaku menyimpang yakni suka berganti-ganti pasangan."

Karma tidak teliti. Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak berganti-ganti pasangan ketika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi atau lokasi pelacuran. Biasanya mereka mempunyai ‘pacar’ di kalangan PSK.

Itulah salah satu penyebab mengapa laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK karena dia tidak melakukannya dengan pasangan yang berganti-ganti.

Dari aspek seks sebagai hasrat birahi berganti-ganti pasangan bukan penyimpangan. Disebut penyimpangan dari aspek moral. Itulah sebabnya persoalan tidak selesai karena fakta empiris ditanggulangi dengan moral.

Di Prov Papua ada lokalisasi pelacuran. Ini bisa dimanfaatkan pemerintah sebagai tempat untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’ melalui hubungan seksual dengan PSK.

Program yang bisa dijalankan adalah mewajibkan setiap laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom jika sanggama dengan PSK. Tapi, diperlukan mekanisme pemantuan yang konkret.

Soalnya, di Kab Merauke dan Kab Mimika yang dikenai sanksi adalah PSK. Ini jelas menyesatkan karena: (a) ada kemungkinan HIV/AIDS pada PSK ditularkan oleh laki-laki asli penduduk lokal, (b) posisi tawar PSK sangat rendah untuk memaksa laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom, (c) laki-laki asli lokal yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Maka, yang dikenai sanksi adalah germo. Kalau seorang PSK dikirim ke penjara atau dipulangkan ke daerah asalnya dengan satu SMS saja germo bisa mendatangkan puluhan PSK baru.

Sayangnya, dalam semua peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS di Papua tidak ada satu pun pasal yang menawarkan cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.

Pertanyaan untuk masyarakat Papua: Apakah kelak gereja atau rumah ibadah lain mau menampung orang-orang yang menderta penyakit terkait HIV/AIDS?

Kalau jawabannya TIDAK MAU, maka Pemprov Papua mulai sekarang sudah harus siap-siap karena segera akan ‘panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun