Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

AIDS di Kota Bukittinggi Nomor Dua di Sumatera Barat

26 April 2011   13:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:22 1301 0

Langkah-langkah yang konkret untuk menekan insiden infeksi HIV baru di hulu ternyata belum menjadi program penanggulangan HIV/AIDS. Seperti di Kota Bukittingi, Sumbar, ini misalnya, disebutkan menurut data Komisi Peduli AIDS (KPA) Sumbar bahwa sudah terdeteksi 144 kasus kumulatif HIV/AIDS yang menempatkan kota itu sebagai nomor dua di Sumbar dengan kasus HIV/AIDS terbanyak setelah Kota Padang. Disebutkan: “Untuk mengantisipasinya, sudah ada klinik HIV/AIDS di RS Achmad Muchtar.” (Kota Bukittinggi. 144 Orang Terindikasi Positif, Harian “Padang Ekspres”, 23/04-2011).

Untuk apa klinik tersebut? Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Bukittinggi, Syofia Dasmauli, untuk mempermudah menjangkau komoditas (maksudnya mungkin komunitas-pen.) penderita HIV/AIDS. Bagaimana caranya klinik menjangkau kumunitas penderita HIV/AIDS?

Orang-orang yang sudah terdeteksi HIV secara otomotis akan terus berhubungan dengan klinik karena berbagai keperluan, seperti pengambilan obat antretroviral (ARV), tes CD4, dll.

Yang menjadi persoalan besar justru mendetek penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Faktanya dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.

Disebutkan: “Tidak usah malu dan takut, karena identitas pasien dirahasiakan.” Yang menjadi masalah besar pada epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Tapi, pada rentang waktu itu sudah terjadi penyebaran HIV tanpa disadari.

Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Kota Bukittinggi, pertanyaannya adalah: Apakah DKK Bukittinggi bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Bukittinggi, asli atau pendatang, yang melakukan perilaku berisiko di Bukitttinggi atau di luar Bukittinggi?

Perilaku berisiko adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, jalanan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai.

Perilaku berisiko bisa terjadi di mana saja dan kapan saja biar pun tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran. Soalnya, bisa saja praktek pelacuran terjadi dengan PSK tidak langsung. Di Sulawesi Selatan, misalnya, penyebaran HIV justru didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/).

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada risiko penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemkot Bukittinggi yaitu penyebaran HIV melalui hubungan seksual. Dalam kaitan inilah Pemkot harus melakukan intervensi agar penyebaran HIV bisa ditekan (Lihat Gambar). Penyebaran HIV di Sumbar erat kaitannya dengan perilaku seksual penduduk (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/01/aids-di-sumatera-barat-tergantung-pada-perilaku-seksual-penduduk/).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun