Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Orang Tua dan Skeptis Masa Depan

23 November 2018   11:05 Diperbarui: 23 November 2018   12:04 169 8
Terbaring lemah di ranjang. Kata hanya patah sepatah. Tak daya makanpun hanya dua suap sendok bubur nasi. Bertahun sakit terkadang sembuh sesaat kumat lagi dan kini sudah sebulan lunglai sampai buang hajat di tempat tidur.

Dulu masih gesit kerja sampai lupa menjaga kondisi badan agar bugar. Seharinya bekerja, ibadah dan bekerja mewujudkan mimpi agar hidup sekeluarga berkecukupan tanpa harus kurang makan untuk istri dan tujuh anak titipan tuhan.

Kini aku yang tinggal bersama ibu untuk merawat bapak karena enam saudara lainnya sudah sibuk mengurus rumah tangga sendiri. Sesekali menjenguk tapi apa yang mau diharap, toh.... mereka sudah punya tanggungjawab yang mungkin lebih penting sekedar merawat orang tua.

Sendiri, sudah biasa dengan aroma tak sedap membersihkan dan mengganti popok. Jijik, tapi harus! Siapa lagi?. Bisa jadi ini pengabdian terakhirku untuk bapak. Semua ada hikmah tak harus bertanya, mengapa?

Ketika senja hanya tinggal senja dan malam berlarut dalam lamun. Merajuk aku masih punya mimpi yang harus kugapai. Ada sekeping harapan kukejar yang menjadi doa dan penyemangatku. Aku tak harus tinggal di sini, mimpiku diluar sana, jauh ribuan mil kan meninggalkan rumah.

Sering keraguan menumpuk di bathin, bagaimana nanti saat bapak telah tiada dan mamak sendiri di rumah. Apa aku harus melalang dengan ego dan mimpi yang masih tampak kabur. Ribuan hari terlewati membuat berpikir dan seribu tanya bermuncul. Apa aku harus?

Terkadang membiarkan hari berlalu dengan pasrah, mungkin tuhan yang kan memberi jalan atau tuhan pun cukup diam. Merajut atau membuang mimpi, yang kutahu saat ini hanya ini yang harus kulakukan. Hmm.....  sepertinya harus sabar dan doa yang kan mengantar mimpi dan tidur nyenyakku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun