Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Perlunya Revolusi Fiqih Islam

2 Mei 2015   13:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 196 0


Pada zaman Nabi dan beberapa generasi setelahnya yang dinamakan fiqih adalah pengetahuan atau pemahaman. Artinya fiqh bisa mencakup berbagai macam ilmu pengetahuan, seni, dan rekayasa termasuk berbagai hal yang berkaitan dengan wahyu Ilahiyyah yang bersifat ritual, misalnya. Dengan demikian kajian-kajian apapun yang berkaitan dengan fenomena di alam (pengetahuan alam dan sosial) juga bisa dikatakan sebagai bagian dari fiqih. Tidak heran jika ratusan ilmuwan adalah ulama dan ulama adalah ilmuwan, istilahnya. Mulai Ali bin Abi Thalib yang jago ilmu logika, matematika, dan biologi, Umar bin Khattab sang pakar ekonomi makro, Aisyah yang cerdas dalam hal sosiologi, atau misalnya Bukhari dengan sistematika penyusunan basis data tematik yang diterapkan dalam Shahih Bukhari-nya, demikian pula dengan Ibnu Sina seorang ulama yang juga ahli kedokteran, farmakologi, dan sanitasi lingkungan, juga Ibnu Rusyd seorang ulama yang juga pakar fisika (bahkan sudah menemukan konsep dispersi cahaya jauh sebelum ditemukan Newton), dan ratusan bahkan ribuan lagi orang semacam itu.

Akan tetapi dalam perkembangannya, fiqih mengalami kemunduran drastis dimana saat ini fiqih hanya sebagai cabang kecil dari sebuah pohon pengetahuan yang sangat besar. Saat ini jika kita mencari buku yang berkaitan dengan kata fiqih, maka yang kita dapatkan adalah buku tentang tata cara menjalankan ritual dalam Islam (fiqih 'ibadah), atau teori dasar politik pada beberapa madzhab tertentu saja (fiqih siyasah), dan beberapa cabang fiqih lainnya. Hal ini tentu saja sebagai akibat dari pendangkalan makna dan peranan al Islam.

Pada zaman Nabi, al Islam bukanlah sebuah agama melainkan dipandang sebagai sebuah konsep dan aplikasi tatanan global sebagai gerakan pembaharuan dan koreksi atas skema tatanan yang sudah ada sebelumnya yang saat itu didominasi oleh faham teologi Paulus (dikenal dengan Kristen), faham Yahudi (yang tentu saja berbeda dengan risalah yang pertama dibawa nabi Musa), dan faham materialisme ala Majusi. Dengan demikian al Islam mampu bergerak secara cekatan dan menyerap, mengadopsi, dan mengkaji ulang berbagai pemikiran, pemahaman, filsafat, hingga inovasi teknologi. Maka tak heran banyak pemikir yang sudah tercerahkan dengan adanya al Islam, mampu dengan mudah menganalisis kembali sains, seni, dan teknologi Yunani kuno, Romawi, Mesir kuno, Mesopotamia, hingga India kuno dan terus dikembangkan, dimana sebelumnya berbagai pemikiran dan temuan sains banyak dibunuh oleh rezim Konstantinopel (Romawi Timur) dan kekaisaran Persia, sebagai dua adidaya dunia waktu itu.

Saat ini karena fiqih hanya sebatas kajian ritual ibadah, maka banyak SDM yang tidak tertarik untuk mengkajinya. Apalagi kalangan yang ber-IQ cerdas lebih tertarik untuk studi di berbagai perguruan tinggi favorit dan mengambil berbagai jurusan yang sama sekali tidak berani "dikaitkan" sebagai fiqih, apalagi disebut fiqih Islam. Ada celoteh yang bilang kalau tidak lama lagi berbagai jurusan syari'ah (fiqih) semakin sedikit peminatnya, dibandingkan jurusan-jurusan sains, seni, dan teknologi. Tapi memang begitulah fenomenanya. Sehingga tidak heran juga jika banyak mahasiswa ITB, UI, IPB, atau Unpad misalnya belajar tentang al Islam secara kurang terprogram bahkan seketemunya. Mereka belajar tentang al Islam cuma dari ceramah-ceramah dan kajian-kajian secara dilklat. Dan yang ironis adalah para penceramah itu bisa dibilang mungkin belajar fiqih tidak sebagaimana halnya belajar fiqih ala zaman Nabi dan masa keemasan dahulu.

Penyalahgunaan pun kerap terjadi, dimana misalnya seorang mahasiswa umum di ITB, UI, dan perguruan tinggi sejenis lainnya, yang baru belajar Islam yang sialnya belajar ke orang yang tergolong "preman berbaju ustadz". Mereka digiring kepada ekslusifisme dan belajar Islam secara "teknik sel". Mulai dikenalkan konsep "ini kita dan itu mereka", atau mulai dikenalkan mana kawan dan mana musuh abadi secara fanatik. Ini sangat mirip dengan cara PKI dalam mendoktrin kader-kader nya. Seringkali kita lihat mahasiswa yang baru belajar ngaji langsung main pakai celana cingkrang, memelihara jenggot, dan menjadi susah bersosialisasi alias cuma jago kandang di masjid jama'ahnya saja, bahkan tidak segan-segan meledakkan bom bunuh diri yang mencelakai warga sipil. Fenomena ini sudah barang tentu perlu dikritisi lebih lanjut. Kalau saya bandingkan dengan mahasiswa UIN yang rata-rata pernah belajar Islam sebelumnya di madrasah dan pesantren, rata-rata jauh lebih enak untuk diajak bicara tentang Islam. Meski demikian tentu saja IQ mahasiswa UIN secara umum berbeda dengan mahasiswa ITB atau Unpad.
Ulama pada dasarnya adalah ilmuwan, dan ilmuwan pada dasarnya adalah ulama... karena pengertian keduanya adalah sama... begitu seharusnya kalau menurut saya lho...

Saya teringat bagaimana Mohammad Natsir berusaha mempersatukan agama dengan sains, kalau beliau istilahkan mempertemukan timur dengan barat, dimana fiqih dapat dipandang sebagai sesuatu yang sangat luas, bisa dipertanggungjawabkan, serta membawa kemaslahatan bagai seluruh manusia dan alam. Memang hal ini memerlukan sebuah Organizer yang kuat dan handal, dimana tadinya saya cukup berharap kepada ICMI, hanya saja entah karena kesibukannya jadi belum bisa terealisasi secara masif. Revolusi Fiqih Islam memang sudah harus dimulai dan dilanjutkan agar jangan sampai Islam menjadi bahan tertawaan karena sudah tidak mampu lagi memberikan solusi dalam kehidupan manusia sebagai pribadi dan peradaban. Islam bukanlah sekumpulan tafsir yang didominasi oleh dongeng-dongeng.

# wilujeng wayah kieu

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun