Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Mahasiswa Revolusioner: Cangkir dan Teko

23 Maret 2012   03:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:36 158 0
Mahasiswa revolusioner merasa kesal bukan main. Sudah menjelang UTS tapi ia tetap tidak memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan padanya. Ia pun curhat dengan temannya.

"Aku gak mengerti maksud filsafat. Semua yang dipelajari ini sebenarnya kan hal-hal yang sudah terungkap yang bisa dijelaskan melalui sains. Teologi juga bisa, biologi juga bisa. Jadi kita seperti menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya. Tidak efektif." Gerutunya.

"Contohnya, pertanyaan apakah Tuhan itu, bukankah sudah banyak agama yang menjelaskan apa itu Tuhan? Lalu Kosmologi, bukankah sains juga sudah bisa menjelaskan melalui teori relativitas tentang apa itu alam semesta? Filsafat manusia lagi, mengenai kecerdasan, hakikat manusia ... itu semua kan biologi."

Temannya menanggapi, "kau datang ke sini kan untuk belajar filsafat, bukan belajar sains atau agama."

Mahasiswa Revolusioner mengelak, "lha, kan tujuan filsafat untuk mengembangkan sains dan agama? Dari berkesadaran, kita bersikap kritis, dari bersikap kritis, kita bisa menyelidiki. Hasil dari penyelidikan itu adalah sains dan agama. Jadi gak penting banget lah."

"Begini yah ..." si teman jadi tertarik untuk berdebat. "Pertama-tama, kau tidak tahu bahwa disiplin tiap ilmu itu berbeda. Anthropologi mempelajari manusia berdasarkan kebudayaannya. Psikologi secara kejiwaan, Sosiologi dari aspek sosial, sedangkan sains seperti fisika, kimia, dan lainnya itu memiliki tujuannya sendiri demi manusia. Filsafat adalah sesuatu yang mendasar. Kita menyelidiki hakikat dari sesuatu untuk kemudian dirasionalkan. Buatku ini adalah ilmu yang melatih pemikiran kritis dengan dasar yang kuat."

Si Mahasiswa Revolusioner menggelengkan kepalanya, "tetap saja tidak berguna."

Mendengar tanggapan itu, si teman lalu bergumam sendiri, "cangkir yang terisi penuh memang tidak akan mungkin bisa menerima berkah dari teko."

"Hei, aku dengar itu."

Akhirnya si teman pun menjelaskan, "tujuan cangkir datang ke teko adalah untuk diisi. Tapi bila si cangkir dalam keadaan penuh, ia takkan bisa menerima pemberian teko. Akan luber kemana-mana."

Mahasiswa Revolusioner menyanggah, "logika dari mana itu? Bisa lah. Coba ada cangkir penuh berisi teh, kemudian ia minta diisi teko yang berisi kopi. Teh akan luber keluar dan isinya berganti dengan kopi. Bisa kan?"

Si teman mengembangkan lagi alegorinya. "Tapi yang terjadi di sini sekarang adalah; cangkir yang penuh berisi teh datang pada teko yang berisi kopi. Tapi cangkir tidak mau menerima kopi yang terdapat dalam teko itu karena ia mempertahankan teh di dalamnya dengan cara mengkritik kopi.

"Air itu harusnya bening seperti teh,

harusnya merah seperti teh,

harusnya rasanya segar seperti teh,

cairan apa sih itu, hitam, pekat, kental dan beraroma lain dari teh?

ubah dulu kopi itu jadi memiliki ciri-ciri teh, baru akau mau diisi olehnya."

Kau tidak akan kemana-mana, sob! Percuma kau ada di sini."

si Mahasiswa Revolusioner tentu saja tersinggung. "Loh, memangnya salah kalau aku suka sains? Memangnya aku gak boleh punya pemikiran seperti scientist?"

Si teman merenung sebentar. Lalu ia menjawab, "sayangnya, kau tidak berpikir seperti seorang scientist. Kau hanya seseorang yang mempertahankan apa yang selama ini memenuhimu saja. Bila definisi inteligensi adalah sebuah faktor yang memengaruhi pemahaman seseorang, maka kusimpulkan bahwa berwawasan luas belum tentu berinteligensi."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun