Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Laki-Laki dari Masa Depan

26 Oktober 2022   10:30 Diperbarui: 26 Oktober 2022   10:56 266 4
 Jakarta, 2022

Konon katanya ruang praktik tata boga di SMK Wanita Widuri berhantu. Jika biasanya hantu akan keluar di malam hari, hantu di ruang praktik tata boga akan bermunculan di siang hari. Anehnya, mereka hanya akan muncul setiap hari rabu setelah kelas 11 TB-A selesai praktik memasak. Sebenarnya, belum ada siswi yang melihat jelas sosok hantu itu. Tetapi santer terdengar kalau penunggu ruang praktik adalah hantu kuntilanak merah yang kelaparan.

Kejadian demi kejadian aneh bermunculan. Di mulai dari hilangnya sample kue kering yang tidak pernah meninggalkan jejak, suara bersin, piring dan gelas yang berpindah tempat serta keran air yang tiba-tiba menyala.

Para siswi bernyali besar memberanikan diri untuk melakukan aksi uji nyali seperti salah satu acara ragam televisi swasta. Mereka ingin membuktikan eksistensi mahluk astral yang meresahkan sekolah dua bulan belakangan ini. Banyak dari mereka merekam dan membagikan pengalaman horornya ke laman sosial media, entah cerita yang mereka unggah sungguhan atau cerita yang sengaja dikarang. Peminat cerita horor di Indonesia memang banyak, sehingga cerita semacam itu bisa cepat melebar luas. Viralnya konten salah satu siswi membuat rumor ruang praktik tata boga berhantu semakin terkenal di kalangan masyarakat. Banyak warganet yang penasaran ingin membuktikannya sendiri. Bahkan hari ini sekolah kedatangan lima orang pria yang menenakan baju hitam seragam. Mereka terlihat keluar dari ruangan Pak Kepala Sekolah menuju ruang praktik yang sedang viral tersebut.

“Itu siapa?” tanya Resha yang sedang asik membaca komik Mr. S edisi 8 sembari mengupas kulit kuaci di kursi panjang depan kelas.

“Kamu nggak tahu mereka siapa?" mata Lastri mebelalak kaget tak percaya. "Serius, Sha?"

Resha mendengus kesal. “Kalau orang tanya, mbok ya dijawab. Lagi pula apa ruginya kalau aku nggak tahu mereka.”

Lastri mengerucutkan bibirnya. "Ya nggak ada sih. Habis kamu itu apa-apa gak tahu. Mereka itu geng Lima Pemburu Hantu yang terkenal di tiktok.”

 “Tiktok?” Resha berusaha mengingat kata itu. “Ah, aplikasi yang suka dipakai Luna untuk joget-joget itu ,ya?”

Lastri mendengus pelan. “Jangan salah. Sekarang tiktok bukan cuma untuk joget-joget aja. Banyak konten yang informatif juga lho di sana.”

Resha mengangkat kedua bahunya. Berbeda dengan remaja seusianya, ia memang tidak suka bermain sosial media. Tidak ada alasan khusus, ia memang tak begitu tertarik. Kalau saja tugas seni prakarya tidak di upload ke facebook, Resha pasti tidak akan mendaftar. Selain facebook, ia tidak punya akun sosial media yang lain. Karena hal itu banyak teman kelasnya yang menganggap dia kutu buku dan gaptek. Biar sajalah, Resha juga tidak peduli dengan anggapan orang lain tentangnya.

Resha adalah murid kelas 10 TB-B jurusan tata boga. Dari kecil dia sudah tidak asing dengan pembuatan kue dan roti karena keluarganya memiliki usaha toko kue di stasiun dekat rumah. Ia masuk kejuruan tata boga agar bisa mengembangkan usaha keluarga yang sudah turun menurun agar makin sukses dan maju. Jika memiliki waktu luang, ia lebih memilih membaca buku dan membantu sang Ibu menjaga toko dibandingkan bermain gawai.

Setelah bel pulang berbunyi, tidak sengaja Resha berpas-pasan dengan Lima Pemburu Hantu. Mereka terlihat kecewa, mungkin apa yang mereka cari tidak mereka dapatkan. Lagi pula Resha tidak percaya dengan keberadaan hantu, bisa saja kan selama ini ada orang yang iseng agar rumor ini menyebar. Buktinya sampai saat ini tidak seorang pun yang benar-benar melihat hantu penunggu ruang praktik tata boga.

Namun hari ini, rasa pensaran Resha tiba-tiba saja menggebu. Ia berniat pergi untuk melihat sendiri situasi di sana.

Ruang praktik tata boga terletak di pojok lantai satu dekat gudang penyimpanan kursi dan meja rusak yang bersebrangan dengan perpustakaan. Karena lokasinya berada di ujung dan dekat perpustakaan, maka lantai ini jarang dilewati oleh banyak orang.

Resha berjalan dengan penuh percaya diri. Angin semilir yang berhembus menghempas rambut dan masuk ke sela tengkuk leher membuat bulu kuduknya berdiri. Rasa takut sudah bergelayut di dadanya, ia hampir ciut ingin kembali. Namun saat itu, rasa takutnya seperti hilang ditelan rasa penasaran, sehingga ia tetap melanjutkan misinya.

Ruang praktik tata boga memiliki ukuran 10x20 meter yang mampu menampung 25 peserta didik meliputi; ruang praktik dapur latih, ruang praktik dapur produksi, ruang praktik persiapan, ruang praktik tata hidang, serta ruang penyimpanan dan infastruktur. Setiap ruang memiliki fungsinya masing-masing.

Pintu ruang praktik tidak tekunci, Resha mengintip dari balik daun pintunya terbuka lebar. Suasana ruang praktik sunyi dan sepi, sudah tidak ada orang lagi di sini. Lampu ruangan masih menyala, wangi kue yang menggoda perut lapar juga masih tercium seperti menari-nari menggoda indra penciumannya. Ah, sial, perut Resha jadi keruyukan.

Masuk ke dalam ruangan, ia melihat sapu tergeletak di samping pintu, lalu sengaja membawanya. Jaga-jaga saja jika nanti terjadi sesuatu yang membahayakan. Ia berjalan dengan langkah hati-hati, menelusuri setiap celah ruangan untuk mencari hantu atau apa pun itu.

Sepuluh menit berkeliling ke tiap sudut ruangan, Resha masih tidak menemukan apa-apa. Seperti Lima Pemburu Hantu, ia pun kecewa dan berpikir sudah membuang waktu yang berharga. Tetapi tak apa, Rasa penasarannya jadi lunas dibayar tuntas. Namun, saat ia berniat keluar ruangan untuk pulang, tiba-tiba saja suara seseorang mengagetkannya.

“Mau sampai ini cewek keliling? Nyari apaan sih dia sebenarnya?"

Tubuh Resha menegang, kakinya gemetaran. Ingin teriak tidak bisa, melangkah juga rasanya berat, apalagi berlari. Dengan sisa kewarasan, Resha memberanikan diri memutar tubuh ke sumber suara. Seorang anak laki-laki mengenakan seragam sekolah asing sedang berdiri tepat di belakang Resha. Padahal ia yakin betul jika di ruangan ini tidak ada siapa-siapa. "K-kamu siapa?" Resha menelan ludah berkali-kali. Ragu-ragu dia melihat kaki laki-laki itu, syukurlah masih napak di tanah. Dia manusia, pikirnya.

“Ka-kamu?” Kini laki-laki itu sama kagetnya. Dia menunjukan jari telunjuk ke arah wajah Resha gemetaran.

Resha langsung mengubah wajah ketakutannya. "Oh, jadi selama ini kamu yang iseng ngerjain anak-anak. Pura-pura jadi hantu segala lagi!" tuduh Resha tanpa memberikan pemuda itu kesempatan bicara. “Aku akan melapor kejadian ini pada pihak sekolah, kalau ada murid dari sekolah lain menyelinap masuk ke sini.”

“J-jangan!" Pemuda itu menggeleng cepat. “Please,” ujarnya dengan tangan memohon.

“Kamu mau mencuri makanan, ya?” Tangan Resha bersidekap, matanya memicing curiga.

“Demi Tuhan bukan,” elak pemuda itu cepat. “Dengerin penjelasan aku dulu.”

Sebenarnya Resha tidak perlu mendengar penjelasan laki-laki itu. Dia sudah tertangkap basah dan dipastikan bersalah. Mana ada maling mengaku, yang ada penjara bisa penuh. Jadi selama ini firasatnya benar kan, kalau rumor yang selama ini beredar di sekolah tidak benar. Alih-alih kuntilanak kelaparan, ia malah mendapati brandalan iseng.

Laki-laki itu terus memohon agar tidak dilaporkan, dahinya sudah bercucuran keringat ketakutan. Padahal dia terlihat seperti laki baik-baik, memang benar, jangan menilai seseorang dari penampilannya.

“Aku mohon. Aku bisa jelaskan ini semua.”

Pertahanan Resha runtuh juga. Meski tak ada gunanya percaya lebih, akan tetapi mendengarkan penjelasannya juga bukan suatu hal yang buruk. “Kau hanya punya waktu lima menit. Jadi apa tujuanmu ke sini? Ini kan sekolah khusus perempuan.”

Wajah laki-laki itu sedikit lebih lega. "Tapi janji kamu harus percaya sama apa yang akan aku ceritakan." Wajah pemuda itu terlihat serius. Dia tidak terlihat sama sekali bercanda atau berusaha mengelabui Resha.

      Dahi Resha bekerut sangsi. “Orang gila mana yang percaya begitu saja dengan orang asing seperti kamu?”

“Nah.. kalau begitu, jangan anggap aku orang asing.”

Resha menggeleng kepala tak percaya dengan apa yang laki-laki itu katakan. Namun, lagi-lagi rasa penasarannya jauh lebih besar dari rasa curiganya. Ia akhirnya mengalah lagi.

“Janji?” ujar laki-laki itu memastikan.

Resha mengangguk kecil.

“Perkenalkan, namaku Dimas. Aku datang dari masa depan.” Ia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi-gigi yang rapih.

Seketika mata Resha berkedip cepat, bibirnya menganga, serta kepalanya menggeleng tidak percaya. Resha tidak tahu harus merespon bagaimana selain tertawa saat mendengar omong kosong laki-laki yang bernama Dimas itu. Ya Tuhan apalagi ini, pikirnya.

Resha tertawa terbahak-bahak sampai mukanya merah seperti udang rebus. Bagaimana bisa pemuda itu datang dari masa depan? Meski dia menyukai komik bergenre fantasi seperti Mr. S, namun tetap saja Resha masih waras untuk tidak percaya ini benar-benar terjadi di dunia nyata. Mr. S karya Stefani Wang menceritakan pria dari masa depan yang datang untuk menyelamatkan istrinya di masa lalu. Jangan bilang alasan Dimas kemari untuk menemui wanita yang dia cintai.

“Kau tertawa?” Dimas terlihat tersinggung. “Terang-terangan sekali. Padahal tadi kau sudah berjanji akan percaya dengan apa yang aku katakana.”

Tawa Resha semakin lama semakin kecil. Ini seru dan begitu menghiburnya, karena laki-laki itu masiu tidak ingin mengakhiri omong kosongnya. “Maaf, maaf. Wajar saja, ini pertama kalinya aku menemui seseorang dari masa depan. Lalu, apa tujuanmu datang ke sini?”

Dimas menghembuskan napas berat, matanya terlihat berkaca-kaca, sepertinya ia begitu sedih untuk menceritakannya.

“Kamu, menangis?” Resha melihat bulir-bulir putih itu jatuh di sela mata Dimas.

“Nggak.” Dimas menggeleng dan langsung menghapus air matanya. “Aku hanya sedang rindu seseorang dan kemari untuk menemuinya.”

Seharusnya Resha tertawa karena jawaban Dimas sama seperti tebakannya. Ini seperti alur cerita komik Mr. S yang dia baca. Tetapi ia urungkan niat sebab wajah Dimas sungguh sendu, ia terlihat sungguh-sungguh dengan apa yang ia katakan. Diam-diam Resha mulai bersimpati, terlepas dari apakah yang ia ceritakan sungguhan atau hanya sekedar bualan semata. Bagaimana bisa ada seorang laki-laki yang tulus mencintai seseorang di dunia nyata.

“Kamu pasti masih mengira aku sedang bergurau. Tapi aku berani bersumpah, kalau aku tidak berbohong.”

Resha menggaruk pelipis mata. "Awalnya aku sulit percaya," jawab Resha jujur. “Tapi entah mengapa, instingku bilang kalau kau berkata jujur. Dan aku mencoba untuk percaya, meski logikaku tak sampai ke sana.”

Dimas tersenyum lembut. Memang tak akan mudah meyakinkan seseorang, apalagi ia tidak bisa memberikan banyak bukti. Tak apa, yang terpenting perempuan dihadapannya ini mau berbaik hati tak melapor ke pihak sekolah dan mencoba untuk percaya.

“Terima kasih, Resha Anindya.” Dimas menyipitkan mata, membaca nametag di seragam Resha. “Oia, hanya memperingatkan, lusa nanti kamu jauh-jauh dari toko fotokopi dekat sekolah, ya?”

“Hah? Memang kenapa?”

Dimas tidak menjawab, dia hanya tersenyum menatap Resha penuh arti.

Setelah percakapan mereka sore itu, Resha pamit pulang lebih dulu. Resha merasa sudah tidak ada yang perlu dia bicarakan lagi dengan Dimas. Biar saja dia menikmati waktunya di ruang praktik tata boga seorang diri.

***

Resha menarik kata-katanya. Dia harus bertemu lagi dengan Dimas.

                Kemarin sore toko fotokopian dekat sekolah kebakaran. Menurut berita lokal yang Resha baca di koran, kebakaran itu diakibatkan karena korsleting listrik. Untung saja petugas pemadam kebakaran cepat tanggap, sehingga api cepat padam dan tidak ada korban jiwa. Resha yakin, peringatan Dimas kemarin berkaitan dengan peristiwa tadi. Ia sengaja ingin membuat Resha percaya dengan kata-katanya.

Akhir pekan terasa lebih lambat, padahal Resha sudah tidak sabar ingin cepat berganti minggu. Meski ia benci hari senin, ia ingin hari itu cepat berlalu dan bertemu hari rabu. Resha benar-benar tak sabar bertemu Dimas lagi.

Hari rabu tiba . Setelah bel pulang berbunyi, Resha segera bangkit dari kursi lalu berlari menuju ruang praktik tata boga. Seperti minggu lalu, suasana ruangan sudah sepi. Ketika ingin melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan, Resha mengurungkan niat. Ternyata di dalam kelas masih ada Bu Rini—guru praktik tata boga yang sedang hamil enam bulan—ia terlihat sedang duduk mencatat sesuatu di meja guru. Resha terpaksa harus menunggu di perpustakaan sampai Bu Rini pergi.

Sepuluh menit berlalu, dari jendela perpustakaan Resha melihat Bu Rini sedang berjalan keluar meninggalkan ruang praktik tata boga. Bu Rini berjalan melewati lorong demi lorong hingga tubuhnya tidak terlihat lagi. Setelah memastikan keadaan aman, Resha segera berlari keluar dari perpustakaan menuju ruang praktik.

Pintu ruangan tidak terkunci seperti biasa, Resha mengendap masuk ke dalam sambil mengawasi situasi. Ternyata tidak sulit menemukan Dimas. Ia sudah berada di kursi guru sambil memasukan kue kering sample ke dalam saku seragam SMA-nya.

“Kau pasti sudah tahu tentang kebakaran itu, kan?” Resha bertanya tanpa basa-basi. “Bagaimana bisa?”

Dimas tidak nampak terkejut dengan kedatangan Resha seperti kali pertama. Setelah selesai dengan aktifitasnya, ia melambaikan tangan menyuruh Resha duduk di sampingnya.

Resha berjalan mendekat sambil berkata, “Kenapa nggak jawab petanyaan aku?”

“Hmm.” Dimas menggumam. “Sudah aku bilang, karena aku dari masa depan. Bahkan kejadian kebakaran itu dimuat di koran lokal. Benar, kan?”

Resha menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangan. "Gokil. Kamu benar-benar dari masa depan."

Dimas merdecak kesal. “Ternyata kau masih tidak percaya padaku."

Resha mengerucutkan bibir sembari menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Tapi wajar saja kan dia tidak percaya, semua ini benar-benar seperti cerita fiksi yang ada di novel dan film fantasi. “Maaf, hehe. Bagaimana caranya kamu bisa menjelajah waktu?”

“Ada toko kue ajaib di stasiun dekat sekolahku. Penjaganya seorang anak perempuan berusia sembilan tahun yang sudah ditinggal Ibunya meninggal dunia. Saat aku sedang melamun merindukan seseorang, tiba-tiba saja anak itu menghampiriku, lalu menawarkan aku kue ajaib yang bisa membawaku ke masa lalu. Awalnya aku tidak percaya. Namun akhirnya aku percaya juga. Lihat saja, aku benar-benar bisa kembali ke masa ini,” jelas Dimas.

“Maksud kamu, ini seperti keajaiban?” Ekspektasi Resha ketinggian. Ia kira Dimas menggunakan teknologi canggih untuk datang ke sini. Ternyata di masa depan, alat pejelajah waktu pun belum ada.

“Begitulah.”

Pada awalnya juga Dimas terkejut saat mengetahui bahwa Resha bisa melihat dirinya. Padahal selama ini tidak ada seorang pun yang bisa melihat eksistensinya di ruang ini. Entah mengapa rumor ruang praktik berhantu cepat berhembus, tetapi akibat rumor itu, ia jadi punya kebebasan untuk melakukan sesuatu di sini. Di masa depan, Dimas yang khawatir menceritakan pengalamannya bertemu dengan Resha, namun gadis kecil itu tidak memberikan respon terkejut atau semacamnya. Jadi Dimas rasa semua akan baik-baik saja. Tetapi saat ingin pergi, gadis itu berpesan agar Dimas tidak boleh menjawab apapun pertanyaan tentang masa depan.

“Yah, jadi aku tidak bisa bertanya apa pun tentang diriku di masa depan?”

“Tidak hanya tentangmu, tetapi semua hal,” Dimas mengetuk jari-jarinya ke meja. “Jalani saja hidupmu dengan sebaik-baiknya.”

Resha sedikit kecewa mendengar penjelasan Dimas. Padahal ia sudah berandai-andai hidupnya akan lebih mudah jika mengetahui masa depannya lebih dulu. Dia bisa mengantisipasi kejadian yang berpotensi merugikan dirinya dan mencari peluang untuk bisa mencapai kesuksesan di masa yang akan datang.

“Apa yang kamu jalani saat ini adalah garis takdir, Sha. Sekalipun kamu tahu apa yang akan terjadi, kamu nggak akan bisa mengubah masa depan," kata Dimas. “Kehidupan ini seperti peluang. Ketika kita mengubah sesuatu, tidak mustahil kemungkinan-kemungkinan lain akan terjadi. Misalnya kamu tahu akan jatuh di lubang A, dan kamu berhasil menghindarinya. Tetapi tak ada yang bisa menjamin setelahnya kamu akan selamat sebab terjatuh di lubang-lubang lainnya.”

“Kalau begitu,” Resha sedikit berpikir. “Alasan kamu ke sini bukan ingin mengubah sesuatu di masa depan?”

Dimas menggeleng pelan. “Tidak. Lagipula aku tidak bisa mengubah apapun di masa ini. Aku hanya ingin menemui seseorang dan hanya punya waktu lima bulan, sisa tiga bulan lagi."

“Memang apa yang terjadi dengan orang itu di masa depan sehingga kau harus kembali ke masa ini?”

Dimas terdiam cukup lama. Matanya lamat-lamat menatap tepat di bola mata Resha. Ada kesedihan yang mendalam yang tidak bisa dia bagi walaupun sebenarnya dia ingin. “Kembali ke peraturan pertama. Aku tidak boleh menjawab pertanyaan tentang masa depan.”

Mendengar penjelasan Dimas membuat Resha begitu kagum sekaligus penasaran dengan siapa sosok yang beruntung itu?

Pertemuan mereka berlanjut menjadi pertemuan rahasia yang lain. Setiap hari rabu, Resha datang untuk menemui Dimas. Dia bahkan sengaja menunda makan siang nya bersama Lastri agar bisa makan bersama dengan Dimas. Resha juga membawa bekal dengan porsi lebih, namun sayangnya Dimas tidak bisa memakan bekal yang Resha bawa karena dia hanya bisa makan sample kue yang dimasak oleh Bu Rini agar bisa kembali pulang ke masa depan. Itu alasan mengapa sample kue selalu hilang.

Resha tidak pernah menyangka jika cinta pertamanya di SMA terjadi begitu luar bisa. Pertemuan mereka juga terasa istimewa. Bukan kakak kelas atau teman, ia jatuh cinta pada laki-laki dari masa depan. Laki-laki yang begitu hangat dan dewasa. Bahkan ia tidak pernah bisa membayangkan jika laki-laki seperti Dimas ada di dunia nyata.

Akhir-akhir ini Resha terlalu bergantung pada Dimas. Ia juga tak ragu untuk membagi keluh kesahnya dan Dimas adalah pendengar yang baik. Perhatian-perhatian yang ia berikan sukses membuat Resha tidak bisa tidur nyenyak.

Hari rabu yang selalu mebahagiakan, hari yang paling Resha tunggu dan yang paling kelas 11 TB-A hindari. Tiap pertemuan mereka begitu sangat berarti.

Dimas mengetahui banyak hal tentang Resha. Tetapi Resha tidak tahu apa pun tentang Dimas karena ia tidak bisa menjawab tentang masa depannya. Seperti perasaanya yang tumbuh dengan begitu cepat, keberasamaan mereka pun akan segera berakhir. Dan Resha benci akan hal itu.

Hari itu semakin dekat, tetapi Resha tidak bisa menghilangkan perasaan yang tidak seharusnya ada. Tetapi apa boleh dikata, memang cinta begitu adanya. Ia bahkan tidak keberatan menyimpan perasaan ini tanpa mengatakan. Resha hanya takut kalau Dimas merasa terbabani atas perasaannya.

Minggu depan adalah pertemuan terakhir mereka. Resha berjalan menuju ruang praktik tata boga dengan langkah berat. Seminggu ini dia banyak diam dan melamun memikirkan Dimas.

Seperti biasa, Dimas sudah duduk di bangku milik Bu Rini sambil tersenyum menyambut kedatangan Resha. Dia tersenyum manis meski hatinya tidak baik-baik saja.

Hari ini Resha lebih banyak diam, begitu pun Dimas. Tidak ada tawa dan canda seperti minggu-minggu lalu. Mungkin mereka hanya ingin menikmati detik-detik perpisahan mereka.

“Kamu terlihat murung. Apa ada masalah?” tanya Dimas lembut.

“Nggak. Lagi nggak enak badan aja,” jawab Resha bohong.

“Kamu sakit? Kenapa malah ke sini?”

Resha bingung akan menjawab apa. Bagaimana bisa dia melewati kebersamaannya dengan laki-laki yang dia sukai. Ia bergulat dengan pikiran dan perasaannya, bimbang harus jujur atau memendam perasaan ini selamanya.

Pertemuan mereka minggu ini berkhir begitu saja tanpa banyak bicara. Dan Resha berakhir tidak mengungkapkan perasaannya.

    Hari-hari semakin cepat berlalu. Jika biasanya Resha selalu berharap cepat bertemu hari rabu, minggu ini untuk pertama kalinya ia tidak ingin hari itu cepat tiba. Ia tidak ingin berpisah dengan Dimas. Tetapi semakin tidak mengharapkan, hari rabu malah terasa lebih cepat.

Hari perpisahan mereka tiba. Dengan perasaan yang tidak karuan Resha tetap datang menemui Dimas seperti biasa. Namun, jendela dan pintu praktik tata boga terkunci tidak seperti biasanya. Resha panik, dia mengetuk pintu berkali-kali sambil memanggil nama Dimas. Tetapi tidak ada balasan. Resha bahkan menarik kursi rusak dan mengintip dari sela-sela jendela, tetapi tidak ada Dimas di sana.

Resha putus asa. Ia menjatuhkan diri ke lantai, meringkukkan tubuhnya lalu menangis tersedu. Dia sudah terlambat, ia tak akan bisa bertemu dengan Dimas lagi.

Angin berhebus teratur, tiba-tiba saja sepucuk surat berwarna merah muda keluar dari sela-sela pintu. Resha menatap surat itu lamat-lamat sebelum akhirnya menyadari bahwa terulis namanya di sana.

Buru-buru menghapus air matanya dan membaca surat itu.

Untuk Resha Anindya.

Resha, tidak terasa ya, kita sudah melewati minggu-minggu yang menyenangkan. Aku selalu menantikan hari rabu, karena hari itu selalu membahagiakan.

Aku bisa melihat seseorang dan mendengarkan cerita dan keluh kesahmu.

Setiap hari, aku tidak pernah tidak memikirkanmu. Ingin rasanya aku berlari menghampiri 'masa dimana kamu berada'. Tetapi aku tak bisa, sehingga yang aku lakukan hanya berandai-andai jika bisa.


Andai yang aku impikan adalah andai yang tak akan bisa jadi kenyataan. Karena pada akhirnya, kita akan hidup dimana masa kita berada.

Aku menyukaimu.
Minggu lalu rasanya sulit sekali bibirku berkata jujur. Padahal hatiku sudah marah-marah karena perasaaanya tidak tersampaikan dengan baik. Pada akhirnya aku berakhir seperti pecundang yang menyatakan perasaaanya melalui surat. Aku yakin nenek buyutku akan mengejek jika beliau masih hidup.

Aku tetap mengatakannya meski setelah ini aku tidak pernah tahu apakah perasaanku berbalas atau tidak.

Terima kasih, Resha. Di masa depan, hari-hariku sebenarnya begitu kelabu karena aku telah kehilangan banyak hal. Namun, di masa mu, aku menemukan sesuatu yang hilang dan membuat aku semangat melanjutkan hidup.

Sampai Jumpa, aku mencintaimu.

Dimas Prajana

Setelah membaca isi surat dari Dimas, membuat tangis Resha semakin pecah. Bahkan dia baru tahu nama lengkap Dimas setelah ia pergi. Dia bahkan tidak bisa bilang jika ia juga menyukainya.

Resha tersesat dalam kesedihan. Ia bahkan tidak mendengar jika Lastri daritadi berteriak menyerukan namanya. Ia terlalu sedih menerima pahitnya perpisahan.

“Resha!” panggil Lastri dengan suara tereengah. “Kamu kenapa?”

Buru-buru Resha memasukan surat itu ke dalam tas dan menghapus air matanya. “Ada apa mencariku?” tanyanya yang enggan menjawab pertanyaan Lastri.

“Ah, rupanya kau sudah tahu kabar duka itu,” ujar Lastri dengan mimik sedih.

“Kabar duka? Apa maksudmu?” Kali ini Resha yang terlihat bingung.

“Kau menangis karena sudah tahu kan kalau Bu Rini meninggal dunia karena kecelakaan siang tadi?”

Tubuh Resha membeku, ia sangat kaget dengan apa yang ia dengar. “A-apa?”

Lastri mendekat ke arah Resha. “Ayo cepat, ketua kelas sudah menyewa angkutan umum untuk takziah ke rumah alamrhumah.”

Tangan Lastri menarik pergelangan tangan Resha yang masih lemas terkulai, ia masih mencerna apa yang sedang terjadi. Dimas yang menghilang dan kepergian Bu Rini, semua terjadi begitu cepat.

Resha akhirnya mengalah, ia beranjak dari posisinya lalu berjalan mengikuti arah Lastri melangkah. Sesekali ia membalikan tubuhnya ke arah ruang praktik, berharap jika sesuatu keajaiban terjadi. Tetapi mustahil, hingga jarak tubuhnya menjauh, sesuatu yang diharapkannya tidak pernah terjadi.

Hari itu, Resha meninggalkan sekolah dengan perasaan sedih.

Sesampainya di rumah duka, sudah banyak orang yang melayat. Karangan bunga duka cinta juga sudah berjejer memenuhi pekarangan rumah Bu Rini. Semasa hidup, Bu Rini memang terkenal sebagai sosok yang hangat dan baik hati. Banyak orang yang merasa kehilangan setelah kepergiannya, termasuk Resha.

Setelah menyampaikan ucapan bela sungkawa kepada keluarga almarhumah, tiba-tiba saja di depan rumah tangis keluarga semakin pecah. Anak dalam kandungan Bu Rini selamat, ia lahir dengan sehat dan sempurna.

“Sedih banget ya, Sha.” bisik Lastri yang duduk di sampingnya.

Resha mengangguk dan menghapus air matanya di pelupuk mata.

“Sebelum meninggal dunia, Bu Rini sempat melihat putranya. Dia juga sempat memberikan nama.” Informasi yang diberikan oleh Lastri pasti tidak salah. Dia memang sumber informan bagi Resha.

“Benar, kah?”

“Benar. Beliau memberi nama anaknya Dimas.”

Resha terkejut bukan main. “Siapa?”

“Dimas.. namanya Dimas Prajana.”  

***

Jakarta, 2038

Dimas melangkahkan kakinya menapaki tanah rumah keabadian yang basah karena semalaman Jakarta diguyur hujan. Sudah lama rasanya tidak datang ke sini menemui sang wanita pujaan hati. Sebab lima bulan lalu ia bisa leluasa menemuinya setiap hari rabu.

Dunia ini penuh dengan keajaiban bagi orang yang percaya.

Dimas tidak menyangka akan bertemu dengan gadis kecil yang bisa memberikannya roti untuk bisa kembali ke masa lalu. Masa dimana sang Ibu masih hidup dan mengandungnya.

Seumur hidup, Dimas tidak pernah bertemu dengan Ibu. Dia hanya bisa mendengar cerita Ayah atau sanak saudara tentang beliau. Di relung hatinya paling dalam, ia sering berandai jika bisa punya kesempatan bertemu. Cukup sekali saja kesempatan bertemu untuk menjadi kenangan yang abadi.

Dimas selalu menghabiskan waktu untuk menceritakan kisah hidupnya di pusara sang Ibu. Meski Ibunya tidak menjawab, ia yakin bahwa Ibu akan mendengarnya.

Hari ini Dimas bicara agak malu-malu. Layaknya anak remaja, Dimas mulai merasakan jatuh cinta. Walaupun garis takdir mereka berbeda, ia tak pernah menyesali perasaannya. Karena baginya, cinta itu hanya perlu dirasakan. Ia sudah terbiasa mencintai tanpa mendapat balasan dari orang yang ia sayang.

Sudah hampir dua jam, langit pun mungkin sudah bosan melihat Dimas banyak tersenyum. Ia beranjak pergi dan tak sengaja bertemu dengan gadis penjual kue di stasiun.

Gadis itu membawa sebuket bunga mawar merah yang cantik. Dengan langkah besar, Dimas menghampirinya. "Kau di sini?"

Gadis kecil itu terkejut dengan kehadiran Dimas yang tiba-tiba. "Kakak ngangetin aja."

“Makanya jangan ngelamun.” Dimas terkekeh pelan. “Kamu mau ke kuburan siapa?”

“Ibuku,” jawab gadis itu sambil menunjuk pusara yang masih terlihat baru. Ia mengusap batu nisan putih dengan tinta berwarna emas.

Dimas berjalan mendekat ke arah gadis penjual kue itu. Dibacanya batu nisan dengan sesakma.

Resha Anindya
Lahir 14 Febuari 2006
Wafat 5 Maret 2037

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun