Dalam komunitas Muslim Indonesia, juga menyaksikan al Qiyadah, setelah bertahun-tahun sebelumnya ada gerakan kultus Haur Koneng di Majalengka, Jawa Barat dan Salamullah nya Lia Eden. Ketimbang menyalahkan mereka yang tergiur masuk kelompok ini, saya rasanya lebih senang melihat faktor lain. Mengapa Islam "jalan lurus" yang mayoritas ini kok tidak bisa menarik di mata mereka. Di mana ruang kosongnya. Kita semua mungkin merasakannya, tetapi sulit membicarakannya secara terang-terangan. Apalagi, ancamannya tidak sekedar dihujat atau dipertandingkan pemikirannya, tetapi bisa dalam bentuk ancaman fisik.
Padahal, sebagai warganegara, kita hidup dibawah perintah konstitusi. Artinya, hubungan sosial yang terjadi sebagai warga negara mestinya diukur dalam jarak yang sama dengan ukuran ayat-ayat konstitusi, dan bukan ayat-ayat kitab suci.Mungkinkah ada yang salah dengan keberagamaan kita. Mungkinkah keberagamaan kita seperti pepesan kosong, yang berlapis-lapis pembungkusnya, tetapi tidak ada isinya.
Mungkin kita merindu sosok seperti Gus Dur yang bisa mengeluarkan pandangan apa saja, bahkan tidak takut sekalipun diancam dan digugat banyak pihak.
Ya rasanya, keberagamaan memang masih sebatas ritual keagamaan saja. Ritual ibadah yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan kalau sudah menjalankannya, seolah-olah kita sah dan beragama yang benar, lantas punya hak untuk menyalahkan orang yang tidak beritual sama dengan kita. waulahualam bishawab