Mohon tunggu...
Imam Prihadiyoko
Imam Prihadiyoko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir dan besar di Lahat, Sumatera Selatan, 17 Desember 1972. Baru keluar kampung ketika kuliah di jurusan Ilmu Politik, FISIP-Universitas Indonesia, tahun 1992. Lulus dari kampus Depok tahun 1997, sejak itu melanglang di dunia jurnalistik sampai sekarang. Hidup ini seperti ikan yang berenang di sungai Lematang. Kala sungai banjir, terpaksa menepi. Disaat lain, sungai tampak jernih, udara sejuk, cahaya matahari cerah, bisa berkeliling sungai. Namun, baik banjir maupun tenang, mendung ataupun cerah, semuanya bagian kehidupan yang mestinya dijalani dengan senang dan sabar. Akan sangat senang kalau ada yang mau berteman, hubungi: mamprihadiyoko@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Keberagamaan (Keberislaman) Kita

16 Februari 2010   14:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:54 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hari-hari ini, kita masih mendengar lagi adanya problem sulit mendirikan tempat ibadah. Huuuhhh capek deh. Bukan ane sok moralis atawa sok mendukung pemikiran Islam Liberal, namun rasanya junjunganku kanjeng Nabi Muhammad SAW, nggak pernah melarang pendirian tempat ibadah. Bahkan, dalam peperangan sekalipun ada perintah untuk tidak merusaknya. Aturan sudah ada memang, namun prakteknya tak seindah aturan tertulisnya.

Dalam komunitas Muslim Indonesia, juga menyaksikan al Qiyadah, setelah bertahun-tahun sebelumnya ada gerakan kultus Haur Koneng di Majalengka, Jawa Barat dan Salamullah nya Lia Eden. Ketimbang menyalahkan mereka yang tergiur masuk kelompok ini, saya rasanya lebih senang melihat faktor lain. Mengapa Islam "jalan lurus" yang mayoritas ini kok tidak bisa menarik di mata mereka. Di mana ruang kosongnya. Kita semua mungkin merasakannya, tetapi sulit membicarakannya secara terang-terangan. Apalagi, ancamannya tidak sekedar dihujat atau dipertandingkan pemikirannya, tetapi bisa dalam bentuk ancaman fisik.

Padahal, sebagai warganegara, kita hidup dibawah perintah konstitusi. Artinya, hubungan sosial yang terjadi sebagai warga negara mestinya diukur dalam jarak yang sama dengan ukuran ayat-ayat konstitusi, dan bukan ayat-ayat kitab suci.Mungkinkah ada yang salah dengan keberagamaan kita. Mungkinkah keberagamaan kita seperti pepesan kosong, yang berlapis-lapis pembungkusnya, tetapi tidak ada isinya.

Mungkin kita merindu sosok seperti Gus Dur yang bisa mengeluarkan pandangan apa saja, bahkan tidak takut sekalipun diancam dan digugat banyak pihak.

Ya rasanya, keberagamaan memang masih sebatas ritual keagamaan saja. Ritual ibadah yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan kalau sudah menjalankannya, seolah-olah kita sah dan beragama yang benar, lantas punya hak untuk menyalahkan orang yang tidak beritual sama dengan kita. waulahualam bishawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun