Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Negara Ini Paling Diuntungkan dengan Turunnya Harga Minyak Dunia?

9 Desember 2014   19:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:41 888 11
Hari Jumat kemarin, adik saya yang nguli di dunia perminyakan datang ke Jakarta. Lumayan, nambah ilmu soal perminyakan dunia dan Indonesia. Salah satunya yang saya tanyakan adalah kenapa harga minyak dunia jatuh?

Ndilalahnya, ketika buka Kompasiana, saya membaca hal yang mirip yang disebut adik saya itu disini. Mengenai target negara yang hendak 'dijatuhkan' dengan perang minyak. Venezulea,  Iran dan Rusia bisa jadi target yang paling 'kena', karena pendapatan Rusia sekitar 50% dari minyak, sementara Iran, 45%. Yang paling parah terkena dampak adalah Venezuela, karena 95% APBNnya berasal dari minyak.

Sementara dengan Rusia, jika harga minyak masih jatuh, nilai rubel terjun hingga 40%, inflasi 9%, tahun 2015 Rusia sudah menyatakan negaranya akan mengalami resesi ekonomi. Sedangkan Iran, belum statement soal ini.

Bagaimana dengan negara Amerika Serikat? Di tulisan tersebut, AS termasuk negara target dari perang minyak tersebut, untuk menahan laju produksi minyak shale oil. Nah ini yang berbeda.

Justru Amerika Serikatlah yang sangat diuntungkan oleh harga minyak dunia yang anjlok ini. Mengapa? Karena hingga saat ini, impor minyak AS mencapai lebih dari 7 juta barel/hari. Amerika Serikat termasuk negara 'pemakan' energi terbesar di dunia/kapita. Bayangkan kalau harga minyak tinggi, seberapa defisit APBN AS untuk membeli minyak sebesar itu.

Mengenai argumen bahwa harga minyak dunia jatuh untuk menahan produksi Shale oil di AS, itu juga lemah. Lah wong belum berproduksi skala massal. Itu masih dieksplorasi', belum lagi diproduksi karena memang susah sekali memproduksinya. Membutuhkan teknologi tinggi dengan harga yang mahal.

Ini perbandingan ongkos produksi minyak: onshore (atau didarat): $10/barrel, offshore (lepas pantai/dilaut): $20-30/barrel, laut dalam:$30-40/barrel, dan Shale oil: $70-80/barrel

Shale oil berbeda dengan sumur  minyak. Shale oil ini minyak yang berada diantara lempungan-lempungan tanah, berupa area yang sangat luas sekali. Ibaratnya, mengumpulkan recehan minyak. Diperkirakan jika shale oil berproduksi, Amerika Serikat akan swasembada minyak, tetapi itu di tahun 2019 (targetnya).

Kalau sekarang hingga beberapa tahun kedepan, AS masih impor minyak 7-8 juta barrel/hari. Dengan harga yang murah tersebut, ekonomi AS yang sebelumnya megap-megap, melaju dengan kencang. November kemarin, kembali Obama menyebutkan penyerapan tenaga kerja mencapai lebih dari 300.000. Sementara itu, dollar juga terus menguat.

Bagaimana dengan Indonesia?

Imbas dari ekonomi AS yang tumbuh pesat adalah dollar yang terus menguat. Diperkirakan tahun 2015 kurs rupiah akan melemah hingga Rp 13.000 (sumber: The Jakarta Post, 8 Des'14). Ini berarti utang luar negeri pemerintah dan swasta akan meningkat. Tetapi jangan lebay kalau itu bisa membuat ekonomi Indonesia resesi, karena rasio hutang Indonesia terhadap PDB masih termasuk terendah didunia (25-30%). Bandingkan dengan Jepang yang hutangnya sudah mencapai 150% dari PDB.

Nah bagaimana peluang Indonesia sebagai negara pengimpor minyak?  Sesungguhnyalah, Indonesia juga sangat berpeluang untuk mengencangkan laju pertumbuhan ekonominya melalui harga minyak yang murah. Pembangkit listrik yang tadinya sesak napas karena energi primernya minyak bumi, bisa bernapas lega, jika minyak murah.

Terpenuhinya akses listrik bagi dunia usaha maupun masyarakat merupakan prasyarat untuk mengencangkan laju ekonomi. Yah gimana mau maju usahanya, bisa menyerap tenaga kerja, jika listrik jeprat jepret mulu. Apalagi jika mengingat harga batu bara, gas dan seterusnya ikut tergerek murah di pasar dunia,  kemudian mengalihkan kepasar domestik, pengembangan industri akan semakin bergairah.

Minyak murah untuk petani dan nelayan, juga akan bisa meningkatkan produktivitas hasil mereka. Jika pendapatan dari sektor ini sangat menjanjikan, siapa tahu, pengangguran baru Indonesia sebesar 1 juta orang/tahun bisa melirik sektor usaha ini.

Angka pencari kerja di Indonesia setiap tahun 2,5 juta orang, sementara dunia usaha hanya mampu menyediakan lowongan untuk 1,5 juta orang. Satu juta pengangguran ini diberi insentif, pelatihan, bekal untuk bisa mulai usaha di dunia perikanan, pertanian, atau dunia kreatif. Jika produktivitas tinggi, kurs rupiah melemah, ekspor akan sangat menguntungkan. Tetapi jika produktivitas rendah, produk yang bisa diekspor juga tidak seberapa.

Semoga negeri ini akan semakin baik. Ya sudah, gitu aja. Salam Kompasiana!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun