Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis Pilihan

Bagaimana Nasib "Angket" Jika Koalisi Ganjar Mahfud Beda Kepentingan?

23 Maret 2024   14:31 Diperbarui: 23 Maret 2024   14:31 252 5
Pasca kekuasaan Sukarno dicabut tahun 1967, Pj. Presiden Soeharto mengkonsolidasikan kekuasaannya yang berfokus dengan dalih pemulihan keamanan diantaranya dengan penghilangan paksa orang-orang yang dituduh PKI,  pembersihan pengaruh Sukarno (deSukarnoisasi) dan menjauhkan rakyat dari politik.

Tahun 1973 kemudian keluar kebijakan Soeharto untuk memaksa penyederhanaan partai politik warisan pemilu 1955. Maka partai yang berideologi Islam berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan partai yang berideologi nasionalis berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

PPP didirikan pada 5 Januari 1973 yang merupakan hasil fusi atau gabungan dari Partai Nahdhatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Perti.

Kemudian lahir PDI pada tanggal 10 Januari 1973, penggabungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (Partai IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik. Yang selanjutnya dikenal sebagai PDI Perjuangan pada Pemilu 1999.

Pemerintahan Presiden Soeharto untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilu pada tahun 1971 yang diikuti PPP, Golkar dan PDI.

Pemilu 1971 hingga pemilu 1997 menjadi alat legitimasi kekuasaan Soeharto yang dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang saat itu sebagai lembaga tertinggi negara. Mengapa? Karena penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu dari unsur pemerintah yang diberi tugas membawa sukses kemenangan "single majority" Golkar dan Soeharto. Pemilu hanya sebatas prosedural.

Tentu situasi saat itu tak ada wacana Hak Angket karena MPR diisi oleh kroni-kroni Soeharto melalui Golkar, fraksi ABRI, utusan Daerah dan utusan Golongan. Apalagi mengajukan gugatan curang pemilu 1997 karena belum ada Mahkamah Konstitusi (MK).

MPR saat itu tak peduli dengan tuntutan rakyat. Akumulasi kemarahan rakyat kemudian melahirkan gerakan reformasi 1998, "pengadilan rakyat" yang menuntut Presiden Soeharto turun dan segera digelar pemilu ulang.

Namun ketika gerakan rakyat makin membesar menjadi "people power" dan menduduki gedung DPR akhirnya Ketua MPR, Harmoko luluh untuk meminta kesediaan presiden Soeharto turun tahta.

Pemilu dipercepat selanjutnya disepakati DPR dan pemerintahan transisi BJ Habibie digelar pada 7 Juni 1999 berdasarkan Undang Undang No.3/1999 oleh penyelenggara pemilu yang independen yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU ) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Selanjutnya pada Pemilu 2004 berubah menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Seiring perjalanan dari pemilu ke pemilu terjadi perubahan atau penyempurnaan baik untuk tujuan kualitas penyelenggaraan, sistem (langsung) maupun penyederhanaan partai politik dengan ketentuan Parliement Threshold melalui  undang undang tentang pemilu.

Pilpres pertama dipilih langsung oleh rakyat dilaksanakan pada pemilu 2004 tanpa "cawe-cawe" Presiden Megawati sebagai petahana sekaligus kontestan melawan anak buahnya Menkopolkam, SBY. Relatif berjalan baik, jujur dan adil yang berlangsung dua putaran dengan kemenangan SBY.

Selanjutnya teknologi informasi mempengaruhi pemilu 2009. SBY ingin berkuasa kembali. Mulai "cawe-cawe" agar menang kontestasi. Ada propaganda dari lembaga survey sekaligus "tim sukses" agar pilpres berlangsung satu putaran. Peran lembaga survey menggeliat. Hasil pemilu 2009 disinyalir terjadi kecurangan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan sistem perhitungan.

Maka muncullah Hak Angket terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu Legislatif 2009. Alasan penggunaan Hak Angket adalah pelaksanaan pemilu 2009 tidak dapat menjamin hak konstitusional sebanyak 40 persen-an dari 172 juta pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Muncul pula hak angket kasus Century. Kader-kader SBY di partai Demokrat kena ciduk KPK untuk kasus korupsi.

Kemudian menghadapi pilpres 2014 relatif berlangsung baik, "head to head" Jokowi vs Prabowo. SBY memilih upaya mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap partainya, Demokrat. Sebagai presiden tidak "cawe cawe". Pilpres 2014 melahirkan kemenangan Jokowi.

Pilpres 2019 terjadi "tarung ulang" petahana Jokowi lawan Prabowo yang dimenangkan kembali oleh Jokowi. Pemilu dinilai relatif jujur, adil. Ada aturan cuti kampanye yang tegas, tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan elektoral. Tidak ada yang mempersoalkan aturan pemilu termasuk syarat capres cawapres.

Pemilu 2024 oleh setiap partai dinilai strategis terutama koalisi pendukung pemerintah. Karena tak ada lagi petahana yang akan bertarung. Presiden Jokowi dianggap patuh konstitusi. Partai koalisi pemerintah berlomba untuk memanfaatkan efek elektoral dari kekuasaan yang mendapat sentimen positif atas kinerja pemerintah.

Partai politik mulai pasang kuda-kuda memanfaatkan infrastruktur pemerintah di kementerian/lembaga. Ada menumpang sosialisasi lewat program BUMN, program bansos, program pendidikan, hilirisasi tambang, sertifikat gratis, investasi asing, proyek strategis nasional, dll.

Tak ada satupun partai yang di Senayan yang ngotot untuk mengubah aturan pemilu, syarat capres cawapres termasuk president threshold.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 222 disebutkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumya.

Maka PPP bersama Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) mendeklarasikan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) pada tanggal 12 Mei 2022.

Tanggal 4 Juni 2022 Ketua DPP PPP Suharso Monoarfa masih sempat memberikan pidato dalam Silaturahim Nasional KIB di Jakarta.

Namun 3 bulan kemudian dalam Musyawarah Kerja Nasional PPP di Serang, Banten, Suharso Monoarfa yang juga menteri Bappenas diganti Muhammad Mardiono, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sebagai Pelaksana tugas Ketua Umum PPP (5/9/2022).

Dan PPP kemudian memutuskan berkoalisi dengan PDI Perjuangan untuk mendukung capres Ganjar Pranowo disaat KIB belum putuskan capres (30/04/2023). Ini juga fenomena yang menarik untuk dianalisa.

Partai Golkar dan PAN berkoalisi dengan Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) mendukung Prabowo Subianto sebagai capres (13/8/2023).

Fenomena menarik lainnya jika dicermati adalah mengapa KKIR berganti nama menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengadopsi tagline pemerintahan Presiden Jokowi? Lalu mengapa PKB malah meninggalkan KIM (1/09/2023)?

Dari sini sebenarnya sudah menyampaikan pesan bahwa posisi Jokowi bukan bersama Ganjar melainkan Jokowi mendukung Prabowo. Sementara putusan MK meloloskan Gibran baru terjadi pada tanggal 16 Oktober 2023.

Berdasarkan penetapan rekapitulasi KPU tanggal 20 Maret 2024, PPP tak lolos ke Senayan pada Pemilu 2024 karena tidak memperoleh suara untuk menembus ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Partai berlambang Ka'bah itu hanya mendapat 5.878.777 suara atau 3,87 persen. PPP pun akan mengajukan gugatan ke MK.

Sementara partai yang mengalami kenaikan perolehan suara pemilu legislatif bukan hanya pendukung Prabowo Gibran tetapi juga partai pengusung Anies Mahaimin.

Berikut hasil penetapan hasil pemilu legislatif 2024

PDIP: 25.387.279 suara (16,72%)
Partai Golkar: 23.208.654 suara (15,28%)
Partai Gerindra: 20.071.708 suara (13,22%)
PKB: 16.115.655 suara (10,61%)
Partai NasDem: 14.660.516 suara (9,65%)
PKS: 12.781.353 suara (8,42%)
Partai Demokrat: 11.283.160 suara (7,43%)
PAN: 10.984.003 suara (7,23%)
PPP: 5.878.777 suara (3,87%)

Bandingkan dengan hasil penetapan hasil pemilu legislatif 2019

PDI-P: 27.053.961 (19,33 persen)
Gerindra: 17.594.839 (12,57 persen
Golkar: 17.229.789 (12,31 persen)
PKB: 13.570.097 (9,69 persen)
Nasdem: 12.661.792 (9,05 persen)
PKS: 11.493.663 (8,21 persen)
Demokrat: 10.876.507 (7,77 persen)
PAN: 9.572.623 (6,84 persen)
PPP: 6.323.147 (4,52 persen)

Dengan fenomena ini menunjukkan bahwa "operasi" untuk menjadikan PDIP sebagai "common enemy" dan menggembosi suara Ganjar Mahfud berhasil dilakukan. Bahkan anggota DPR petahana PDIP banyak yang tumbang. Tentu ini bukan direncanakan hanya satu dua bulan melainkan patut diduga direncanakan secara terstruktur, sistematis dan masif.

Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud Todung Mulya Lubis mengatakan Pemilu kali ini diwarnai dengan berbagai pelanggaran maupun kecurangan, bahkan "kejahatan" yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Oleh karena itu gugatan ke MK akan didaftarkan Sabtu, 23/03/2024.

Integritas hakim MK kembali akan diuji mengingat di akhir tahun 2023 saat tahapan pemilu 2024 sedang berjalan, Ketua MK dengan "serampangan" telah memutus uji materi Undang-Undang Pemilu dengan mengubah syarat capres-cawapres yang menyebabkan terjadinya "bencana demokrasi".

Keputusan adil dari MK dinanti dalam mengawal masa depan demokrasi Indonesia karena menyangkut hajat hidup dan kelangsungan pembangunan sekurangnya dalam lima tahun kedepan.

Bahwa MK sudah seharusnya menjadi penjaga demokrasi. MK diberi kewenangan oleh konstitusi dengan integritas hakim-hakimnya antara lain untuk memutus perselisihan pemilu baik pilpres, pileg maupun pilkada.

MK hadir untuk  mengawal  konstitusi, mengawal demokrasi, dan melindungi hak-hak minoritas.

Untuk diketahui bahwa sembilan orang hakim konstitusi diisi oleh calon yang diusulkan 3 (tiga) orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung.

MK mempunyai kewenangan konstitusional yaitu: 1) menguji undang- undang (UU) terhadap UUD, 2) memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD, 3) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum, 4) memutuskan  pembubaran  partai  politik.

Bagaimana dengan Hak Angket?

Legitimasi pemilu bukan hanya dilihat dari penetapan perolehan suara oleh KPU tetapi pada seluruh tahapan. Karena pelanggaran dan kecurangan terjadi baik sebelum masa kampanye, masa kampanye hingga pasca pencoblosan yakni tahapan rekapitulasi berjenjang.

Oleh karena itu bilamana ada indikasi pelanggaran yang mempengaruhi hasil pemilu maka konstitusi memberi ruang kepada DPR untuk melakukan upaya penyelidikan melalui Hak Angket.

Tugas DPR adalah menindaklanjuti aspirasi rakyat. Penyelidikan ini penting dilakukan sebagai respons atas desakan aspirasi rakyat yang dirugikan hak politiknya.

Penyelidikan ini penting untuk memastikan apakah benar ada intervensi kekuasaan, penyimpangan APBN melalui politisasi bansos, dan kriminalisasi terhadap kepala desa hingga kepala daerah, bahkan pengerahan terhadap pemilih untuk memilih paslon tertentu.

Menurut amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20A ayat (1) menyebutkan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

Terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni:

1. Hak Interpelasi: hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Hak Angket: hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Hak Menyatakan Pendapat: hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:

Kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;

Tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau

Dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Berdasarkan ketentuan Pasal 199 UU No. 17 Tahun 2014, Hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari 1 fraksi.

Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang setidaknya memuat materi kebijakan dan pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikannya.

Pengusulan hak angket harus disetujui oleh rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari jumlah anggota DPR yang hadir.

Jumlah anggota DPR saat ini adalah 575 orang. Jika merujuk pada ketentuan lebih dari dari jumlah anggota DPR maka rapat paripurna memenuhi quorum jika dihadiri sekurangnya 288 anggota. Dan persetujuan hak angket membutuhkan 145 anggota.

Artinya jika hanya fraksi PDIP yang mengusulkan tentu tidak cukup untuk penuhi syarat persetujuan. Berdasarkan komposisi jumlah kursi di DPR saat ini seharusnya syarat minimal mendapat persetujuan hak angket PDIP bersama PPP mestinya cukup yakni 128 + 19 = 147 anggota.

Komposisi jumlah kursi DPR periode 2019 - 2024:

PDIP 128 kursi, PPP: 19 kursi

Golkar: 85 kursi, Gerindra: 78 kursi, Demokrat: 54 kursi, PAN: 44 kursi

Nasdem: 59 kursi, PKB: 58 kursi, PKS: 50 kursi

Lalu bagaimana nasib Hak Angket dengan sikap PPP yang masih berjuang akan menggugat MK atas hasil penetapan KPU pileg 2024 tak lolos ambang batas parlemen pemilu 2024?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun