Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Televisi, Antara Kuasa dan Kepentingan di Indonesia

17 April 2011   12:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43 1642 0
1. Sejarah Awal Pertelevisian Indonesia

Sejarah penyiaran televisi Indonesia dimulai pada tahun 1961, saat pemerintah Indonesia memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek pembangunan Asian Games IV di bawah koordinasi urusan proyek Asian Games IV. Kemudian pada tanggal 25 Juli 1961, Menteri Penerangan mengeluarkan SK Menpen No. 20/SK/M/1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2T). Pada tanggal 17 Agustus 1962, TVRI (Televisi Republik Indonesia) mulai mengadakan siaran percobaan dengan acara HUT Proklamasi Kemerdekaan Indonesia XVII dari halaman Istana Merdeka Jakarta, dengan pemancar cadangan berkekuatan 100 watt. Kemudian pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan acara siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari stadion utama Gelora Bung Karno,

Sejak tanggal 12 November 1962 TVRI mengudara secara reguler setiap hari. Pada 1 Maret 1963 TVRI mulai menayangkan iklan seiring dengan ditetapkannya TVRI sebagai televisi berbadan hukum yayasan melalui keputusan presiden RI nomor 215 tahun 1963. Namun pada tahun 1981 dengan berbagai alasan politis TVRI tidak diijinkan lagi menayangkan iklan. Pada 1988 tahun TVRI tidak lagi menjadi lembaga penyiaran di Indonesia. Pemerintah telah mulai mengijinkan televisi swasta beroperasi di Indonesia, RCTI (1988), SCTV (1989), TPI (1990), ANTV (1993), INDOSIAR (1995).

Kemunculan TVRI sebagai lembaga penyiaran televisi pertama di Indonesia, terlepas dari segala kesederhanaan dan pola acara siaran yang belum matang dan hadir pada mulanya untuk menyiarkan kegiatan olahraga yang masih sarat dengan pengaruh politis, telah ikut mengangkat gengsi bangsa Indonesia yang sedang mencari jati dan pengakuan dunia Internasional.

Di Indoensia, kehadiran televisi pada awalnya merupakan sarana terbatas yang dianggap sebagai barang mewah,tetapi seiring berlalunya zaman televisi bukan lagi barang lux, ia bahkan menjadi sarana massal yang dikomsumsi di setiap lapisa masyarakat. Kehadiran televisi tidak hanya mengisi ruang rumah-rumah mewah tetapi juga hampir di setiap rumah, bahkan sampai ke warung-warung di pinggir jalan. Kini televisi menjadi komsumsi sehari-hari sebagian besar masyarakat.

Dalam perkembangannya, terutama pada era Orde Baru sesungguhnya sejarah televisi adalah sejarah medium untuk propaganda dan proteksi kekuasaan. Hal ini dilakukan dengan berbagai jalan seperti pemilihan program, penekanan fokus, diskusi lewat oleh orang yang terpilih oleh kekuasaan, hingga menghindari acara yang bersifat kritis. Hal ini terjadi karena dasar dan peran TVRI di bawah Departemen Penerangan yang berfungsi sebagai juru penerang yang berkuasa.

Pada periode pemerintahan Habibie, yang ditandai dengan peran kuat televisi swasta multikanal, sekaligus dibukanya prinsip pengelolaan pers bebas oleh Kementrian Penerangan, TVRI tidak menggunakan momentum ini untuk mengubah peran klasiknya. TVRI tetap lebih berpihak kepada kekuasaan. Pada era Soesilo Bambang Yudhoyono, sebuah era pencitraan politik lewat media, dan ketika Kominfo kembali menjadi kementrian tersendisi (sebelumnya Kementrian Penerangan dihapus pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid), TVRI pun menjadi televisi publik secara hukum formal.

Masuknya televisi swasta dalam ranah pertelevisian di Indonesia memberikan corak terhadap wajah televisi Indonesia bahkan hingga saat ini. Televisi swasta nasional merupakan pemain utama menyingkirkan TVRI milik pemerintah yang beberapa dekade sebelumnya menguasai ranah tersebut. Namun sangat disayangkan peran televisi swasta di Indonesia jauh yang diharapkan sebagaimana yang disebutkan dalam amanat undang-undang bahwa televisi berfungsi sebagai "media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial", dan juga untuk "menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa".

2. Televisi dan Teks; Relasi Kuasa dan Kepentingan

Semua kenyataan kultural adalah teks. Maksudnya adalah kenyataan kultural ditempatkan sebagi teks yang dapat ditafsirkan, dibaca, diterjemahkan, dipahami layaknya teks-teks bahasa dalam pemahaman sederhana. Televisi merupakan bagian dari itu. Televisi adalah jaring-jaring teks yang hadir dalam kenyataan sehari-hari. Sebagai teks, televisi sarat akan makna-makna kultural yang hadir tidak tanpa nilai.

Televisi sebagai teks menjadikannya sebagai sumber daya yang terbuka hampir semua orang. Chirs Barker menyebut televisi sebagai

"sumber pengetahuan populer mengenai dunia dan semakin membuat orang saling berhubungan, meski secara termediasi, dengan berbagai cara hidup orang-orang di luar tempat kelahirannya. Televisi adalah bagian dari "prakondisi dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, pembayangan sosial yang digunakan untuk memersepsi, 'dunia-dunia', realitas kehidupan orang lain, danse cara imajiner merekonstruksi hidup menjadi semacam 'keseluruhan dunia' (whole-of-the-world)"

Bagi Chirs Barker televisi adalah sumber pengetahuan populer yang menjadi tempat bagi orang saling berhubungan meskipun hubungan tersebut dimediasi oleh layar (screen). Televisi menjadi prakondisi, konstruksi selektif ataupun pembayangan sosial yang digunakan untuk memersepsi dunia nyata. Sebagai konstruksi selektif dan prakonsidi sosial menjadikan televisi menawarkan, membatasi sekaligus mengarahkan pandangan terhadap pandangan dunia sosial. Hal ini pula menjadikannya bukan hanya sebagai media untuk menonton, mendapatkan informasi dan hiburan, tetapi juga sebagai [re]produksi teks, wacana bahkan ideologi.

Layar (baca: televisi) bagi Yasraf Amir Piliang disebut sebagai akumulasi citra, yang membangun masyarakat tontonan yakni masyarakat yang dipenuhi oleh akumulasi dan pergantian citra, masyarakat yang durasi kehidupannya didominasi oleh aktivitas kepenontonan, yang di dalamnya tontonan menjadi cara menjalankan kehidupan itu sendiri. Layar adalah istana dari Imperium Citra itu, yakni sebuah arsitektur, yang di dalamnya citra-citra dikembangbiakkan, diproduksi, disebarluaskan, dikomsumsi dan dimaknai, yang di dalamnya setiap orang menghambakan dirinya pada kekuasaan citra. Mekanisme citra dan layar mengondisikan setiap orang di dalam ekspektasi terhadap apa yang muncul: kejutan, trend, surprise, keterpesonaan, kebaruan, perbedaan -yang semuanya merupakan pemenuhan temporer akan hasrat terhadap citra yang tak terbatas.

Televisi atau layar (screen) secara luas merupakan ruang di mana citra-citra, pengetahuan dan pembayangan sosial terbentuk semacam, yang dalam istilah Yasraf disebut sebagai, imperium citra. Hal ini mengandaikan bahwa untuk memahaminya, layar atau televisi secara spesifik tidak cukup dipandang secara sederhana sebagai 'kotak ajaib' yang menampilkan gambar hidup yang berwarna warni tanpa nilai di dalamnya. Kotak ajaib tersebut mempunyai 'jiwa' ataupun sesuatu yang mampu memengaruhi 'kejiwaan' (psikis). Di sini menjadi sesuatu yang bisa dipahami ketika sebuah tayangan televisi mampu membuat pemirsanya terkejut, bahagai, menangis, tertawa ataupun marah.

Perlu disadari bahwa media ataupun televisi adalah power hegemoni masyarakat modern dalam mengubah tatatan struktur sosial budaya, politik, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya. Dari sudut politik ekonomi, televisi merupakan alat yang digunakan masyarakat kapitalis dalam memasarkan produk budaya dan menciptakan gaya hidup materialis, pragmatis, hedonis dan konsumtif. Meskipun di sisi lain televisi membawa pengaruh positif dalam memberikan informasi dari belahan bumi lain.

Televisi ketika menghadirkan berita, film, iklan, bahkan tayangan olahraga sekalipun ke dalam ruang pemirsa, ia bukan hanya menghadirkan fakta, kejadian yang ada di luar sana, tetapi pada saat yang sama televisi mendefinisikan dan mendeskripsikan. Dalam proses pendefinisian dan pendeskripsian inilah ideologi bekerja baik di kesadaran maupun di luar kesadaran pemirsa. Hal ini bukan saja memiliki implikasi ideologis tetapi kemudian membentuk realitas baru. Realitas baru yang dibentuk oleh kuasa dan kepentingan.

Kuasa sebagaimana menurut Michel Foucault bahwa ia bukan sebagai sesuatu yang dimiliki karena kuasa bukanlah sesuatu yang menetap atau berasal dari suatu tempat melainkan difungsikan dan dipraktikkan. Kuasa adalah jaringan yang menyebar ke mana-mana. Kuasa tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui regulasi dan normalisasi. Hal ini berbeda dengan pemahaman kuasa ala Marxian yang melihat reproduksi alat-alat ekonomi dan politik adalah titik inti kuasa (determinisme ekonomi).

Kuasa yang bermakna seperti ini maka saluran terpentingnya bukanlah pada ekonomi ataupun politik, sehingga harus merebut kedua akses tersebut. Tetapi justru yang menjadi saluran terpentingnya adalah hubungan wacana (relasi diskursif). Hubungan wacana ini bisa mencakup grand naration, grand teory dan juga termasuk teks. Relasi diskursif ini akan melahirkan efek-efek diskursif. Pada titik ini nantinya akan dibentuk kelompok, masyarakat yang mudah diawasi, tubuh yang didisiplinkan

Secara singkat, tatanan diskursif dapat dibagi dalam tiga kelompok. Pertama, dengan menentukan yang mana yang dilarang, mana yang diperbolehkan, mana yang benar dan mana yang tidak benar, disini pula ditentukan mana yang berakal budi dan mana yang merupakan kegilaan (regulated ways of speaking about objects). Kedua, dengan cara pembatasan cara pandang, membatasi horison pemahaman manusia dengan cara yang disebut dengan disiplin. Ketiga, menentukan apa yang boleh dibicarakan, siapa yang berhak membicarakannya dan dengan cara apa ia dibicarakan.

Relasi diskursif ini pulalah yang terjadi dalam dunia pers. Pada titik inilah pers menentukan seperti apa kebenaran itu, siapa yang berhak mengatakannya dan bagaimana cara mengatakannya. Pada titik itupula ditentukan mana yang benar dan mana yang salah. Disinipulalah individu didisiplinkan dalam satu cara pandang, bahwa untuk memahami realitas maka realitas teks ala pers lah yang dijadikan referensi, diluar itu berarti keliru.

Berita merupakan salah satu teks utama televisi dan menjadi alat penting bagi perebutan wilayah hegemoni dan kuasa. Berita bukanlah cerminan dunia ataupun "hasil rangkaian realitas". Berita bukan "jendela-dunia" yang langsung. Melainkan representasi yang terseleksi dan terkonstruksi yang menjadi bagian dan turut membentuk realitas. Hal ini menjadikan berita tidak pernah netral, berita selalu merupakan versi dari suatu kejadian. Narasi-narasi berita adalah usaha untuk menjelaskan bagaimana kondisi atau begaimana sesuatu terjadi. Narasi menawarkan pemahaman kerangka pemahaman dan aturan referensi tentang bagaimana dunia dikonstruksi. Sehingga kriteria seleksi berita bisa mengungkapkan pandangan dunia ideologis yang sedang dipakai dan disebarkan.

Dari pandangan di atas mengantarkan pandangan bahwa berita membangun, mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Menurut Dedy Mulyana, untuk melihat konteks sosial budaya suatu berita, semestinya berita dicermati dari sudut siapa mengendalikan siapa dalam struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan mana yang dirugikn, siapa si penindas dan siapa yang tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang inkonstitusional, kebijakan public mana yang harus didukung dan tidak booleh didukung, dan sebagainya.

Ketika masa Orde Baru masih berkuasa misalnya, praktik diskursif semasa dilakukan lewat beberapa cara yang sangat efektif membentuk frame pengetahuan diantaranya dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap materi berita yang ditampilkan oleh media. Media cetak tidak dibenarkan membicarakan tentang pancasila, keluarga cendana, multi partai dan hal lain yang dianggap oleh pemerintah tabu untuk dibicarakan kecuali beberapa media yang ditunjuk oleh Departemen Penerangan sebagai sebuah lembaga kementerian yang bertugas sebagai mesin produksi kebenaran pemerintahan Orde Baru. Kementrian ini berfungsi sebagai "rezim kebenaran".

Dewasa ini komitemen pemerintah dan masyarakat sipil untuk tetap menjalankan proses demokratisasi komunikasi dan informasi melalui media massa yang kredibel dan independen menjadi pertaruhan. Komitmen ini menjadi penting untuk mengatasi sejumlah persoalan serius yang kini dihadapi media massa. Proses demokratisasi komunikasi memungkinkan terwadahinya diversity of ownership (keragaman kepemilikan) dan diversity of content (keragaman konten).

Sistem komunikasi dan media di zaman Orde Baru berbeda dengan pasca Orde Baru. Di era Orde Baru, Negara menguasai informasi terutama informasi politik, Negara mendominasi media massa seperti TVRI dan RRI. Pada era itu, media massa yang mencoba melakukan fungsi kontrol akan dibredel. Pasca jatuhnya Orde Baru, media massa menikmati kebebasan dari belenggu Negara, pergeseran sistem media berlangsung namun terjebak dominasi sector swasta. Penguasaan media massa oleh Media Nusantara Citra (MNC) dan para pemodal akan menghasilakn ekonomi maonopoli yang terjadi di sektor penyiaran, dan selanjutnya akan menimbulkan dampak serius terhadap monopoli informasi. Sehingga hal ini dikhawatirkan menjadikan demokratisasi komunikasi informasi terancam gagal.

Konsentrasi media yang terjadi dikhawatirkan membawa sejumlah dampak negatif, tidak hanya pada perkembangan kelangsungan sistem media di Indonesia, melainkan juga dampak pada isi atau konten yang disampaikan kepada masyarakat. Pemerintah Indonesia yang telah melihat potensi merugikan dari adanya konsentrasi suatu perusahaan mencoba mengintervensi dengan menghadirkan sejumlah peraturan yang mengatur mengenai kepemilikan perusahaan namun pengusaha mampu melihat dan memanfaat celah-celah dari regulasi yang ada untuk dapat membuat sejumlah strategi, termasuk strategi konsentrasi media guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dalam konteks ini, media massa termasuk televisi berupaya untuk mengejar akumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya. Sehingga, sebagai contoh televisi untuk mencapai tujuan tersebut akan cenderung berusaha untuk terus meningkatkan rating mereka dengan menyajikan tayangan yang hanya sebatas mainstream, bahkan tak sedikit yang menyajikan berita atau tayangan yang tidak sesuai dengan etika media. Persaingan pasar bebas media dapat berakibat sebagian pemilik dan praktisi media menjual profesionalitas, kode etik, dan tanggung jawab moral jurnalisme. Semua ini dilakukan demi akumulasi modal untuk bertahan terbit di tengah pasar yang amat ketat.

Berkaitan dengan rmedia sebagai lahan dan hanya mementingkan orientasi akumulasi modal akan menjadi bahaya, sebagaimana Yasraf Amir Piliang menyebutkan bahwa ranah ekonomi menjadi ladang "terorisme" baru tempat para pelaku pasar menebar ancaman, kecemasan, ketakutan di ruang publik. Ironisnya, ketakutan dan bahkan kematian ditebar justru demi keuntungan dan kepuasan. Hal ini Yasraf menyebutnya sebagai ekonomi psikopat yakni,

"...ranah terorisme bisu karena efeknya tak terlihat dan tak tersadari. Berbeda dengan efek kerusakan terorisme, efek terorisme ekonomi tak kasatmata: dalam organ tubuh, atau struktur psikis. Kekerasan ekonomi psikopat bukan saja kekrasan fisik, melainkan juga kekerasan simbolik. Ekonomi psikopat adalah sebuah horonomik, yaitu medan akumulasi kapital melalui mekanisme kekerasan. Kekerasan semacam itu, seperti kata Slavoj Zizek, dapat berupa kekerasan fisik, psikis dan struktur. Kekerasan fisik menyebabkan cacat fisik, kerusakan tubuh bahkan kematian. Kekerasan subyek menyebabakan aneka ketakutan, kevemasan dan paranoia. Kekerasan sistem menyebabkan kerusakan pada keutuhan aneka sistem (pendidikan, hukum, politik) akibat abnormalitas di ranah ekonomi."

Selain faktor ekonomi, faktor politik juga berpengaruh besar terhadap kepentingan media dalam konsentrasi media massa di Indonesia. Sebgai contoh, media yang dekat dengan pemerintah cenderung menghadirkan pemberitaan yang pro-pemerintah atau ketika pemilik media merupakan tokoh politik, ia akan cenderung menggunakan media miliknya sebagai alat politiknya. Hal tersebut mengesampingkan hak masyarakat akan tayangan atau informasi yang memuat kebenaran karena berita atau informasi yang disampaikan cenderung bias memihak pihak-pihak tertentu.

Curran, Gurevitch, dan Woollacott (1982) menganggap bahwa media berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan dan menanamkan kesadaran palsu bagi khalayak. Media massa diyakini bukan sekedar medium lalu lintas pesan antara unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsensus oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik dominan.

Pola kepemilikan dan produk-produk yang disampaikan media adalah perangkat ideologis yang melangengkan dominasi kelas pemodal terhadap terhadap publik yang diperlukan semata mata sebagai konsumen dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi regulasi yang pro-pasar. Media juga menjadi medium pengiklan utama yang secara signifikan mampu meningkatkan penjualan produk barang dan jasa. Media massa juga menyebarkan dan memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu.

Di sinilah, terlihat bagaimana korporasi media memiliki peran besar dalam menyaring apa yang boleh dan tidak boleh ditonton oleh masyarakat, apa yang baik dan tidak baik, serta bagaimana masyarakat harusnya bersikap. Monopoli di bisnis media berbahaya bagi demokratisasi karena adanya pengurangan hak publik memperoleh suatu berita atau informasi sesuai dengan kebutuhan dari publik itu sendiri. Seperti monopoli informasi, monopoli frekuensi, monopoli ekonomi (pendapatan), monopoli program acara yang dikhawatirkan homogen, serta pemanfaatan media-media tersebut untuk kepentingan pribadi bagi keuntungan pemilik semata.

Dari pergulatan media yang melibatkan jurnalis dan publik di satu sisi dan kapitalis (market) dan negara di pihak lain, adalah rekonstruksi relasi-relasi yang menghubungkan agen dan struktur (variasi market dan negara, atau keduanya). Wacana ruang pubik (publick sphere) misalnya, tidak cukup kuat untuk landing dalam teks isi media justru diruntuhkan oleh apa yang disebut Shiller dalam Mufid sebagai 'media imperialisme'. Dalam sistem negara otoriter, media massa dinafikan fungsinya sebagai pendidik dan pemberi informasi. Penguasa otoritatif mengarahkan media sebagai aparatus ideologi negara untuk kepentingan homogenisasi. Sedangkan dalam lingkup kekuatan kapitalisme, media merupakan alat produksi bagi kekuatan ekonomi tertentu.

Di indonesia, homogenisasi media oleh rezim Orde Baru dan kapitalis kronisnya dilakukan melalui berbagai kontrol. Paling tidak terdapat lima kontrol yang dilalkukan;

1. Kontrol preventif dan korektif terhadap kepemilikan institusi media, antara lain melalaui pemberian SIT (yang kemudian diganti dengan ketentuan SIUPP) secara selektif berdasarkan kriteria politik tertentu.

2. Kontrol terhadap individu dan kelompok pelaku profesional (wartawan) melalui mekanisme seleksi dan regulasi (seperti keharusan menjadi anggota PWI sebagai wadah tunggal untuk megikuti P4 bagi pemimpin redaksi), dan kontrol berupa penunjukan indvidu-individu untuk menduudki jabatan tertentu dalam media milik pemerintah.

3. Kontrol terhadap produk teks pemberitaan melalui berbagai mekanisme.

4. Kontrol terhadap sumber daya, antara lain berupa monopli kertas oleh penguasa.

5. Kontrol terhadap akses ke pers, berupa pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu untuk tidak ditampulkan dalam pemberitaan pers.

Dalam konteks regulasi media penyiaran, akumulasi hegemoni tersebut tertuang melalui Undang-Undang Penyiaran Tahun 1997. Atas nama stabilitas nasional sebagai syarat terwujudnya pembangunan nasional, Orde Baru dan kroni kapitalis menenmpatkan media sebagai aparatus akumulasi kekuasaan dan keuntungan bagi kelanggengan razim. Pasal 7 UU No. 24 Tahun 1997 misalnya secara eksplisit menyatakan bahwwa, 'penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh negara".

Rezim Orde Baru dengan kapitalis mejadi menarik untuk dibahas, karena pada satu sisi kemunculan para kapitalis memang sengaja diciptakan oleh rezim sebagai bagian dari strtegi pemenuhan indikator pertumbuhan ekonomi yang merupakan sumber legitimasi penting rezim, namun pada sisi lain keterkaitan tersebut tersebut pada perkembangannya juga menyebabkan entitas delegitimasi bagi rezim kian menguat. Kontradiksi internal ini dikemudian hari justru menjadi penetu (significant other) bagi kejatuhan rezim.

Tumbangnya rezim orde baru tenyata tidak membuat demokratisasi penyiaran menjadi niscaya. Terdapat tarik menarik kepentingan antara kekuatan negara (Pememrinatah dan DPR), pasar (kapitalis), dan publik. Keseluruhan tarik menarik kepentingan masing-masing pihak tersebut semakin kuat terutama bila dikaitkan dengan momentum angin reformasi dan gelombang liberalisme media yang turut mendesak kuat agar regulasi penyiaran media era orde baru (UU penyiaran 24/1997) direvisi. Masing-masing berupaya agar regulasi baru tersebut secara ekonomis dan politis, menguntungkan kelompoknya. Apa yang tertuang UU penyiaran No. 32 Tahun 2002, sebagai pengganti UU penyiaran No. 24 tahu 1997, sedikit banyak merupakn kompromi kepentinagn antara satu ihak dan pihak yang lain.

Menurut Mufid, paling tidak ada empat hal mengapa demokratisasi penyiaran menjadi sulit.

1. Secara makro, konstelasi dunia pasca perang Dingin begitu kondusif bagi ekspansi kapitalisme. Media yang pada awalnya lebih sebagai entitas informasi dan propaganda, sejak tahun 1980-an berkembanag menjadi entitas bisnis transnasional. Disamping adanya tekanan dari IMF, World Bank dan terutama Pememrintah AS terhadap dunia untuk melakukan deregulasi dan privatisasi terhadap media, ekspansi liberalisme juga didukung oleh kemajuan teknologi satelit dan digitalisasi.

2. Pada tataran indonesia kekinian, walaupun secara formal rezim orde baru telah lewat, namun kekuatan lingkar Cendana dalam penyiaran masih berakar kuat. Sebagian besar modal televisi swasta misalnya, masih terkait erat dengan kalau tidak dikuasai oleh keluarga cendana atau orang-orang yang dekat dengan Cendana. Persekongkolan saling menguntungkan antara kroni kapitalis lokal dan kapitalis transnasional akan berimpliksi pada keberlakuan logika akumulasi modal yang akan menentukan hal-hal apa saja yang mestinaya dikesampingkan, the logic accumulation and exclusion.

Atas dasar logika ini, maka modal akan mendikte dunia penyiaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu diangkat sehingga menguntungkan baik dalam bentuk akumulasi ekonomis maupun surplus privilage sosial untuk pemodal dan golongannya, seklaigus melembagakan sensor diri (self-sensorship) isu-isu krusial apa saja yang perlu tidak diangkat atau palinng tidak mengemas isu tersebut sehingga tetap mengungkan pemodal dan kelompoknya.

3. Pemerintah pada titik tertentu belum siap untuk kehilangan sama sekalai kekuasaan untuk mengontrol media. Media bagaimanapun juga merupakan sarana efektif bagi pembentukan opini sekaligus menjadi perangkat sosialisasi kebijakan. sebelum RUU penyiarann disahkan (melaui menteri Negara Komunikasi dan Informasi) bersikukuh untuk memonopoli keweanagan izin frekuensi lembaga penyaiaran (Kompas 11 juli 2002). Secara legal formal pemerintah mendasarkan sikap tersebut pada UU No. 36 Tahun 1999 tentang telekomunikasi. Undang-undang yang disebut terakhir ini secara tegas memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menngatur frekuensi.

4. Ketiga faktor tersebut secara dialektis dan sistematis mempersempit ruang gerak kelompkok-kelompok civil society (seperti insan media, akedemisi, dan publik) yang menginginkan keterbebasan media dari negara (penguasa) dan kediktaoran pasar (kapitalis). Bagi kelompok ini, karena penyiaran menggunakan spketrum frekuensi radio yang nota bena merupakan tanah publik yang pengelolaannya dikuasai oleh negara, maka aktivitas media penyiaran sudah semestinya mengorientasikan diri pada pemberdayaan publik.

Dari ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa media massa termasuk televisi telah mengkonstruk realitas tersendiri dalam dunia sosial, ekonomi dan politik. Peran media sebagai alat yang mampu membentuk opini publik tidak bisa dinafikan keberadaannya. Di alam demokrasi sekarang ini media massa mendapat ruang yang lebih luas, namun harus berhati-hati dengan era keterbukaan ini karena sangat memungkinkan ideologi dan kepentingan "titipan" melakukan proses hegemoni.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun