Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Losss in Papua, Membangun Stikmasi Kanibalisme dan Keterbelakangan

10 Maret 2011   16:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 3654 0

Lost in Papua, sebuah film genre drama yang coba mengangkat kisah cinta, petualangan dan misteri di Papua, Alkisah ada sekelompok pemuda yang gemar berpetualang, mereka membuat target daerah yang akan ditaklukkannya. Para pemuda tersebut dipimpin oleh Rangga (Edo Borne). Namun ditengah petualangannya satu demi satu para pemuda itu hilang tanpa diketahui sebabnya.

Beberapa tahun kemudian, Nadia (Fanny Fabriana) kekasih Rangga, mendapatkan tugas untuk melakukan riset di pedalaman Papua. Nadia yang juga punya hobi berpetualang itu langsung terpikat dan ingin segera ke Papua.

Nadia memimpin ekspedisi tersebut dan memulai petualangannya dengan berkenalan sama Suku Korowai. Suku Korowai disebut-sebut masih menetap di atas pohon. Suku Karowai itu berada di kawasan hutan di sekitar daerah Boven Digoel[1].

Menonton trailer dan membaca berita seputar film Lost in Papua, saya jadi teringat sebuah pengalaman dua puluh tahun yang lalu, saya masih duduk di kelas tiga smp, saya sempat nenonton sebuah film expedisi, entah judulnya apa, saya lupa. Film ini bercerita tetang sebuah expedisi yang dilakukan ke Papua (Lembah Baliem). Salah satu bagian adegan yang saya masih ingat sampai sekarang, dalam rombongan expedisi tersebut ada beberapa orang perempuan dan mereka perjalanan dalam hutan belantara dan diantar oleh porter yang merupakan penduduk lokal. Dalam perjalanan tersebut, porter lokal yang menggunakan koteka --pakaian sebagian besar masyarakat di pegunungan tengah[2], pakaian ini bermasalah saat porter tersebut berjalan di belakan perempuan. Koteka yang di pakai salah seorang porter sering mengenai pantat perempuan yang berjalan di depannya, atau kadang kala koteka tersebut kadang tampak seolah mengangkat rok perempuan tersebut.

Adegan film tersebut mungkin untuk membangun unsur kelucuan, tatapi sayangnya kelucuan yang terbangun tidak pas dengan kehidupan adat dan budaya masyarakat di pegunungan[3]. Sampai saat ini hanya di daerah Yali yang menggunakan koteka dengan ujung yang agak turun ke depan karena ada beban rotan yang di pakai di pinggang, sedangkan di daerah lainnya tidak ada pemakaian koteka dengan model demikian. Dan yang tergambar dalam film tersebut bukan suku Yali, tetapi suku Dani, dan jelas ini berbeda.

Kembali ke film Lost in Papua, lokasi pengambilan gambar dilakukan di wilayah Jakarta dan Merauke. Di Merauke lokasi yang diambil terdiri dari Pantai lampu Satu, Jembatan Tujuh Wali-Wali, Tugu LB Moerdani, Suasana dalam Kota Merauke, TN Wasur serta tarian khas orang Marind dan Boven Digul, lokasi yang diambil itu terdiri dari penjara Bung Hatta dan tradisi tarian penduduk di sana.

Dari penjelasan lokasi pengambilan gambar tersebut ada dua adat berbeda yang menjadi bagian dalam film, dan tambah dengan suku Korowai dan satu kisah kabar burung (Suku Perempuan) sehingga menjadi empat budaya berbeda dalam satu film Los in Papua. Bagi saya, sulit membayangkan empat budaya di buat dalam satu film, apakah dia akan menjadi budaya yang utuh, atau menjadi budaya yang di digeneralisasi atau akan menjadi serpihan tak berbentuk.

Setiap tarian adat dalam suku di Papua memiliki arti dan makna yang berbeda, dan dari setiap tarian adat tersebut kita bisa membaca kisah hidup yang di ceritakan dalam tarian adat suku, sehingga bila ada dua tarian adat dalam satu film berarti ada dua cerita suku[4]. Bila bukan tarian suku, berarti tarian kreasi atau tarian pergaulan yang umum di selatan Papua seka, yang sejenis dengan tarian Yospan[5] dan Lemon Nipis di utara Papua.

Dari potonga trailer dan foto-foto, penggambaran tentang suku Korowai jauh dari adat dan budayanya, bentuk rumah, pakaian yang di pakai, dan nyanyian, teriakan ibarat jauh api dari panggang. Tidak jelas nilai adat budaya apa yang mau di sampaikan pada penonton.

Pada bagian lain dalam Lost in Papua di mesukkan cerita tentang Suku Perempuan, siapkah mereka ini pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab. Sampai saat ini belum ada satu literaturpun jany bias menjelaskan keberadaan mereka, hanya ada cerita dari mulut ke mulut yang di tambah bumbu penyedap. Merurut cerita dari mulut ke mulut tersebut, mereka hidup di sekitar Memberamo Tengah, ada lagi yang mengatakan mereka berada di antara Waropen dan Memberamo, dan sekarang yang muncul mereka berada di daerah Boven Digul (Versi Lost in Papua).

Keberadaan suku perempuan, sebenarnya telah di bantah dengan tanyangan Expedisi Mamberamo yang di lakukan Yorris Raweyai bersama TV ONE pada pertengahan tahun 2010. Dan dalam tayangan tersebut, Yorris menjelaskan bahwa suku perempuan tidak ada, yang terjadi adalah kesalahan interpretasi terhadap salah satu suku di Mamberamo. Ketika itu ada sekelompok orang yang menuju kampung tersebut, dan karena takut para perempuan mengambil peralatan perang dan mengejar kelompok asing tersebut. Saat kelompok asing ini datang, para laki-laki sedang pergi ke kebun dan berburu, sehingga tidak tampak laki-laki di kampung tersebut.

Yorris melakukan expedisi di Mamberamo bersama TV ONE untuk mengingat kembali puluhan tahun yang lalu, saat dia masih muda, dia pernah menyusuri saungai Mamberamo sebagai pemburu buaya. Setelah itu dia hijarh ke Jakarta dan menetap sampai sekarang.

Mungkin juga yang di maksud suku perempuan adalah Suku Kiri Kiri di hulu sungai rokfaler, yang menurut adat dalam suku. para perempuan merupakan tulang punggung ekonomi keluarga. hal ini menyebabkan kehidupan sehari pergi keluar kampung untuk meramu, menokok sagu dan berburu.

Kesalahan yang sama akan terjadi akibat salah interpretasi dan membangun sebuah cerita fiktif baru seperti pernyataan "Ada adegan unik dan mudah-mudahan nggak disensor. Adegan di mana saya diperkosa sama suku perempuan di sana. Nggak sulit sih, tapi bagaimana melihat kenyamanan lawan main saya. Ada adegan mereka grogi dan gemetar sendiri," ujar Fauzi saat presscreening film LOST IN PAPUA di XXI Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Selasa (8/3). (kapanlagi.com, 08 Maret 2011 19:35), pernyataan ini di awali dengan Kapanlagi.com - Jika kebanyakan kejadian pemerkosaan dialami oleh kaum wanita, tidak demikian halnya dengan aktor ganteng Fauzi Baadilla. Mantan suami Senk Lotta ini mengalami pemerkosaan oleh suku pedalaman di Papua. Namun, hal tersebut hanya terjadi di film terbarunya, LOST IN PAPUA.

Ada berita lain dengan judul “Astaga.. Fauzi Baadilah Diperkosa 16 Wanita” "Jadi waktu itu ceritanya gue tersesat di daerah Papua. Tiba-tiba gue ketemu suku yang semuanya cewek. Jadi mereka kalau melihat pria hasratnya langsung deh. Cukup kacau juga deh, 16 orang secara bergantian perkosa gue," jelasnya saat ditemui di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Selasa (8/3/2011). Menurut Ozi, kisah yang dialaminya itu memang berdasarkan kisah nyata. Di pedalaman Papua memang terdapat suku yang seluruh penduduknya wanita, sehingga merasa asing ketika ada kaum laki-laki datang. (Okezone, 8 Maret 2011 - 14:26 wib).

Pernyataan kisah nyata di atas patut di pertanyakan, nyata menurut siapa, apakah nyata berdasarkan berita burung dari mulur ke mulut? Memprihatinkan tanpa riset yang mendalam, film ini dibuat dan hanya mengulang kesalahan beberapa para sines Indonesia yang membuat film tentang Papua.

Secara langsung Lost in Papua dapat membangun interpretasi yang buruk bagi orang Papua, yang nanti terekam adalah orang Papua Kanibal dan terbelakang. Betapa menyedihkannya!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun