Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

50 km

20 Mei 2016   17:07 Diperbarui: 20 Mei 2016   17:36 78 0

Ini bukan menceritakan tentang persahabatan lima orang anak manusia yang bernama Arial, Ian, Riani, Genta dan Zafran. Dimana sosok Arial dengan badan yang paling gede, paling keren dan tampak sporty. Sosok Ian yang satu-satunya diantara kelima orang sahabat tersebut yang belum mampu menyelesaikan kuliahnya, postur tubuh gemuk serta pendek, penggemar bola dan sekaligus penggemar wanita seksi Hapy Salma. Yang ketiga ini sosok yang paling cantik dan satu-satunya yang cantik diantara kelima orang sahabat tersebut, dengan postur badan tinggi, rambut panjang dan lurus dan tentu cerdas serta perhatian dan dia adalah Riani. Genta dengan sosok yang bijak, karismatik dan penuh mimpi dan tentu menjadi pemikat hati para gadis yang ada. Terakhir adalah Zafran, sosok yang penuh dengan romantika, anak band dan banyak melahirkan puisi-puisi romantis di mulutnya serta humanis.

Ini bukan tentang itu semua. Iya, bukan tentang itu semua! Ini bukan tentang film 5 cm yang beberapa bulan lalu begitu booming didunia para pemuda dinegeri ini. Bukan! Tetapi masih ingatkah kalimat-kalimat semangat membara yang entah pada insan mana saja yang terbakar jiwanya oleh kalimat tersebut. “Biarkan keyakinan kamu menggantung, mengambang depan mata kamu, dan sehabis itu yang kamu perlukan cuman kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan sering menengok keatas dari biasanya, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan lebih bekerja keras dari biasanya serta mulut yang akan selalu berdoa”. Mungkin demikianlah bait kalimat yang saya ingat.

Bagaimana barisan kalimat ini menurut anda?! Iya, bijak dalam menjalani hidup ini tak segampang tarian-tarian jemari dalam melahirkan kalimat-kalimat romantika kehidupan, tak segampang itu! Realitas tak seindah para penulis naskah dan sutradara melahirkan end of story dalam epilog ceritanya. Relitas memang tak seindah film 5 cm, tak seromantik itu dan tak sebijak itu pula. Entah apa yang dipikirkan oleh Donny Dhirgantoro dalam menulis novelnya dan entah apa alasan sutradara Rizal Mantovani mensutradarai kisah ini.

Bagaimana dengan 50 km?!

Beberapa tahun terakhir ini, semua tenaga kesehatan di penjuru nusantara ini digegerkan dengan adanya peluncurun program ‘Nusantara Sehat’ dan ‘Pencerah Nusantara’. Jika hari ini kita refresh kembali terkait adanya program pengangkatan pegawai non pns dari kementerian kesehatan (pegawai kontrak pusat) tidak terlalu heboh seperti sekarang ini dikarenakan program tersebut tidak bisa dinikmati oleh semua tenaga kesehatan yang ada. Kehadiran program Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan Berbasis Tim (Team Based) yang sedang booming dengan nama ‘Nusantara Sehat’ dan program ‘Pencerah Nusantara’ yang di prakarsai oleh Kementrian Kesehatan dan CISDI (Center For Indonesian Strategic Development Initiatives) ini memberikan sebuah “angin baru” bagi setiap individu-individu dalam lingkup tenaga kesehatan.

Kenapa tidak?! Program ini hadir sebagai ajang berkompetisi bagi setiap tenaga kesehatan yang siap mengabdikan dirinya dalam pengabdian di daerah-daerah terpencil, terluar dan kepulauan, dengan passion yang dibawanya adalah membangun Indonesia sehat yang mandiri dan berkeadilan serta melakukan penguatan pada pelayanan kesehatan primer. Tidak main-main  program ini setiap sesi rekrut tenaganya mampu menghadirkan ribuan pelamar muda dan mudi disegala penjuru nusantara ini. Pemuda dan pemudi ini hadir dari berbagai macam latar belakang mindsetnya. Para generasi-generasi muda-mudi “cemerlang” diberbagai daerah ini berbondong-bondong ikut berkompetisi dan siap mengabdikan kapasitas dirinya untuk membangun Indonesia didaerah penempatan.

Bagaimana dengan saya?! Tentu, tak mau  ketinggalan. Dengan kapasitas diri yang sealakadarnya, saya tak mau ketinggalan dalam kompetisi ini. Karena prinsip saya dimana ada kompetisi disitu terbesit kesempatan, persoalan hasil urusan belakang. Sejak lulus dari dunia akademik desember 2014 silam sampai sekarang saya selalu mencoba untuk ikut berkompetisi pada setiap peluang yang diberikannya itu. Namun kesempatan berkata lain, saya belum diberikan kesempatan untuk menikmati dan mengenyam program tersebut. 

Mungkin ini dikarenakan saya bukan sosok yang mengenyam prestasi dalam bidang akademik, juga bukan mahasiswa aktivis yang bertemanan dengan jalanan, yang selalu turun kejelanan meneriakkan nyanyian-nyanyian ketidak-adilan yang terjadi. Disamping itu juga belum memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) yang waib dimiliki oleh para tenaga kesehatan dinegeri ini. Dari januari 2015 saya urus dan masukin bahan hingga sekarang ini entah kenapa STR saya belum juga “tercium wanginya”. (Sedikit curhat hehehe)

Sang proklamator bangsa ini pernah menyatakan “Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia!” Entah bagaimana saya bisa menginterpretasikan semangat ini. Saya berkhayal dari sepuluh pemuda yang diminta itu, saya adalah salah satu didalamnya (seumpanya hehehe). Tapi dari itu pesan yang bisa saya ambil adalah setiap individu harus mampu membangun semangatnya dan mengkoordinirnya untuk mengarahkan pada hal-hal yang positif, karena semua hal pembangunan membutuhkan semangat pemuda didalamnya. Bercermin dari semangat pemuda yang digambarkan oleh sang proklamator bangsa ini mampu menunjukkan bahwa peran pemuda dalam membangun daerah bahkan bangsa tak bisa diabaikan begitu saja.

Sejenak terpikir oleh saya, bagaimana dengan para pemuda-pemudi terbaik daerah dengan semangat yang begitu luar biasa itu, ramai-ramai meninggalkan daerah halaman untuk mewujudkan cita-cita dipemerintahan sekarang ‘membangun Indonesia dari pinggir’. Baik?! Iya tentu sangat baik memang. Toh didaerah sendiri masih banyak generasi-generasi lain yang membangun. Lalu, bagaimana jika para pemuda-pemudi daerah masing-masing individu berpikir demikian? Siapakah yang akan benar-benar mendedikasikan dirinya untuk daerah? Ah, ini hanya sedikit pikiran tak jelas saya saja! toh benar juga, masih banyak orang-orang berpengalaman didaerah dan juga kita belum tahu apa-apa juga.

Namun hal itu, sedikit menyadarkan saya tentang kegagalan-kegagaln saya yang begitu terobsesi untuk bergabung dalam tim dalam dua program yang dilahirkan oleh Kementerian Kesehatan dan CISDI tersebut. Sedikit terlitas dalam otak saya bahwa kegagalan itu membiarkan saya untuk bertahan didaerah sendiri dan ikut andil dalam memperjuangkan kesehatan diaerah sendiri pula. 

Kesempatan yang membiarkan saya untuk tetap bertahan diaerah sendiri ini mengantarkan saya untuk mengabdikan diri di salah satu unit pelaksana teknis institusi kesehatan ini (di tempat baru lagi nih ceritanya. Setelah saya dikeluarkan karena ikut riset kesehatan dalam memperjuangkan kualitas data untuk pembangunan kesehatan di daerah saya).

Masih sangat terlihat jelas dimata saat saya menandatangani surat pernyataan saat pertama kali bergabung dengan institusi baru ini. “Bekerja dengan Tanggungjawab, mematuhi peraturan yang ada dan rela tidak di gaji. Iya, rela tidak digaji! Itulah daerah saya. Salah satu daftar daerah tertinggal dinegeri ini juga. Saya tidak tahu kalau pulau jawa, sumatera, Kalimantan, sulawesi dan lain-lainnya seperti ini juga atau tidak. Tetapi inilah cerita salah satu daerah di negeri ini!

Iya benar! Ini bukan semata-mata tentang gaji. Tapi entah bagimana cara saya beralasan untuk menghalalkan kekasih saya agar dia mau dengan saya dengan keadaan seperti ini (semoga dia mengerti hehehe). Entah bagaimana cara saya membangun masa depan yang lebih baik lagi dari ini. Tapi beberapa orang bijak mengatakan bahwa ‘hasil takkan mengkhianati usaha’. Entah kapan itu menjadi benar buat saya yang belum bijak ini.

50 km! iya, 50 km! Adalah jarak yang setiap hari saya tempuh. Memang tak mendaki gunung, melewati sungai, jalan bebatuan dan menyebrangi pulau seperti yang terlihat pada teman-teman yang sedang diberikan kesempatan untuk membangun kesehatan di Indonesia dipinggiran sana. Tapi jangan pernah melupakan fakta bahwa data telah membuktikan jalan raya adalah pembunuh nomor satu di dunia. 

Maka jangan pernah berpikir bahwa tidak ada resiko setiap kali saya menancap gas motor Yamaha red mio soul GT yang menjadi kuda terbaik saya yang selalu menemani dalam perjuangan ini. Tidak seberapa?! Iya, tidak seberapa memang jika dibandingkan yang lebih jauh dari saya. Tetapi perbedaannya adalah apakah mereka menikmati gaji dari keringatnya itu?! Tetapi apapun itu (gaji atau tidak) semoga kita semua diberikan kekuatan dan ketabahan olehNya.

Bodoh?! Iya saya bodoh berada disituasi ini dan tak jarang orang-orang beranggapan saya demikian. Resign?! Persoalan itu gampang, tidak susah bagi saya untuk meninggalkan pekerjaan ini dan terus menghilang begitu saja (toh juga kita sukarela yang tidak digaji).

Lalu kenapa saya tetap disini jika semua itu dianggap mudah?!

Berada di dunia akademik jauh lebih mudah ternyata jika dibandingkan di dunia kerja. Di dunia akademik saya hanya meyakinkan para dosen dengan menjawab bait-bait tulisan kaku yang disuguhkan diatas meja serta barisan-barisan retorika yang dinyayikan saat ujian skripsi dan juga hanya menyakinkan orang tua bahwa mampu menyelesaikannya dengan tepat waktu. Kini didunia kerja, saya harus mampu meyakinkan diri sendiri. Iya diri sendiri! 

Terkait sebuah profesi yang melekat dalam nama ini bahwa disitu banyak harapan yang tertuju, sebuah anugerah, profesi yang perlu diperjuangkan perannya agar benar-benar manfaat, profesi yang tak bisa saya nodai kehormatannya, juga meyakinkan partner kerja terkait kapasitas yang dimiliki, meyakinkan para pemangku kebijakan terkait dengan keberadaan dan passion yang dibawa serta meyakinkan masyarakat untuk bersama-sama yakin membangun semangat dalam mewujudkan mimpi Indonesia menuju masyarakat yang sehat.

Dan kenapa saya tetap disini?!

Amanah! Iya, amanah adalah jawabannya. Amanah adalah alasan yang paling kuat kenapa saya tetap bertahan. Amanah profesi yang melekat begitu kuat dengan nama, amanah institusi yang telah bersedia menerima saya. Sangat mudah memang untuk berkhianat! Namun Saya tak boleh hanya memandang lelah diri ini, namun lebih besar dari itu bahwa profesi saya tak mengajarkan khianat terhadap amanah yang diberikan, karena sekali saja mengkhianati itu maka yang dilihat bukan cuman sebagai “saya”nya tetapi “profesi” yang melekat dinama ini juga. SKM bukan cuman tentang saya tetapi tentang ribuan orang yang sedang berjuang diluar sana bahkan ribuan calon-calon SKM yang siap bergabung (seprofesi) sedangkan saya hanyalah anak kemarin sore yang sedang belajar menjiwai profesi ini. Amanah juga adalah alasan kenapa saya sok kuat dan sok bijak dan sedikit sok pintar!

Saya boros?! Iya benar demikian. Kalau dihitung secara ekonomi bahwa saya memang pemboros karena setiap hari saya harus mengeluarkan uang lima belas ribu rupiah tanpa ada masukan atau digaji. Jika dihitung secara matematis pula maka dua puluh enam  hari kerja dikalikan lima belas ribu rupiah maka tiga ratus Sembilan puluh ribu rupiah adalah uang yang saya keluarkan tiap bulannya. Dimana saya medapatkan uang itu? Orang tua adalah tempat saya menengadah. Memalukan memang! Semoga tak ada sarjana muda yang masih meminta-minta pada orang tua seperti saya ini.

Namun, apakah amanah hanya dilihat sebatas cara pandang ekonomi?! Menggunakan perhitungan matematis?! Iya benar, bahwa kita juga perlu mempertimbangkan hal tersebut dalam bekerja. Namun kali ini bagi saya amanah mengalahkan itu semua! Amanah tak hanya mampu dilihat secara ekonomi, tak hanya hitungan matematis. 

Ketika banyak orang bahkan orang terdekat mengatakan saya boros, maka saya hanya bisa memotivasi diri dengan cara pandang saya bahwa ‘lebih baik saya boros dalam hal perjuangan dibandingkan jika saya harus boros denagn meracuni diri sendiri secara pelan-pelan, meracuni orang-orang terdekat, meracuni keluarga bahkan meracuni orang lain karena dengan ROKOK!’. Jika saya sakit, biarkan saya sakit karena lelah bertengkar dengan angin setiap tancapan gas matic ini dan bukan karena ROKOK yang saya konsumsi secara aktif. Ingat, bukan karena PEROKOK AKTIF!

Dan jangan pernah berpikir bahwa saya tak membutuhkan gaji yang layak! Kita sama-sama manusia dan pada dasarnya mempunyai kebutuhan yang sama pula. Maka ‘robohkan’ semua pikiran itu yang terlintas dipikiran mu tentang saya. sayapun masih terobsesi dengan dua program pengabdian tersebut. Ingat, kita sama-sama manusia yang pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama. Jika dulu Jogja mengajari saya untuk menjadi wiraswasta namun tanah kelahiran ini menuntut mengejar menjadi ASN, maka jangan pernah heran bahwa sampai hari ini juga saya masih terobsesi untuk menjadi ASN juga.

50 km ini adalah seterusnya menjadi perjalanan  hati! Iya perjalanan hati! Jangan pernah berpikir bahwa saya tak pernah lelah,  tak pernah bosan, tak pernah stress memikirkan nasib?! Sayapun merasakan yang demikian, bahkan berulang kali. Iya, berulang kali! Namun, kembali lagi bahwa ini adalah perjalan hati. Hati yang akan melewan ketika fisik mulai lelah, ketika keadaan melahirkan kebosanan, ketika otak tak mampu berspekulasi dengan sendirinya. Hati yang akan melawan itu semua! Dan saya tetap meyakini bahwa kami ‘SKMers’ tetap mampu menjadi Public Health Warriorsdimanapun, saat amanah itu ditujukan kepada kami. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun