Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kalau Iman Sudah Dilogikakan?

25 Agustus 2012   03:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:21 421 2
Kalau Iman Sudah Dilogikakan?*

Kalau iman sudah dilogikakan, lantas apa jadinya?

Pada dasarnya, hampir semua orang selalu mengaitkan antara iman dan rasio, (lebih tepatnya logika). Sejak dari zaman sebelum masehi, yaitu ketika pendidikan mula-mula muncul di zaman filsafat kuno dengan tokoh-tokoh populisnya seperti Sokrates (470-399 SM) yang dihukum mati karena dituduh kafir dengan pemikiran rasionalnya yang dianggap menyeleweng dari tradisi, idealisme dan keyakinan saat itu. Tokoh yang dianggap sebagai salah satu pencetus filsafat barat Kuno ini yang dianggap tak pernah menulis apa-apa dalam hidupnya, terlalu mempertanyakan segudang fenomena yang terjadi di alam dan di sekitarnya. Pelampung logika untuk menyelami pertanyaannya pun menjadi bumerang baginya sehingga dianggap kafir karena terlalu mengedepankan logikanya.

Sampai sekarang, banyak orang masih lebih mengutamakan logika ketimbang keyakinan (iman) yang notabene lebih transedental. Setiap kejadian lebih dimaknai dengan rasionalitas ketimbang manifestasi sebuah spiritualitas (menyangkut iman). Sehingga sampai pada deskripsi ini, kita bisa mengasumsikan bahwa hampir semua manusia tidaklah memiliki iman yang besar karena masih mengutamakan logikanya untuk menyelami setiap peristiwa. Dan tergenapilah perkataan Yesus dalam Matius 17: 20 yaitu, Ia berkata kepada mereka: "Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, --maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu."

Biji sesawi di Alkitab juga dikatakan adalah biji paling kecil diantara benih yang ada. Tetapi jika dia sudah tumbuh, akan menjadi pohon yang besar dan para burung akan menyangkar di atasnya.

Pernyataan alkitabiah ini semakin nyata adanya ketika orang sekarang sangat sulit menyangkal logika. Segala sesuatu yang dilakukan lebih berdasarkan logika.

Untuk menggambarkan bentuk kegiatan yang barangkali menurut kebanyakan orang adalah diluar logika seperti pada Matius 5:39 yang tertulis: Tetapi Aku berkata kepadamu, "Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Aneh bin tidak masuk akal ketika seseorang sudah merugikan kita, lantas kita justru mengalah bahkan memberi diri untuk dirugikan kembali. Sepertinya mustahil untuk dilakukan oleh manusia di era pragmatis dewasa ini. Atau contoh lain, penutupan 17 Gereja yang terjadi di Aceh yang dilakukan Pemda setempat belakangan ini. Jika kita mengacu pada Alkitab, maka seharusnya yang kita rasakan bukan emosi atau marah. Tetapi dapatkah kita seperti yang dikatakan oleh Yesus? Tetapi itulah iman. Kekuatan iman bukan kekuatan logika, dan logika berbeda dengan iman. Maka sekali lagi, biji iman kita sepertinya belum lebih besar dari biji sesawi dan bakal sulit untuk mengembangkan iman kita di tengah dunia yang semakin kelabu ini.

Sifat keabstrakan iman menjadi faktor utama mengapa logika lebih mendominasi setiap motivasi tingkah laku manusia. Namun sebagai seorang pengikut Kristus atau paling tidak percaya bahwa Yesus pernah ada di dunia, maka iman itu menjadi absolut (nyata). Dalam Lukas 4:4 ketika dicobai di padang guru oleh Iblis, Yesus berkata: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja." Dalam nats ini ditulis 'manusia' buka 'Aku'. Artinya Dia ingin menyampaikan kepada manusia (kita) bahwa hidup bukan pada kebutuhan jasmani dan logika saja, tetapi masih ada kebutuhan spiritualitas (menyangkut pengembangan iman) yang sama mendesaknya seperti kebutuhan-kebutuhan lainnya. Psikolog C.G. Jung1 mempertahankan hipotesanya bahwa masih ada kebutuhan internal dan non-material yang sama dalamnya, sama mendesaknya, sama mendasarnya seperti kebutuhan akan pangan, tempat tinggal dan memiliki keturunan.Dia memiliki pemahaman bahwa logika bukan segala-galanya, karena di dalam manusia masih ada sebuah manifestasi transedental yang sebenarnya absolut dan nyata.

Akhir-akhir ini orang-orang dikejutkan dengan Research dan Discovery para ahli tentang Shround of Turin (kafan dari Turin). Benda ini diduga merupakan kafan yang digunakan untuk membungkus (mengkafani) tubuh Yesus ketika dimakamkan. Dan yang lebih menggegerkan lagi adalah, golongan darah yang terdapat dalam kafan tersebut adalah golongan darah AB. Setidaknya ini yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti asal Itali: Baima Bollone, Jurio dan Massara dengan menggunakan metode "Aglutinasi Campur"2. Secara logika, kemungkinannya manusia akan lebih percaya dengan hal ini karena diperoleh dari hasil penelitian. Tetapi jika dicermati lebih lanjut, apakah benar bahwa kain kafan turin adalah kain kafan Yesus?

Pada laporan di media massa, Raymond Rogers dari Laboratorium Nasional Los Alamos, 2005 mengatakan bahwa usia kain kafan Turin sekitar 1300 - 3000 tahun dan sangat mungkin berasal dari zaman Yesus. Sementara tidak sedikit juga yang menyangkal bahwa kain kafan turin bukan berasal dari zaman Yesus berdasarkan penanggalan Radio Karbon yang dilakukan 1988 yang disimpulkan bahwa kain kafan tersebut dibuat pada abad ke-13 atau ke-14 jauh setelah kematian Yesus.3

Selain pro-kontra diatas, ada lagi yang lebih frontal yang mengutamakan logikanya sebagai penerang kehidupannya. Ialah James Cameron4 yang mengatakan bahwa: "Kita bahkan tidak memiliki rekaman sensus yang paling mendasar tentang kelahiran-Nya." Tokoh populer yang booming dengan mensutradarai Film Tetanic ini terlalu mengandalkan sebuah logika untuk mempercayai bahwa Yesus pernah lahir atau tidak di Betlehem.

Dan yang lebih sekuler lagi adalah pemikiran Hershel Shanks5 yang berpendapat bahwa: "Yesus memiliki sepupu bernama James, Putra laki-laki Yusuf dan Yesus memiliki Osuarium6 sehingga Yesus dianggap tidak pernah bangkit." Padahal Dia mengatakan dalam Lukas 9:22 bahwa: "Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga."



Lalu mana yang benar?

Tidak perlu mencari kebenaran, karena tidak ada hakim atau yang dihakimi dalam hal ini. Dan pada akhirnya logika akan selalu dipusingkan dengan segudang pertanyaan untuk menyikapi ihwal diatas, sehingga akan berdampak pada penenggelaman iman kita. Bukan menjadi hal yang aneh untuk mengetahui informasi yang bersifat rasional dan mempengaruhi iman, tetapi ada baiknya untuk menyikapi informasi yang diperoleh apalagi yang berhubungan dengan faith (iman), jangan terlalu mengandalkan logika yang tidak akan menyelesaikan segudang pertanyaan yang ada di rasio kita.

Iman adalah sebuah kekuatan yang nyata. Dan tidak juga terlalu jauh untuk digenggam. Dalam bukunya yang berjudul He Still Moves Stone, Max Lucado mengatakan bahwa: "Kita sama seperti penyamun itu, tidak mempunyai lagi doa. Namun, kita bisa seperti penyamun kelak akan berdoa. Kita sama seperti penyamun, mendengar suara anugerah, dimana hari ini kita pun akan bersama-sama dengan Dia di dalam Firdaus. Dan kita, sama seperti penyamun, dapat menahan kepedihan karena kita tahu Dia segera membawa kita pulang."7 Dalam buku tersebut menitipkan pesan dan harapan bahwa iman tidaklah sesulit seperti apa yang disampaikan oleh orang-orang ahli Taurat, atau barangkali Gereja kita masing-masing, karena seorang penyamun pun bisa memiliki iman. Tinggal bagaimana kita bisa menyadari bahwa iman itu ada dan perlu dikembangkan tanpa menggunakan logika.

Sekali lagi tidak ada yang salah atau yang benar. Dan tulisan ini tidak mencoba mengintervensi hidup kita atau menggurui spiritual kita. Karena penulis tidak ingin terjebak pada lingkaran manusia naïf dan munafik. Hanya mencoba mengingatkan kembali bahwa akselerasi logika perlu sesekali di rem atau di seimbangkan dengan iman kita yang walaupun masih kita anggap lebih abstrak ketimbang logika. Tulisan ini mencoba menyentil rasional kita yang acap kali mengesampingkan hal-hal spiritual menyangkut iman kita. Dan memang kekuatan iman berada di luar lingkaran indera kita. Namun salah satu kalimat perpisahan-Nya dalam Yohanes 20:29b dikatakan bahwa "Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya."

Oleh karena itu, marilah mengembangkan iman, bukan logika semata. Dan marilah hidup berdasarkan kasih seperti yang pernah dipercontohkan oleh Yesus ketika menjadi manusia. He is a Human Perfect Prototype. Dia membuka gerbang keselamatan bukan menutup. Dia mensederhanakan iman bukan memperumit. Dia menjulurkan tangan bukan berpangku tangan. Dia membasuh bukan dibasuh. Dia mengasihi semua manusia bukan memusuhi manusia. Dia melewati siklus manusia (Lahir-Hidup-Wafat-Bangkit-Naik) dan kita pun kelak akan seperti itu. Dia adalah prototipe iman itu sendiri. Dan pada akhirnya iman akan menampilkan  keabsolutannya ketika akselerasi logika kita sudah kita hentikan. Iman menawarkan yang tak ada di saraf-saraf kita. Dia di berada di luar saraf sadar kita.

Iman bukan logika. Iman adalah keyakinan pribadi masing-masing orang. Dan Gambaran yang telah dijabarkan diatas semoga dapat bermanfaat bagi kesadaran spiritual kita.

The last but not least, mengutip kesimpulan Gino Moretto bahwa "Iman tidak di dasarkan melalui ilmu pengetahuan dan betapa tidak bijaknya jika iman didasarkan pada penelitian ilmiah dan historis"

Trims!

Uous

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun