Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Almanak Usang

27 Februari 2011   20:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:13 162 2
menyusuri garis jalan sepi, seperti dikejar sesuatu,
masih berlari dengan sebuah cermin yang selalu menampakkan jejak luka lalu,
yang membuatku selalu melihat kebelakang.
cermin masa silam.

sementara itu, di ujung jalan ada deretan langkah-langkah kecil angka-angka dalam almanak yang mulai mengusang.
berbaris di dinding langit dengan kaki yang menghujam ke bumi.
langkahnya yang sangat cepat terus memburuku.

ketika batang hidungnya mulai tampak dalam cermin,
ku menjerit-jerit sambil berlari secepat mungkin melebihi kecepatan suara,
namun deretan angka itu menyamar menjadi anyaman pentatonik dan menjalar di sekujur atom udara dengan sengit.

aku terus berlari kearah timur untuk menghanguskan mentari,
namun sia-sia.
matahari tetap condong ke arah barat,
dan langit terus menggulirkan angka-angka dalam almanak yang mengusang.

lalu aku berhenti di satu titik persimpangan garis waktu, mengutuk dan memaki-maki almanak, pergilah, berhenti mengejarku!”.
ku banting cermin ke tanah, hingga yang tersisa hanya serpihan-serpihan masa lalu yang berserakan.
kemudian almanak hanya diam, tak bersuara.
kulemparkan setiap pecahan cermin padanya, agar almanak itu berdarah,
dan tahu apa itu luka.

almanak pun terisak.
diperbaiki bajunya yang usang dan memerah, sembari lirih mengucap, kau pikir aku akan berhenti mengejarmu? bodoh. aku ini abadi, juga tak peduli. meski kau bosan dan membenciku, tapi setidaknya, hari ini berulangtahunlah dulu.
aku terdiam. dengan ludah-ludah bisu terbuang percuma di sisa jalan.
lalu mencari-cari senyum namun lupa bagaimana cara meletakkannya di wajah.

akhirnya aku menggambar sendiri garis lengkung di antara hidung dan dagu.
lalu diam-diam mengirimkan senyuman, palsu dan kosong.
mataku pun tiba-tiba bergegas menua. melompati batas usia dan suara, bahkan cuaca.
aku menerawang hampa, dan langit pun tertawa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun