Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Suatu Kisah Pada Subuh yang Gigil

18 Februari 2015   22:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:56 42 0


Dia berjalan susuri gang-gang sempit pada subuh yang gigil,
badannya gemetar, giginya gemeretuk; seperti mengunyah kerupuk.
Hujan lebat semalam tak hanya genangkan jalan,
tapi juga mimpi yang menakutkan.

Dia ceritakan mimpinya pada bayangan di genangan air itu:
semalam, sepasang burung gagak hitam bertengger
di daun jendela -yang terbuka- dan bertengkar.
"Ini bukan rumahnya. Kita salah rumah. Ayo pergi,
sebelum Malaikat Maut datang," katanya.

Kau tahu, gagak hitam adalah pertanda
kematian. Malaikat Maut yang mengutusnya.

Gagak satunya bersikeras, "Malaikat tak mungkin salah."

"Tapi Malaikat bisa saja lupa."

Burung gagak hitam itu saling tatap. Ada yang datang
dengan jubah hitam. Itu Malaikat Maut. Ada kantung -yang juga hitam-
di tangan kanan. Tangan kirinya memegang tasbih; ia berdzikir.

"Bukan. Bukan dia, Tuan Malaikat Maut!"

Di dalam kamar, seorang lelaki -yang tidak ia kenali itu- tertidur
lelap, Malaikat Maut masuk
sambil memberi salam. Di dekati lelaki itu,
makin dekat, hingga di sisi ranjang. Wajah lelaki itu tampak
lugu pada lampu tidur yang terangi kamar yang kuning lembayu.
Diusap kepalanya, lembut.

Semestinya nyawa akan tercabut,
tapi entah mengapa, yang keluar malah ular
: dari telinga, hidung, mata, mulut, dan duburnya.

Tak pernah ada yang tahu datangnya kematian;
termasuk caranya menemuimu.

Malaikat Maut kaget, lelaki itu sudah tak bernyawa
-sebelum kedatangnya mencabut maut.

Dia berjalan (berbalik) susuri gang-gang sempit pada subuh yang gigil,
badannya gemetar, giginya gemeretuk; seperti mengunyah kerupuk.
Bayangan di genangan air tadi, tiba-tiba,
dari telinga, hidung, mata, mulut, dan duburnya keluar ular.

Perpustakaan Teras Baca, 18-02-2015

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun