Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Syiah: Sejarah Perpecahan Umat

17 Agustus 2013   00:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:13 4535 1
Artikel ini tidak bermaksud untuk membahas teologi dan doktrin Syiah, namun lebih kepada menelusuri asal-mula perpecahan umat Islam yang akhirnya melahirkan Syiah.

Urutan peristiwa yang akhirnya menyebabkan perpecahan umat kemudian melahirkan aliran Syiah adalah:
Pemberontakan terhadap Utsman - pembunuhan Utsman - pengangkatan Ali sebagai Kalifah - Perang Unta (Ali dan Aisyah menjadi korban fitnah) - Perang Siffin (kesepakatan Muawiyah - Ali) - pemberontakan Khawarij - Ali terbunuh - Hasan bin Ali menyerahkan kekalifahan kepada Muawiyah - Muawiyah mengangkat Yazid menjadi Kalifah - Husein bin Ali menolak baiat terhadap Yazid - Karbala- Husein mangkat.

Pemberontakan terhadap Usman
Uraian pemberontakan terhadap Utsman yang berujung pada terbunuhnya Utsman dicuplik dari buku Tarikh Al-Khulafah karya Al-Suyuthi

Gubernur Mesir saat itu adalah Abdullah bin Abi Sarah, yang masih saudara sesusuan dengan Utsman. Ia masuk Islam dan pernah menulis beberapa wahyu. Kemudian ia menyeberang kembali ke Quraisy, murtad, sambil menyebarkan kebohongan bahwa ia memalsukan wahyu yang ditulisnya. Setelah penaklukan Mekkah ia diampuni oleh Rasulullah atas permintaan Utsman, dan kembali masuk Islam. Pada masa Umar ia diberi jabatan, kemudian menjadi panglima perang di Siprus kemudian diangkat menjadi Gubernur Mesir. (Ali Audah, Ali bin Abi Talib sampai ke Hasan dan Hussein).

Penduduk Mesir mengadukan tingkah buruk Abdullah bin Abi Sarah kepada Utsman. Al-Suyuti tidak menyebutkan keburukan itu. Tamim Ansary dalam bukunya Dari Puncak Bagdad menuliskan salah satu protes penduduk Mesir adalah karena Abdullah bin Abi Sarah mengenakan pajak terlalu tinggi.

Utsman kemudian memberi surat peringatan kepada Abdullah bin Abi Sarah, namun surat itu diabaikannya. Bahkan utusan Utsman dibunuh oleh Abi Sarah. Kemudian penduduk Mesir mendatangi Medinah menuntut agar Abi Sarah diganti. Thalhah bin Ubaidilah, Aisyah, dan Ali bin Abi Talib juga menyarankan agar Utsman mendengarkan keluhan penduduk Mesir itu.

Utsman setuju untuk mengganti gubernur dan menanyakan siapa yang pantas menggantikannya. Penduduk Mesir mengusulkan Muhammad bin Abu Bakar (putra Kalifah pertama Abu Bakar). Utsman setuju dan kemudian menulis surat pengangkatannya.

Delegasi dari Mesir pulang bersama Muhammad bin Abu Bakar. Tapi kemudian kembali lagi ke Medinah dengan marah. Mereka mengacungkan surat yang disita dari kurir Utsman ke Mesir. Surat itu berstempel cincin Kalifah, ditujukan kepada Abdulah bin Abi Sarah, yang isinya agar menghukum delegasi penduduk Mesir itu dan membunuh Muhamad bin Abu Bakar.

Utsman bersumpah tidak tahu menahu atas surat ini. Ali percaya kepada Utsman. Diduga surat dibuat oleh Marwan bin Hakam, sekretaris Utsman. Massa menuntut agar Marwan diserahkan kepada mereka. Utsman menolak karena khawatir Marwan akan dibunuh oleh massa. Massa meminta Utsman mengundurkan diri, Utsman menolak. Ali menyuruh massa keluar dari rumah Utsman, tetapi kemudian mereka kembali mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan kedua putranya Hasan dan Husein untuk berjaga di depan rumah Utsman untuk menjamin keselamatan Utsman.

Pembunuhan Utsman
Muhammad bin Abu Bakar dan dua orang lainnya berhasil menerobos ke dalam rumah Utsman dan memasuki kamar Utsman. Muhammad bin Abu Bakar tidak jadi membunuh Utsman karena diingatkan mengenai ayahnya (Abu Bakar) oleh Utsman. Namun begitu Muhammad bin Abu Bakar keluar, dua orang lainnya masuk dan memukuli Utsman sampai tewas.

Mengetahui Utsman tewas, Ali bin Abi Talib sangat marah. Dia menolak massa (diantaranya adalah pembunuh Utsman) yang ingin membaiatnya menjadi Khalifah. Dia mengatakan urusan ini bukan hak gerombolan massa itu, tapi hak para ahli Badar. Namun ketika satu demi satu para ahli Badar menemuinya meminta menjadi Khalifah, ia pun bersedia dengan berat hati.

Pelantikan Ali bin Abu Thalib sebagai Khalifah
Masa pemerintahan Ali bin Abi Talib penuh dengan gejolak. Beberapa yang penting adalah (1) Perang Unta, sebuah fitnah pertama umat Islam; (2) konflik dengan Muawiyah yang tidak mengakui kekalifahannya; dan (3) konflik dengan kaum Khawarij yang berakhir dengan kematiannya.

Aisyah dan Perang Unta
Aisyah sedang melakukan ibadah Haji di Mekkah ketika terjadi peristiwa terbunuhnya Utsman dan diangkatnya Ali menjadi Khalifah. Di Mekkah sudah berkumpul sejumlah tokoh dan mantan pejabat era Utsman. Diantaranya Ya'la bin Umayah, mantan gubernur Yaman; Walid bin Uqbah, mantan gubernur Kufah; Sa'id bin As bin Umayyah; Marwan bin Hakam; kemudian Thalhah dan Zubair.

Thalhah dan Zubair mengusulkan kepada Aisyah untuk tidak kembali dulu ke Medinah, namun ke Basrah. Aisyah diminta untuk berpidato menuntut pembunuh Utsman, sambil mencari dukungan di Basrah. Kemudian Aisyah dan rombongan berangkat ke Basrah.

Gubernur Basrah Usman bin Hunaif melarang rombongan Aisyah memasuki Basrah. Thalhah dan Zubair menyampaikan ulang tuntutan mereka untuk menangkap dan mengadili pembunuh Utsman. Aisyah berpidato sehingga sebagian masyarakat Basrah mendukung Aisyah. Terjadi pertempuran singkat yang tidak diketahui awalnya. Walaupun akhirnya disepakati gencatan senjata sambil menunggu kedatangan Ali bin Abi Thalib, tetapi korban sudah jatuh. Gencatan senjata tidak berumur panjang, karena ada provokasi dari sejumlah orang. Gubernur Basrah akhirnya terbunuh dan Basrah dikuasai rombongan Aisyah.

Ketika Ali tiba di Basrah, ia mengirim utusan kepada Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Kelompok Asiyah mengulangi tuntutan menangkap pembunuh Utsman. Ali menjanjikan akan menuntut pembunuh Utsman bila keamanan sudah pulih kembali. Kelompok Aisyah menerima janji Ali, dan kedua pasukan yang sudah berhadapan itu tidak jadi bertempur.

Pada subuh, dari pihak pasukan Ali ada yang memprovokasi menyerang pasukan Aisyah. Maka pertempuran pecah lagi. Masing-masing pihak Ali dan Aisyah merasa pihak lainnya mengkhianati perjanjian.

Ketika akhirnya diketahui Aisyah menunggang unta menuju ke medan tempur, maka Ali memerintahkan untuk menebas kaki unta yang membawa Aisyah. Hal ini dilakukan agar pertempuran tidak berlarut-larut yang bisa membawa korban sesama Muslim lebih besar lagi. Kemudian Ali menemui Aisyah dan berbicara langsung. Keduanya memberi salam dan menyadari bahwa mereka telah menjadi korban fitnah. Aisyah kemudian memutuskan kembali ke Medinah dan Ali memberi pengawalan kepada Aisyah. Sejak peristiwa ini, Ali memindahkan ibukota dari Medinah ke Kufah, dengan alasan menghindarkan kota suci Medinah dari intrik-intrik politik.

Perang Siffin & perdamaian dengan Muawiyah
Setelah urusan dengan Aisyah selesai, maka Ali mulai mengurusi masalah dengan Muawiyah. Muawiyah adalah sepupu kalifah Utsman bin Affan. Ia adalah putra Abu Sufyan dari bani Umayyah. Abu Sufyan adalah salah satu tokoh Quraisy yang menjadi musuh utama Rasulullah dan baru masuk Islam setelah penaklukan Mekkah.

Ketika Utsman terbunuh dan kemudian Ali terpilih menjadi kalifah berikutnya, Muawiyah yang sudah menjadi gubernur Syam (Damaskus) menolak mengakui (membaiat) Ali sebagai Amirulmukminin. Dia menuntut agar pembunuh Utsman ditangkap terlebih dahulu baru ia akan mengakui Ali.

Walaupun Ali telah berusaha membujuk Muawiyah baik melalui utusan maupun surat agar mau mengakui kepemimpinannya, tetapi Muawiyah selalu menolak dengan alasan yang sama. Bahkan ketika Ali mengirim pengganti Muawiyah, pengganti itu diusir dari Damaskus. Sementara itu Muawiyah di Damaskus juga sibuk memperkuat diri baik secara militer maupun bujukan kepada tokoh masyarakat agar mau mendukungnya menjadi pemimpin Islam yang berikutnya.

Akhirnya Ali mengirim pasukan dari Kufah menuju Damaskus. Pasukan itu kemudian berkemah di Siffin, kemudian Ali mengirim utusan kepada Muawiyah untuk berunding. Perundingan berjalan alot dan akhirnya buntu, sehingga meletusnya pertempuran di Siffin antara pasukan Ali dan Muawiyah.

Pasukan Muawiyah kemudian terdesak, dan pada saat kritis, penasehat Muawiyah, Amir bin Ash, memerintahkan agar memasang Al Quran di ujung tombak pasukannya, sebagai tanda bahwa pertempuran harus berhenti. Ali menduga ini hanya taktik dari Muawiyah, namun para penasehatnya membujuknya untuk menghentikan pertempuran. Kemudian kedua belah pihak berunding lagi.

Dari pihak Ali perundingnya adalah Abu Musa, dari pihak Muawiyah adalah Amir bin Ash. Disaksikan oleh sejumlah tokoh seperti Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Abu Musa kemudian menyatakan memecat Ali sebagai Kalifah. Amir bin Ash kemudian menyatakan Muawiyah sebagai Kalifah dan membaiatnya.

Ali Audah menulis bahwa sebenarnya antara Abu Musa dan Amir bin Ash telah sepakat untuk masing-masing memecat Ali dan Muawiyah, kemudian menyerahkan pilihan Kalifah kepada suatu syura. Namun ternyata Amir bin Ash mengkhianati kesepakatan ini.

Hasil dari perundingan ini adalah terpecahnya kekalifahan Islam: Imam Ali di Timur (Semenanjung Arab, Irak, dan Persia), dan Muawiyah di Barat (Syiria dan Mesir).
Khawarij
Kesepakatan antara Ali dan Muawiyah di Siffin ternyata menghasilkan perpecahan di kelompok Ali. Ada yang setuju berdamai dengan Muawiyah, ada yang tidak. Pengikut Ali yang marah atas konsesi Muawiyah itu berpendapat bahwa Muawiyah tidak berhak atas kepemimpinan Islam, dan juga marah kepada Ali yang setuju berdamai dengan Muawiyah. Kelompok ini kemudian dikenal dengan kelompok Khawarij, yang berasal dari kata kharaju (keluar). Mereka menuntut Ali untuk membatalkan kesepakatan dengan Muawiyah. Ali tidak mau dan tidak bisa memenuhi tuntutan ini karena sudah menjadi perjanjian. Disamping itu, sebenarnya justru para penasehat Ali lah yang menganjurkan perdamaian padahal pada saat itu tentara Muawiyah sudah terdesak dan Ali sendiri sebenarnya ingin meneruskan pertempuran.

Khawarij adalah kelompok fanatik ekstrim yang anti Muawiyah dan anti Ali. Walaupun Ali kemudian menumpas kelompok ini setelah mereka tidak mau mendengarkan Ali dan berdamai, tetapi masih ada gerakan Khawarij yang tersembunyi.

Pada 40H, Khawarij merencanakan membunuh Muawiyah, Amr bin Ash, dan Ali bin Abi Thalib. Usaha membunuh Muawiyah gagal karena pengawalan yang ketat. Amr bin Ash selamat dari sergapan karena sedang sakit sehingga tidak muncul di mesjid. Namun Ali berhasil mereka bunuh ketika Ali menuju mesjid hendak salat subuh.

Hasan dan perdamaian dengan Muawiyah
Setelah Ali wafat, penduduk Kufah dipimpin oleh Qais bin Sa'd bin Ubadah membaiat Hasan sebagai kalifah kelima. Hasan semula menolak karena dia tidak terlalu berminat. Bahkan sebetulnya Hasan pernah menasehati Ali untuk tidak pergi ke Basra untuk urusan Aisyah dahulu. Kemudian Hasan didesak untuk berperang melawan Muawiyah menuntaskan urusan yang belum selesai antara Muawiyah dan Ali.

Hasan menyiapkan tentara dan sekaligus menyiapkan perdamaian. Sejarah kemudian mencatat bahwa Hasan berdamai dengan Muawiyah, menyerahkan kekalifahan kepada Muawiyah, pindah ke Medinah kemudian mengundurkan diri dari dunia politik, dan hidup dari uang pensiun Muawiyah. Salah satu syarat perdamaian Hasan kepada Muawiyah adalah Muawiyah harus setuju bahwa pengangkatan kalifah setelah Muawiyah harus berdasarkan syura; dan tidak melakukan kekerasan kepada para pengikutnya, termasuk kepada keluarga Ali bin Abi Talib. Versi lainnya menyebutkan bahwa Muawiyah menawarkan jabatan kekalifahan kepada Hasan setelah Muawiyah, namun Hasan menolak.
Hussein dan Karbala
Hasan wafat enam bulan setelah mengundurkan diri ke Medinah karena diracun oleh istrinya sendiri, Ja'dah binti Asy'ats bin Qais. Yazid bin Muawiyah menipunya, menjanjikan akan menikahinya dan memberinya uang bila mau meracun Hasan (Al-Suyuthi). Muawiyah kemudian membaiat anaknya Yazid menjadi kalifah. Hal ini melanggar perjanjian Muawiyah dengan Hasan. Hussein tidak mau membaiat Yazid. (Ali Audah)

Hussein saat itu sudah tinggal di Mekkah. Ketika Yazid dilantik menjadi kalifah, penduduk Kufah mengirimkan beberapa utusan dan surat kepada Hussein untuk bersedia datang ke Kufah untuk memimpin lagi mereka. Setelah menimbang beberapa waktu, Hussein setuju berangkat ke Kufah dengan seluruh keluarganya termasuk perempuan dan anak-anak. Rombongan Hussein hanya berjumlah sekitar 75 orang berangkat dari Mekkah ke Kufah.

Rombongan ini dicegat tentara Yazid dibawah pimpinan Ubaidilah bin Ziyad. Terjadi pertempuran tidak seimbang dan Hussein dan seluruh rombongan tewas termasuk anak-anak dan kemenakannya, kecuali satu orang anaknya yaitu Ali Zainal al-Abidin, yang kelak dikenal sebagai Imam keempat dalam teologi Syiah.

Mengapa umat Islam masa awal bisa terjebak dalam fitnah dan konflik perpecahan?

Ada beberapa penyebab yang diajukan oleh para sejarawan. Beberapa yang utama antara lain:

1. Provokasi oleh kaum Saba'iyah dipimpin oleh Abdulah bin Saba.
Abdullah bin Saba adalah Yahudi dari Sanaa, Yaman, kemudian masuk Islam. Ibunya dari Abisinia bernama Sauda. Ia menanamkan kebencian orang awam terhadap Utsman. Provokasi politiknya adalah kecaman bahwa Utsman telah merampas hak kekalifahan dari Ali. Karena kegiatannya ini pula Ibn Saba berpindah-pindah kota karena diusir oleh pemerintah kota sampai akhirnya ke Mesir.

Riwayat di atas ditulis oleh Sayf bin Umar al-Tamimi. Tulisan Syaf bin Umar ini banyak dikutip oleh para sejarawan Islam, termasuk Tabari. Seluruh kisah Abdullah bin Saba seperti di atas ditulis oleh para sejarawan yang penelusuran sumbernya pada akhirnya berujung kepada buku Syaf bin Umar ini.

Versi lain cerita Abdulah bin Saba yang tidak berasal dari Sayf bin Umar, menceritakan adanya seorang miskin bernama Abdullah bin Saba yang hidup di masa Kalifah Ali. Dia menyatakan dirinya sebagai Nabi dan Kalifah Ali adalah Allah. Ketika Kalifah Ali mendengar peristiwa ini, ia langsung menangkap Abdulah bin Saba dan memenjarakannya. Ketika Kalifah Ali memerintahkan Abdulah bin Saba untuk bertobat, dia tetap menolak. Oleh karena itu Kalifah Ali memerintahkan Abdullah bin Saba dihukum bakar.

Versi lainnya lagi, tersebutlah Abdulah bin Wahab al-Saba'i, yaitu pemimpin pertama dari kelompok Kharawij. Tokoh ini anggota suku Saba'iyah yang asal-usulnya berasal dari Yaman.

Para sejarawan berdebat mengenai keberadaaan tokoh ini, ada yang mengatakan tokoh ini fiksi, ada yang menegaskan tokoh nyata. Kelompok Syiah kontemporer cenderung percaya bahwa 3 versi Abdullah bin Saba itu merupakan 3 karakter yang berbeda. Karakter yang ditulis oleh Sayf bin Umar adalah karakter fiksi, sementara karakter versi kedua (yang mengaku Nabi) dan ketiga (pemimpin Khawarij) adalah dua orang tokoh nyata yang berbeda. Lihat detilnya di sini . Sementara kelompok Sunni saat ini cenderung mengganggap 3 versi Abdullah bin Saba itu adalah satu karakter pada satu orang tokoh nyata yang sama. Lihat di sini

Sementara itu Abdulah bin Saba sama sekali tidak disinggung oleh Al Suyuthi dalam bukunya yang banyak jadi rujukan, "Tarikh Al-Khulafa".

2. Pendapat lain mengemukakan perpecahan ini karena sifat dasar bangsa Arab.
Konflik bermula dari daerah-daerah jauh dari Medinah (Mesir, Kufah, Basra, Damaskus) yang bukan pemeluk Islam awal, tidak pernah bertemu atau dibimbing langsung oleh Rasulullah. Tokoh-tokoh yang terlibat konflik banyak yang berasal dari generasi setelah penaklukan Mekkah, bukan dari kelompok Muhajirin atau Ansar. Oleh karena itu, persaingan antar kabilah yang sudah hilang pada masa Rasulullah, timbul kembali pada masa ini, 20 tahun setelah wafatnya Rasulullah. Seperti diketahui, Utsman, Muawiyah dan banyak tokoh pro Utsman adalah dari bani Umayah, sementara Rasullullah dan Ali bin Abi Thalib berasal dari bani Hasyim. Bani Umayyah dan bani Hasyim adalah 2 kabilah utama yang saling bersaing di suku Quraisy penguasa Mekkah pada jaman jahiliyah. Sementara Abu Bakar dan Umar bin Khattab bukan berasal dari 2 kabilah ini.

3. Pendapat lainnya menyebutkan karena perbedaan kepemimpinan antara Ali dan Utsman.
Pada jaman Umar bin Khattab, dia tidak mengijinkan tentara Islam (Medinah) memiliki tanah di daerah yang baru ditaklukkan. Para tentara dikumpulkan di pinggir kota membentuk garnisun tersendiri. Pada jaman Utsman, para penakluk dari Medinah diijinkan memiliki tanah di daerah taklukan. Bahkan mereka diberi akses ke baitul maal untuk meminjam dana yang digunakan untuk membeli tanah-tanah di daerah baru. Maka lahirlah kelas elit baru yang makin kaya. Kebetulan karena banyak tokoh-tokoh pemerintahan dan gubernur berasal dari bani Umayyah yang diangkat oleh Utsman, maka kelompok elite baru ini kebanyakan berasal dari bani Umayyah.

Ketika Ali diangkat menjadi Khalifah, maka dia mengganti semua gubernur yang diangkat oleh Utsman. Tidak ada yang sukarela menyerahkan jabatannya. Bahkan gubernur Yaman melarikan diri ke Mekkah dengan membawa semua dana di baitul maal. (Kemudian dana ini yang digunakan mensponsori gerakan Aisyah yang berakhir di perang Unta itu). Kemudian Ali menyerukan seluruh umat Islam kembali ke gaya hidup sederhana seperti yang dicontohkan Umar bin Khattab. Seruan ini ditolak oleh kelas elit baru yang kaya, dan kebanyakan dari mereka melarikan diri ke Damaskus bergabung dengan Muawiyah.

Mengapa konflik kekuasaan / politik bisa melahirkan suatu aliran teologi dan doktrin tersendiri yang bertahan sampai sekarang?

Tamim Ansary dalam bukunya "Dari Puncak Bagdad" menuliskan (hal 132-135):


"Sengketa tentang kekhalifahan bukanlah sekedar perjuangan dinasti. Isu-isu keagamaan kunci tertanam di dalamnya, karena pilihannya bukan hanya menyangkut siapa, tetapi juga apa pemimpin itu nantinya. Para pengikut Ali melihat dalam dirinya sesuatu yang tidak mereka lihat di dalam diri para pengklaim kekhalifahan yang lain: kualitas pemberian Tuhan yang membuatnya lebih dari manusia biasa. Sebuah kualitas yang mereka lihat terdapat dalam diri Muhammad juga. Tak seorang pun berkata bahwa Ali adalah utusan Tuhan. Tak seorang pun akan membuat klaim seperti itu (pada waktu itu, tentu saja), dan karena itu mereka memberi Ali gelar yang berbeda. Mereka mengatakan dia adalah imam.

Ketika orang Syiah mengatakan "imam", mereka memaksudkan sesuatu yang jauh lebih dimuliakan. Bagi orang Syiah, di dunia ini selalu hanya ada seorang imam, dan tidak pernah lebih dari satu. Mereka berangkat dari premis bahwa Muhammad memiliki beberapa substansi mistis yang nyata diberikan kepadanya oleh Allah, semacam energi, semacam cahaya, yang mereka sebut barokah Muhammad. Ketika Nabi meninggal, barokah itu diteruskan kepada Ali, dan pada saat itulah Ali menjadi imam pertama. Ketika Ali meninggal cahaya itu diteruskan kepada Hasan yang menjadi imam kedua. Kemudian percikan itu diteruskan kepada Hussein adik Hassan, yang menjadi imam ketiga. Ketika Hussein mati syahid di Karbala, seluruh gagasan tentang "imam" berkembang menjadi sebuah konsep teologis yang kaya yang menjawab hasrat religius yang tak terpenuhi oleh doktrin arus utama saat itu.

Doktrin arus utama, seperti yang dicetuskan oleh Abu Bakar dan Umar, mengatakan bahwa Muhammad adalah seorang utusan yang menyampaikan serangkaian instruksi bagaimana menjalani hidup. Pesan itu adalah satu-satunya yang penting. Selain menyampaikan Al-Quran, makna keagamaan Muhammad hanyalah sunnahnya, contoh yang beliau tunjukkan melalui cara hidupnya, teladan yang bisa diikuti orang lain jika mereka ingin hidup dalam rahmat Allah. Orang-orang yang menerima doktrin ini akhirnya dikenal sebagai Sunni, yang membentuk kurang lebih sembilan puluh persen populasi Muslim saat ini.

Syiah, sebaliknya, merasa bahwa mereka tidak bisa membuat diri mereka layak masuk surga hanya dengan usaha mereka sendiri. Bagi mereka, instruksi tidak cukup. Mereka ingin percaya bahwa bimbingan langsung dari Allah masih berlangsung di dunia, melalui beberapa orang terpilih yang bisa menaungi orang-orang beriman lainnya dalam berkah yang menyelamatkan jiwa, beberapa tokoh yang masih hidup untuk menjaga dunia tetap hangat dan murni. Mereka mengadopsi istilah imam untuk tokoh yang menentramkan ini. Kehadirannya di dunia memastikan kemungkinan berlanjutnya mukjizat."
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun