Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Cengkeh, Tabungan Masa Depan

16 Februari 2014   22:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 285 2
“Cengkeh adalah tabungan masa depan mereka.”

Setidaknya itu yang terjadi di desa Kompang, salah satu daerah dataran tinggi di Kabupaten Sinjai, Sulawesi selatan. Meskipun cengkeh mereka yang pertama datang sejak tahun 1972, tidak banyak yang memberi perhatian pada tanaman ini. Hingga terdengar kabar harga cengkeh yang menjanjikan barulah mereka menanam Cengkeh pada tahun 1974 dan tanaman mulai berpoduksi tahun 1980an. Kejayaan itu hanya sementara, pada tahun 1990 an mereka harus dikecewakan oleh keberadaan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang memonopoli harga cengkeh. Mereka kemudian beralih bertanam coklat, dinas pertanian setempat juga lebih memberikan perhatian pada coklat, tetapi kini mereka kembali ke Cengkeh lagi.

Paragraf diatas adalah ringkasan salah satu bagian tulisan yang ada dalam buku ekspedisi cengkeh, berisi tentang perjalanan cengkeh di beberapa daerah di Indonesia. Tim ekspedisi ini menyusur enam daerah penghasil cengkeh di pulau Sulawesi dan Maluku, antara lain di bagian dari provinsi Sulawesi Tengah, sulawesi selatan, sulawesi utara, Maluku dan Maluku Utara. Perjalanan itu mereka lakukan pada bulan September 2013 selama dua puluh hari, tidak terlalu lama untuk perjalanan sekelas ekspedisi. Cerita tentang perjalanan Cengkeh di Sinjai itu bisa menjadi gambaran besar kondisi budidaya tanaman cengkeh di beberapa daerah penghasil utama cengkeh itu.

Buku bersampul kuning, bergambar perahu di lautan serta deretan gugusan gunung memberikan imajinasi pembaca pada derah timur Indonesia. Setidaknya daerah-daerah kepulauan yang ada dalam buku ekspedisi cengkeh, tempat tanaman tropis itu tumbuh subur dan pernah menjadi primadona. Hingga kini cengkeh masih menjadi komoditas yang menjanjikan, sebagai tanaman tropis cengkeh bisa tumbuh di semua daerah di Indonesia, tetapi lima daerah itu menjadi penghasil utama cengkeh.

Tidak sedikit tulisan dalam buku ini yang mengaitkan sudut pandang tulisan tim penulis dengan BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh). Agak sedikit menganggu karena disebutkan berulang-ulang, tetapi mungkin tim penulis hanya ingin memberikan penekanan terkait permasalahan-permasalahan yang pernah dialami para petani cengkeh. BPPC yang dibentuk tahun 1990 an itu membuat harga cengkeh merosot tajam. Badan yang diketuai oleh Tomi Soeharto itu memonopoli harga cengkeh melalui KUD. Para petani cengkeh harus menyetorkan hasil produksi cengkeh mereka pada KUD, akibatnya petani cengkeh mendapatkan harga yang murah. Banyak petani cengkeh yang menebangi pohon cengkeh mereka akibat aturan itu, tetapi ada juga yang bertahan. Pada kisah La Baratang, seorang petani cengkeh di daerah Sulawesi Selatan, ia melawan dengan membuntungi tangannya setelah perjalanan panjangnya menemui para pemegang kekuasaan terkait aturan itu tidak berhasil. Tetapi kini cengkeh kembali pada kejayaannya.

Buku ini berbicara banyak hal tentang cengkeh, mulai dari pembibitannya yang bisa dilakukan secara tradisional. Harganya juga cukup terjangkau, berkisar antara Rp 5.000- Rp. 10.000 rupiah untuk bibit cengkeh berumur 2-3 tahun. Cengkeh juga tidak rumit dalam perawatan dan merupakan tanaman tahan hama. Selain itu masih banyak cerita lain, tentang keriuhan panen cengkeh yang tidak hanya menguntungkan pemilik pohon cengkeh, tetapi juga para buruh pemetik dan buruh yang mematahkan cengkeh dari tangkainya. Dalam buku ini disertai juga istilah-istilah berkaitan dengan aktivitas panen cengkeh dalam bahasa daerah, misalnya mematahkan cengkeh dari tangkainya dalam bahasa Halmahera disebut bapatah, di kepulauan Sula disebut bagugur, di Sulawesi Tengah disebut Bacude. Di setiap daerah memiliki kebiasaan tersendiri terkait musim panen cengkeh dan pengupahan buruh saat musim panen tiba.

Panen cengkeh bahkan juga dirasakan di satu daerah yang sama sekali tidak terdapat tanaman cengkeh, daerah itu di desa Soga Soppeng, Sulsel. Sebagai daerah penghasil bambu, setiap panen cengkeh penduduk Soga bisa mengirimkan bambu-bambu mereka sebagai alat pemanjat pohon cengkeh. Dalam tulisan lainnya yang berjudul Sekolah Cengkeh di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Cengkeh juga ditanam dihalaman sekolah, selama ini hasil panen Cengkeh turut membantu operasional sekolah dan untuk keperluan membeli seragam. Tidak jarang para petani yang menyisakan cengkeh yang sudah mereka panen sebagai tabungan. Kelak jika ada keperluan mendadak mereka mengambil tabungan itu sewaktu-waktu. Bahkan di beberapa tempat yang lain di Bone Puso Sulawesi Tengah setiap panen Cengkeh warga bisa menyisihkan hasil panen untuk membangun tempat ibadah, gereja dan masjid.

Selama ini cengkeh-cengkeh yang berasal dari pulau-pulau sulawesi dan maluku itu dibawa ke Surabaya, untuk memasok industri rokok besar. Dua industri yang disebut-sebut Bentoel dan Sampoerna. Dari informasi yang tertulis dalam ekspedisi cengkeh, selama ini cengkeh hanya menjadi bahan baku pembuatan rokok kretek dan jamu. Dalam pengantar Roem Topatimasang, menuliskan tentang cengkeh yang seharusnya juga bisa dimanfaatkan menjadi bentuk lain, “Cengkeh mengandung zat eugenol seharusnya bisa dikembangkan sebagai bahan baku untuk pengobatan dan penahan rasa sakit yang saat ini sebagian besar masih diimpor.”

Cengkeh dengan perjalanan panjangnya pernah menjadi sejarah, salah satu komoditas yang pernah diperebutkan banyak bangsa. dengan berbagai keuntungan ekonomisnya membuat orang banyak bergantung pada tanaman ini. Bahkan banyak juga yang menjadikan komoditas ini sebagai tabungan tahunan. Sebagai tanaman asli negeri ini apabila diberikan perhatian juga akan bisa menjadi tabungan bangsa ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun