Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Tahun Baru Berganti, Kolot Berpikir Menjadi-jadi | Oleh : Faiz

31 Desember 2019   19:02 Diperbarui: 31 Desember 2019   19:05 18 0
Mungkin sebagian manusia pada umumnya mengira memang perayaan tahun baru masehi adalah bagian dari ajang pengharapan yang menjadi lebih baik lagi dari tahun belakangan yang mereka lalui, tetapi ada juga yang menganggap bahwasanya tahun baru masehi ini adalah tempat ajang mencari kesenangan jiwa dengan cara memainkan instrumen yang menyenang kan hati seperti bakar bakar, main petasan dan lain sebagainya, bahkan ada juga manusia yang melarang dan menghimbau kepada sesama manusia laiinya agar tidak merayakan perayaan tahun baru tersebut, dikarenakan tidak seberpahaman dengan keyakinan agama tertentu dan lain sebagainya,

tetapi kalau dimaknai secara manusiawi bahwasanya memang perayaan tahun baru masehi ini memang sudah menjadi budaya yang ada di indonesia bahkan negera-negara besar laiinnya ini menjadi hal yang wajib dimeriahkan karna tidak ingin melewatkan momen pergantian jam dan hari yang katanya memasuki hal baru, tetapi demikian perspektifnya tidak begitu semua orang melihat tentang pergantian tahun ini.

Kalau di lihat dari sejarah menurut catatan tahun baru masehi ini pertama kali dirayakan pada tanggal 1 januari 45 sebelum masehi SM, tidak lama setelah julius caisar dinobatkan sebagai kaisar roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional romawi yang telah diciptakan sejak abad ke 7 sebelum masehi, Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar diundang oleh Sosigenes, seorang pakar astronomi dari Iskkitariyah, yang diundang agar penanggalan baru dibuat dengan mengikuti revolusi matahari. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung 365 hari dan Caesar menambah 67 hari pada tahun 45 SM jadi tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari.

Walaupun tahun masehi ini di buat dari hasil pemikiran orang orang romawi terdahulu , lantas kita sebagai manusia yang berfikir dan mampu mencerna apa saja yang telah masuk dari sebagian pemikiran barat masuk kebelahan dunia manapun terkhusus negara mayoritas muslim sekalipun tidak bisa kita menjust atau menyalahkan yang mengikuti perayaan hari hari atau upacara keagamaan tersebut di cap sebagai tidak mentaati aturan negara atau apapu pun itu, konteksnya sekarang kita melihat bukan pemikiran yang dibawa, tetapi perilaku manusia yang menerimanya, apakah positif atau kah negatif yang diperbuatnya dari hasil pemikiran atau budaya yang dibawak oleh manusia terdahulu, seharusnya mampu melihat konteks itu, sekarang tergantung dari manusia nya, bukan kah kita di ciptakan dari atas hingga bawah untuk dimengerti dan berfikir apa sebetulnya khasiat atau manfaat yang tuhan berikan kepada kita, termasuk otak untuk mencerna, afala ta'qiluun: apakah kalian tidak menggunakan akal, afala tatafakkaruun: apakah kalian tidak berfikir.



Bukankah allah swt sudah berfirman dalam Al-Quran Surat Alhujurat ayat 6 :
''Wahai orang orang beriman!
Jika datang kepadamu orang fasik yang membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kejahilan), yang akhirnya kamu menyesali pebuatanmu itu.''

Jadi yang harus disikapi dalam memaknai hari besar agama atau pun hari besar apa saja adalah dengan melihat konteks perbuatannya bukan konteks pemikirannya, tidak ada pemikiran yang dibawa itu sesat atau pun menjeremuskan atau sengaja untuk mempropagandakan manusia agar terpecah belah, selagi manusia itu masih bisa berfikir dan mampu memfilter itu dan membawa dampak positif bagi masyarakat sosial laiinya maka akan baiklah kehidupan manusia tersebut tergantung cara kita berbuat dan mentafsirkan sesuatu pemikiran, semoga apa yang tuhan berikan kepada kita bisa bermanfaat bagi kita dan bagi orang lain.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun