Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Illicit Enrichment (Peningkatan Kekayaan Pejabat Publik Secara Tidah Sah)

16 Maret 2023   17:29 Diperbarui: 16 Maret 2023   18:57 567 2
ILLICIT ENRICHMENT (Peningkatan Kekayaan Pejabat Publik Secara Tidak Sah).

oleh Handra Deddy Hasan

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dapat menjadi pintu masuk untuk mengungkap Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pejabat negara. Namun menurut Kompas hari Kamis tanggal 16 Maret 2023 agar lebih efektif diperlukan pengaturan illicit enrichment seperti yang direkomendasikan oleh United Nations Convention against Corruption/UNCAC) Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa2.


Illicit enrichment (peningkatan kekayaan secara tidak sah) adalah istilah hukum yang mengacu pada peningkatan kekayaan seseorang secara tidak sah atau tidak wajar yang tidak dapat dijelaskan dengan sumber pendapatan yang sah. Peningkatan kekayaan secara tidak sah terjadi ketika seseorang memperoleh harta secara tidak wajar atau tidak sah, misalnya dengan menerima suap, menyelewengkan dana publik, atau melakukan tindakan korupsi lainnya.

Di beberapa negara,  illicit enrichment dianggap sebagai tindak pidana dan dapat dikenakan sanksi hukum, seperti denda, pidana penjara, atau pengembalian harta yang tidak sah tersebut. Tujuannya adalah untuk mencegah korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya serta memastikan bahwa kekayaan yang dimiliki oleh individu dan perusahaan didapatkan dengan cara yang sah dan adil.

Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Convention against Corruption/UNCAC) adalah sebuah perjanjian internasional yang disahkan oleh PBB pada tahun 2003 untuk memerangi korupsi. Konvensi ini memberikan kerangka kerja hukum yang komprehensif untuk mengatasi korupsi di seluruh dunia.

UNCAC merekomendasikan  peningkatan kekayaan secara tidak sah (illicit enrichment) merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 Konvensi tersebut. Pasal ini mendorong negara-negara yang meratifikasi konvensi untuk mengadopsi tindakan hukum yang diperlukan untuk menjadikan pidana peningkatan kekayaan secara tidak sah sebagai tindakan korupsi. Selain itu, UNCAC juga mendorong negara-negara untuk memastikan bahwa tindakan hukum yang diterapkan dalam hal peningkatan kekayaan secara tidak sah dapat memberikan hukuman yang efektif dan memadai.

UNCAC diadopsi pada 31 Oktober 2003 dan mulai berlaku pada 14 Desember 2005 setelah memperoleh ratifikasi dari 30 negara. Saat ini, UNCAC telah diratifikasi oleh 187 negara, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang meratifikasi UNCAC, Indonesia diharapkan untuk mengadopsi tindakan hukum yang diperlukan untuk melawan korupsi dan mematuhi ketentuan konvensi tersebut, termasuk menjadikan pidana korupsi peningkatan kekayaan secara tidak sah.

Indonesia meratifikasi UNCAC pada 6 November 2006 dan secara resmi menjadi pihak UNCAC pada 9 Desember 2006. Dalam hal peningkatan kekayaan secara tidak sah, Indonesia mengadopsi tindakan hukum yang diperlukan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi).

Dengan adanya ratifikasi UNCAC, Indonesia diharuskan mematuhi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut dan melaksanakan tindakan hukum yang diperlukan untuk memerangi korupsi. Hal ini termasuk mempidanakan peningkatan kekayaan secara tidak sah sebagai tindakan korupsi, serta pemberian hukuman yang memadai bagi pelaku illicit enrichment.

Akibat hukum dari adanya ratifikasi UNCAC adalah Indonesia diwajibkan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut dan memberikan tindakan hukum yang efektif dan memadai terhadap tindakan korupsi, termasuk illicit enrichment.
Meratifikasi UNCAC belum mempunyai dampak signifikan menegakkan UU Korupsi, karena dengan meratifikasi UNCAC Pasal 20 baru sebatas memberikan kewenangan kepada aparat untuk mencurigai pejabat publik yang mempunyai harta tidak wajar. Untuk menjadikan tersangka belum bisa. Aparat harus bisa membuktikan pidana suap dan atau pidana penyalah gunaan kewenangan, barulah bisa menjadikan pejabat publik menjadi tersangka tindak pidana korupsi

Namun sebagaimana kita ketahui bahwa UU Korupsi walaupun katanya telah mengadopsi akan tetapi  tidak mengatur secara detil tentang illicit enrichtment, sehingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian walaupun telah punya LKHPN, bahkan telah punya data transaksi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga tidak berdaya untuk menetapkan pejabat publik yang dicurigai menjadi Tersangka tindak pidana korupsi. Akibatnya ketentuan  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menjadi mandul.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun