Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Golkar dan Ujian Demokratisasi

28 Februari 2015   13:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:22 100 0
Sebagai salah satu partai tertua, Golkar di tangan Ical telah gagal dalam ujian demokratisasi. Selain itu, personalisasi Golkar oleh segelintir elitnya berpotensi menghambat konsolidasi demokrasi kita.

Terlalu besar keistimewaan yang didapat oleh Aburizal Bakrie dalam tubuh partai warisan Orde Baru itu. Besarnya keistimewaan Ical dalam partai politik yang baru dipimpinnya dalam satu periode—sebelum terpilih kembali secara aklamasi dalam Munas Bali—hanya dapat disaingi oleh Megawati di PDI Perjuangan. Bedanya, privelese untuk Mega berlatar ideo-feodal, sedangkan keistimewaan Ical bermotif pragmatisme.

Personalisasi

Penunjukan Ical sebagai Ketua Presidium KMP harus diakui merupakan konteks politik baru yang mendorong penguatan pragmatisme dalam internal Partai Golkar. Tetapi keistimewaan bagi Ical sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum konstelasi elektoral Pilpres 2014.

Dalam “Pembajakan Politik Partai” (Kompas, 7 April 2012) Penulis pernah mengulas “keistimewaan” Ical dalam isu kenaikan BBM terakhir pada pemerintahan SBY. Menjelang rapat paripurna DPR tentang kenaikan BBM waktu itu, Partai Golkar, sebagai bagian dari “the ruling parties” sebenarnya satu suara dengan Partai Demokrat. Namun, kerasnya penolakan publik atas rencana kenaikan BBM oleh pemerintah membuat Demokrat tidak mau menjadi sasaran tembak sendirian. Akhirnya Ketua Fraksi Demokrat waktu itu, Jafar Hafsah ”membocorkan” kepada publik bahwa Aburizal Bakrie mengusulkan kenaikan harga BBM sebesar Rp 1.500. Ical pun jengkel. Demi harga diri Ical, Fraksi Golkar pun memilih berbelok dari haluan Demokrat sebagai “pemimpin” Setgab Koalisi Pemerintahan SBY.

Seturut dengan itu, dua sikap politik yang ditegaskan oleh Ical pasca terpilih secara aklamasi dalam Munas Bali—yaitu “Tolak Perppu Pilkada” dan “Pilpres bisa tidak langsung”—penulis prediksi akan dilayani secara sukarela oleh para elit dan anggota parlemen Partai Golkar. Hal itu tidak melulu berkaitan dengan kepentingan kolektif Koalisi Merah Putih, tetapi demi Ical, yang telah berhasil memenuhi dan memupuk hasrat pragmatis beberapa lapis kekuasaan Partai Golkar dari pusat hingga daerah, bahkan dengan memanfaatkan KMP itu sendiri.

“Institusionalisasi” Ical dalam tubuh Golkar yang terpantul melalui pemilihan secara aklamasi dalam Munas Bali, di satu sisi merupakan keberhasilan besar kapitalisasi pragmatisme di lingkaran elit Golkar, sekaligus kegagalan demokratisasi internal di sisi lain.

PR itulah yang harusnya dituntaskan oleh anggota Presidium Penyelamat Partai Golkar, yang melaksanakan Munas IX di Jakarta. Agenda terpenting mereka dalam perspektif demokrasi adalah demokratisasi “pemerintahan internal” Partai Beringin itu.

Demokratisasi Partai

Sejalan dengan doktrin Macridisian yang jamak dimafhumi dalam politik modern, tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Tata kelola demokrasi (democratic governance), dengan demikian, memprasyaratkan tata kelola internal parpol yang demokratis.

Secara konseptual terdapat beberapa variabel yang mengindikasikan bekerja tidaknya demokratisasi internal parpol. Mengutip Simba (2011), yang pertama, distribusi kekuasaan dan pengambilan keputusan. Apakah kekuasaan dan pengambilan keputusan disebar ke banyak tangan, atau terkonsentrasi di segelintir tangan?

Kedua, mode pemilihan elit di dalam kepemimpinan partai, termasuk seleksi calon legislator. Apakah seleksi dilakukan secara sistemik dan terbuka atau tergantung kehendak perseorangan elit? Ketiga, representasi dan level inklusivitas. Sejauh mana kelompok-kelompok dalam masyarakat mendapatkan ruang representasi di internal parpol? Keempat, sistem transparansi dan akuntabilitas. Apakah tersedia mekanisme aksesibilitas partai oleh seluruh anggota dan publik serta pertanggungjawaban tata kelola partai secara terbuka atau tidak?

Kelima, konferensi dan konvensi Parpol (dengan nama munas, muktamar, dan sebagainya). Apakah forum tertinggi partai, sebagai forum pengambilan keputusan puncak, telah menunjukkan pagelaran puncak demokratisasi tata kelola internal parpol atau sebaliknya eksposur agenda dan mekanisme-mekanisme yang bertentangan dengan demokrasi?

Keenam, derajat institusionalisasi. Apakah parpol mampu bertahan sesuai dengan visi dan masi para pendiri dan kelembagaan dikonteskan dengan perkembangan situasi dan dinamika politik, ataukah hanya dipertahankan sebagai kepemilikan personal para pemimpinnya?

Dalam tiap indikator, jawaban dengan tone negatif lebih relevan bagi Partai Golkar—dan hampir seluruh partai politik kita, belakangan ini. Itulah ujian bagi Munas Jakarta dan kepemimpinan Golkar yang dihasilkannya. Oleh karena itu, munas tersebut harus menawarkan antitesis atas kepemimpinan berbasis dan berorientasi pragmatisme, baik di Golkar maupun di DPR.

Jika kepemimpinan hasil Munas Jakarta gagal menghasilkan antitesis dan mendeligitimasi hasil Munas Bali, maka ujian demokratisasi berpindah ke pundak pemerintahan negara. Sebab, konfigurasi kuasa di DPR yang cenderung monolitik di tangan KMP akan lebih meneguhkan pertunjukan pragmatisme-transaksional (dimana Golkar menjadi pemain inti) daripada konsolidasi demokrasi dalam sistem politik kita.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun