Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

Politik Identitas Mewarnai Kembali Pilpres 2024?

13 Mei 2022   23:58 Diperbarui: 15 Mei 2022   19:20 159 2
Warming up pilpres 2024 tampaknya sudah dimulai. Di beberapa group-group WhatsApp Muhammadiyah, baik itu group organisasi, amal usaha, masjid, bahkan group keluarga sudah beredar kampanye-kampanye halus yang bermaksud menggiring opini pemilih. Konten disebarkan berupa video-video pendek dengan narasi melankolis. Tentu saja genre-nya berupa identitas keagamaan.

Satu-satunya yang tampil mengenalkan diri, diharapkan, dan di gadang-gadang menjadi presiden adalah gubernur DKI Jakarta saat ini. Ia dianggap menjadi referesentasi umat Islam "kaffah" (persis Prabowo dulu yang sekarang sudah satu tim dengan Jokowi) yang tersumbat penyaluran politiknya selama 2 kali pilpres. Kandidat lain sepertinya belum mengenalkan diri atau tidak mengenalkan diri karena memang belum waktunya.

Pada pilpres 2014 dan 2019 penulis termasuk yang antusias mendukung salah satu capres, lewat debat di media sosial. Namun ketika pemikiran saat ini mulai mengalami pencerahan dalam memandang hidup, entah kenapa sekarang tidak terlalu berminat lagi berdebat seperti dulu, walaupun misinya adalah meluruskan sebaran-sebaran yang provokatif dan tidak valid. Padahal salah satu yang baru-baru ini di share adalah video ceramah Gus Baha yang juga agak membelah identitas, yang diberi caption bahwa kejayaan PDIP dan Komunisme sudah tidak bisa lagi diharapkan pada 2024.  

Penulis tidak membahas pilpres dan calon-calon yang akan bertarung baik sekarang ataupun nanti. Namun lebih tertarik pada konten-konten yang disebar ternyata masih tidak jauh dari isu-isu seperti pada 2 pilpres yang lalu. Dan ternyata masih sangat seksi; yaitu komunisme. Itu menandakan bahwa pilpres 2024 ke depan gorengan-gorengan politik identitas masih akan menyemaraki timeline platform media sosial kita.

Narasi video Gus Baha itu mungkin berupa video yang sudah dipotong atau diedit. Berisi ulasan yang menjelaskan bahwa organisasi, perkumpulan, dan partai pertama di Indonesia itu di inisiasi oleh tokoh-tokoh pedagang Islam. Bukan kelompok lain. Kita mengenalnya dengan Sarekat Islam. Riset disertasi penulis sebenarnya di introduction mengulas dengan gamblang sejarah berdirinya Sarekat Islam dan Komunisme ini. Termasuk lahirnya organisasi-organisasi lain.

Jadi ketika ada yang bicara seolah mau menghadap-hadapkan antara Sarekat Islam dengan Komunisme rasanya menjadi rancu. Partai Komunis itu justru lahir dari rahim organisasi Islam, yaitu Sarekat Islam tadi. Pendiri Partai Komunis sebagian adalah pendiri Sarekat Islam yang semuanya juga tokoh-tokoh Islam. Itulah kenapa dalam perjalanannya, pada tubuh SI itu pecah dan terbagi menjadi dua faksi, yaitu faksi merah dan faksi putih. Faksi merah inilah yang kemudian bermetamorfosa menjadi Partai Komunis Indonesia di bawah pimpinan Semaun.

Tokoh-tokoh agama saat ini sepertinya juga agak sulit untuk membedakan antara komunis sebagai ideologi dan PKI sebagai partai. Begitu juga tuduhan pemberontakan yang diarahkan kepada PKI pada tahun 1926, 1948, dan terakhir 1965. Isu PKI sebagai dalang beberapa pemberontakan itu sebenarnya ada frame time nya. Menguat, melandai, lalu menguat kembali. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun