Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa Artikel Utama

Anjing Menggonggong Kalifah Berlalu (?)

19 September 2010   07:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:08 2268 0
[caption id="attachment_262358" align="aligncenter" width="368" caption="'kafilah' bukan 'kalifah' (ilust eyeoflibya.com)"][/caption]

Peribahasa yang tergolong klasik ini kemarin saya baca di kolom Politik-Ekonomi harian ‘Kompas’ yang membahas tentang kedegilan ( stubbornness ) anggota DPR yang tetap akan melanjutkan pembangunan gedung 1,6 triliun dan tetap akan studi banding ke luar negeri sekali pun mendapat kritikan tajam dari segala penjuru. Kiasan diatas memang sudah pas dan klop benar ditujukan kepada perilaku anggota dewan yang terhormat itu. Namun tahukah anda bahwa ‘ada yang salah’ dengan penulisan peribahasa ini? Ya anda benar kalau menjawab kesalahan ada pada penulisan ‘kalifah’.

Ini memang murni slip of the tongue dari penulisnya sekalipun beliau adalah wartawan senior ‘Kompas’. So, seharusnya peribahasa ini berbunyi ‘Anjing menggonggong, kafilah berlalu’. ‘Kafilah’ dan ‘kalifah’ tentu saja adalah dua kata yang mempunyai makna berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diterangkan ‘kafilah’ sebagai ‘rombongan berkendaraan (unta) di padang pasir, sedangkan ‘kalifah’ sebagai ‘’wakil (pengganti) Nabi Muhammad saw setelah Nabi wafat yang melaksanakan syariat (hukum) Islam dalam kehidupan negara’. Nampaknya peribahasa ini diserap dari bahasa Belanda De honden blaffen, de karavaan trekt verder. Jadi kalau diterjemahkan dengan ‘kafilah’ memang sudah benar karena karavaan berarti ’iring-iringan pengendara unta’.

Berbicara mengenai peribahasa saya jadi teringat dengan pepatah ’Alah bisa karena biasa’ yang kurang lebih mempunyai padanan dalam bahasa Inggris practice makes perfect. Entah dari mana bermulanya kata ’Alah’ diatas diinterpretasikan sebagai ’Allah’ bahkan peribahasa ini dimodifikasi menjadi ’Tuhan bisa karena biasa’. Padahal kata ’alah’ ini adalah bentuk ’pemendekan’ bahasa melayu dari kata kalah. Jadi pepatah diatas mau mengatakan ’kalah bisa karena biasa’ dengan maksud orang yang bisa pun mampu kita kalahkan apabila kita terus menerus berlatih sampai terbiasa dengan ketrampilan tersebut. Ya ini adalah salah satu salah kaprah yang sering terlewatkan dari perhatian kita dan mungkin masih sering diajarkan dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah.

Beberapa bulan berselang ( 8 Juli 2010) saya juga membaca sebuah perumpamaan yang nampaknya dipungut dari bahasa Inggris. Penulis yang mengupas masalah patung ’Tiga Mojang’ ini menulis pada salah paragrafnya tamsil ’sebagai badai di cangkir kopi’. Perumpamaan ini tentu diambil dari metafora bahasa Inggris a storm in a teacup atau a tempest in a teacup yang bermakna ‘kehebohan skala kecil yang dibesar-besarkan’. Ya kalau kita mengaduk teh maka akan timbul ’badai’ di cangkir namun tentunya sangat jauh berbeda dengan badai sesungguhnya yang terjadi di lautan. Saya tergelitik mengkritisi terjemahan yang dibuat oleh si penulis ini, karena kalau ingin ’konsekuen’ tentunya dia akan mengatakan ’sebagai badai di cangkir teh’ dan bukan ’badai di cangkir kopi’. Tapi untuk yang satu ini mungkin boleh kita abaikan, karena barangkali si penulis memang mempunyai kebiasaan menyeruput se cangkir kopi di pagi hari.

Ya, peribahasa memang banyak mengajarkan kebijaksanaan dalam kehidupan manusia namun karena dia diturunkan dari mulut ke mulut di dalam perjalanannya memang tidak terhindarkan mengalami ’salah ucap’ dan ’salah dengar’

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun